Opini

Kopassus, OPM, dan Kapten Philips

KALAU tak salah, sudah hampir lima bulan Kapten Philip disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka atau TPNB-OPM. Lumayan lama.

Pilot Susi Air, Kapten Philips Marthen. Foto via Fajar

KALAU tak salah, sudah hampir lima bulan Kapten Philips disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka atau TPNB-OPM. Lumayan lama. Semoga dia baik-baik saja. Kebetulan, baru tadi ada mimpi. Agak tak biasa. Saya memimpikan rekan yang berdinas di Sandi Yuda, Grup 3 Kopassus. 

Baca Juga: OPM Bantah Eksekusi Kapten Philips 1 Juli

Dalam mimpi, rekan saya itu terlihat gagah. Dia mengenakan seragam militer loreng-loreng dengan strip dan baret merah di Tanah Papua. Keren, gahar, seperti di film action. 

Baca Juga: [EDITORIAL] Mencari Polisi yang Baik

Baca Juga: Soal Kapten Philip, OPM Ancam Pemerintah: Nego Tempat Netral

Tapi tentu itu cuma bunga tidur. Saya yakin, tak semudah itu mengenakan seragam militer khas Kopassus di tanah berkonflik. Apalagi dia sedang menjalani misi. Kita pun sudah tahu berapa banyak 'tukang ojek' tewas di Papua. 

Mimpi tadi mengingatkan saya pada Kapten Philips sekaligus sandera OPM. Dua peristiwa yang nyaris mirip. Nyaris, bukan lagi benar-benar mirip.

Saya sebut begitu, karena lokasinya sama-sama di Papua. Juga melibatkan warga negara asing. Bedanya, Operasi Mapenduma berhasil. Sedang pembebasan Philip masih ruwet. Pun ketika saya mengendapkan beberapa hari tulisan ini. Kabar Kapten Philip dibebaskan tak kunjung terdengar. 

Operasi Mapenduma terjadi 8 Januari 1996. Saya bocah waktu itu. Masih asyik main kelereng depan rumah. Atau, lagi diomelin. 

Balik lagi ke Mapenduma. Operasi ini membebaskan peneliti Taman Nasional Lorentz. Di sini pasukan elit Kopassus diturunkan.

Komandannya Prabowo Subianto. Pangkatnya masih Brigjen TNI. Saya masih membayangkan segagah apa dia. Tapi abaikan soal itu.

Dalam pikiran saya, operasi ini pasti lebih rumit ketimbang pembebasan Philip. Karena, dari 26 sandera, ada tujuh WNA. Empat orang Inggris, dua Belanda dan sisanya warga negara Jerman.

Penyanderanya juga OPM. Di bawah komando Kelly Kwalik. Dia tewas dalam penyergapan pada 2009 untuk kasus lain.

Sekali lagi, saya membayangkan; operasi ini benar-benar sulit. Dulu belum ada teknologi secanggih sekarang. Boro-boro drone, perangkat android saja belum tercipta.

Apalagi TNI belum punya satelit. Tidak tahu kalau sekarang. Harusnya sih ada. Mungkin. "Operasi ketika dulu dengan sekarang tentu berbeda," jelas seorang kawan saya di Kopassus.  

Sebelum lanjut, disclaimer dulu. Apa yang saya ceritakan bersumber dari berbagai artikel. Benar atau salah, tolong jangan dihujat. 

Di bagian ini, otak terdistraksi tugas intelejen yang dilakukan teman saya. Jangan-jangan, dia sedang menjalani misi pembebasan Philips. Siapa tahu.

Karena, hal itu dilakukan di Mapenduma. Sebelum Kopassus melakukan penyergapan, intel-intel TNI lebih dulu memetakan titik operasi.

Insting Prabowo harus diacungi jempol. Saya beri dua. Atau, biar lebih kekinian, saya kasih bintang enam. Saat itu dia mengutus anggotanya bergerilya. Membaur dengan orang-orang Papua. Termasuk memasuki markas-markas OPM.

Hingga, entah bagaimana caranya, mereka menentukan enam titik operasi. Yang pasti tak mudah. Karena tanpa peralatan canggih.

Pilihan rumit: nyawa Manusia atau negara. Operasi ini bukannya tanpa negosiasi. Ada, sama seperti sekarang. Pertemuan dengan OPM juga berkali-kali dilakukan. Beberapa sandera bahkan berhasil dibebaskan.

Tapi, pada akhirnya negosiasi mentok juga. Untuk membebaskan semua sandera, OPM minta Papua dibebaskan. Bagi saya, ini titik terumit. Pilihannya cuma ada dua. Nyawa manusia, atau kedaulatan negara. Dalam operasi Mapenduma, operasi pembebasan sandera memakan waktu tak kurang dari 129 hari. 

Beberapa peneliti dari Ekspedisi Lorentz yang disandera OPM tahun 1995. Foto via Okezone.com

Selebihnya, menarik untuk memetik pelajaran dari kisah penyanderaan warga Korsel di Afganistan. Medio Juli-Agustus 2007 silam, sekelompok 'turis' Korea disandera oleh kelompok ekstrimis Taliban. Melalui negosiasi alot, Pemerintah Korea berhasil membebaskan mereka. 

Tapi, alotnya negosiasi harus dibayar mahal dengan melayangnya dua nyawa. Kisah penyanderaan itu tergambar dalam 'The Point Men' garapan sutradara Yim Soon-rye. Filmnya epik. Seru sekali. Terlebih di detik-detik saat Taliban mulai melunak. Atau di saat mereka hendak membebaskan 23 sandera seusai campur tangan Jirga, sebuah majelis khusus suku Pastun. 

Sayang, upaya pembebasan seketika buyar. Sebuah stasiun televisi tak sengaja mengungkap identitas para 'turis' itu. Melalui tayangan dialog yang membahas krisis sandera di Afganistan itu, salah seorang narasumber keceplosan. Ia mengungkap identitas para 'turis' itu. Yang sebenarnya adalah misionaris. Si narsum kala itu memprotes kegiatan dakwah para misionaris Korean yang sampai menyentuh pedalaman Afganistan.

Di tengah gurun pasir, diam-diam tayangan bercakap-cakap berbahasa Korea itu sampai ke petinggi Jigra. Melalui tayangan televisi satelit, mereka menyaksikan siaran langsung itu. Petinggi tersebut sejatinya sudah meminta Taliban membebaskan sandera Korea. Konon, hanya kelompok inilah yang masih didengar oleh Taliban. 

Permintaan itu membebaskan sandera Korsel sempat disetujui. Namun lantaran tahu bahwa para sandera bukan sukarelawan, melainkan misionaris, petinggi itu pun berang. Dalam keadaan marah, ia mendatangi diplomat terampil Korea yang diperankan Hyun Bin. Rencana pembebasan sandera pun buyar.

Pemerintah Korea kebakaran jenggot. Tak cuma gagal, mereka juga harus menanggung malu. Dunia menjadi tahu bahwa mereka mencoba menutupi identitas para sandera yang sebenarnya misionaris bukan sukarelawan.

Saat siaran televisi itu berlangsung, sedianya pihak Kementerian Luar Negeri sempat menghubungi pihak stasiun televisi untuk segera menghentikan tayangan. Namun kadung tayang. Live pula. Lengkap dengan subtitle berbahasa Arab. Beberapa hari kemudian, jasad seorang pria Asia ditemukan di tengah Gurun. Pemerintah Korsel yang kebingungan kemudian memikirkan opsi operasi militer; menyerbu markas Taliban. Wacana ini kemudian membuat resah Hyun Bin. Di sinilah kegigihan sang diplomat diuji.

Segala cara ditempuh demi menggagalkan opsi militer. Termasuk menangkal segala hal yang bisa memprovokasi Taliban. Negosiasi pun berlangsung alot. Taliban bersikeras agar pemerintah Afganistan membebaskan para pejuangnya dari dalam penjara. Pembebasan tahanan Taliban merupakan hal yang tak mungkin dilakukan. Jika itu dilakukan, Afganistan yang disokong sekutu untuk menumpas Taliban, bakal kehilangan muka. Langkah kontra-terorisme bakal kehilangan citra.

Sebelum ditarik pulang, Hyun Bin lalu nekat menghubungi sekretaris kepresidenan Korsel. Ia meminta untuk dihubungkan langsung ke presiden. Gagal. Ia diminta tegak lurus mengikuti langkah menteri luar negeri Korsel yang memilih opsi militer.

Di saat operasi penyerbuan ke markas Taliban di tengah gurun tinggal menunggu waktu, keajaiban datang. Telepon di kamar hotel Hyun Bin berdering. Di ujung telepon, terdengar suara presiden Korsel. Hyun Bin nekat; menawarkan bernegosiasi tatap muka dengan petinggi Taliban. Walau berisiko, sang presiden pada akhirnya mau memberi lampu hijau.

Hyun Bin amat berhati-hati. Sebab di pikirannya selalu ada nyawa yang hilang di balik operasi militer. Entah itu di pihak kelompok ekstrimis, militer atau bahkan sandera. Nyawa manusia tak bernilai. berapapun harganya.

Kegigihan sang diplomat menuai hasil. Ia nekat menemui petinggi Taliban itu. Di sarang kelompok ekstrimis itu, dengan hanya ditemani seorang penerjemah. Negosiasi berhasil. 19 sandera yang tersisa dibebaskan. Tapi, Korsel harus menarik pasukannya dari Afganistan akhir 2007. Dan menghentikan kegiatan misionaris mereka di Afganistan.

Selama tujuh hari berturut, The Point Men yang dibintangi Hyun Bin sukses melampaui sejuta penonton di Box Office.

Seorang kawan saya di pasukan khusus sepakat. Bahwa segala upaya pendekatan nonmiliter harus dikedepankan. Penyanderaan bagai api dalam sekam. Potensi munculnya korban jiwa bisa terjadi kapan saja. Terlebih bila ada yang menyulutnya.

Media sekarang memang tidak seperti dulu, keluh seorang kawan di korps baret merah itu. "Dulu ketika tim khusus bergerak, minim yang tahu. Makanya operasi Mapenduma berjalan lancar," kata dia membandingkan.

"Tapi sekarang, Kopassus belum sampai Papua saja beritanya udah muncul di media, di mana-mana,” sambungnya.

Teman saya itu bukan sembarang prajurit. Pangkatnya letnan. Masih muda. Jabatannya setara komandan pleton. Kualifikasinya tempur-intelejen. Tanpa pemanasan sekalipun, ia bisa jitu menembak sasaran. Terampil berkat latihan.

Terkadang, menurutnya, media harus mau dikondisikan. Menghindari segala publikasi yang bisa memprovokasi OPM maupun TNI. Demi menghindari munculnya korban jiwa.

Keruwetan dalam pembebasan Philip, menurutnya juga tak lepas dari masifnya politisasi dari OPM. Contohnya, pernyataan bahwa TNI telah melakukan pemboman di areal penyanderan.

Ia juga melihat Philip, pilot asal Selandia itu mendukung sekali ide-ide kemerdekaan Papua. Buktinya, terakhir kali Philip lewat sebuah video ikut meyakinkan publik bahwa TNI sebagai dalang pengembomban.

"Jelas itu adalah hoaks. Itu setting-an OPM, TNI tidak membom markas OPM yang mana ada Philip di sana. Bisa membahayakan kondisi sandera," jelas kawan itu.

Selebihnya, pola operasi menjadi tantangan lain. Beda sekali antara operasi Mapenduma dengan operasi pembebasan Philip. Pada kasus Philip, pembebasan sangat lama. Sebab, Laksamana Yudo, terus berupaya mengindari jalur kekerasan. Ia terlihat lebih fokus pada penggalangan. Di fase ini, kita harus sepakat dengan sikap Panglima TNI tersebut.

Petang hari, saya pun lantas menghubungi teman yang muncul di dalam mimpi saya itu.

"Apa kabar, apakah sudah berangkat ke Papua?" tanya saya. "Sudah bang, apa info," jawabnya bertanya balik khas intelijen. Kepadanya, saya memintanya senantiasa menjaga keselamatan selama di Papua.

TNI dan masyarakat Papua. Foto via tni.mil.id

Sekali lagi, sudah saatnya pemerintah mengambil opsi selain militer di Papua. Tak usahlah risau jika itu bisa melunturkan wibawa. Tanpa dijelaskan sekalipun, dunia sudah tahu reputasi militer kita. Di dalam Forum IISS Shangri-La Dialogue 2023, ketegasan Prabowo Subianto banyak dipuji, “Kitalah [Indonesia] yang paling tahu peperangan," ujar Prabowo menggebu-gebu saat proposal damai Rusia-Ukraina dipertanyakan banyak para delegasi dunia. 

Klaim itu bisa saja benar. Sudah beberapa kali agresi militer Belanda dilewati? Tak terhitung jumlahnya. Dari agresi militer Belanda I, II, dan mungkin banyak lagi. Pengalaman dan doktrin perang TNI sudah tak bisa lagi diragukan.

"Kemerdekaan kita bukan hadiah, kita [meraihnya dengan] berperang," ujar Prabowo pada kesempatan lain.

Peperangan jelas hanya akan menimbulkan kehancuran. Operasi militer hendaklah menjadi opsi terakhir dalam menyikapi sebuah krisis akibat konflik.

Tapi, OPM merupakan lawan tanding perang yang sepadan TNI? Tentu tidak. Tanpa dijelaskan kita juga sudah tahu siapa raja hutan di Papua sebenarnya.

Momentum menjadi bagian penting dalam setiap aksi penyanderaan. Tawaran jubir OPM terkait negosisasi di tempat netral Philip harus segera direspons pemerintah. Kita bisa hitung berapa pejabat utama pemerintah yang membicarakan proposal damai di Papua.

Saya cuma orang biasa yang sedikit tahu banyak hal. Toh sudah banyak yang berkata pendekatan non-militer harus terus digaungkan untuk mengakhiri krisis kemanusiaan di Papua.

Pemerintah telah menggaungkan pendekatan kesejahteraan di Papua. Sekarang, tinggal bagaimana dengan pelaksanaannya di lapangan.

Kita tahu. Setidaknya ada sekitar 10 ribu personel TNI/Polri diterjunkan ke Papua setiap tahunnya. TNI selama ini identik dengan satuan pemukul. Bagaimana caranya bisa merangkul? Dengan pengerahan pasukan semacam itu apakah pemerintah benar-benar serius melakukan pendekatan kesejahteraan di Papua? Semoga keraguan saya salah. (Fariz Fadhillah)