Kalsel

Kompromi dengan Pancasila, Benang Merah Orasi Soekarno di Amuntai

apahabar.com, MARTAPURA – Presiden Soekarno melakukan lawatan ke daerah-daerah yang menjadi “pusat kekacauan” pada akhir Januari…

Presiden Soekarno ketika menyampaikan pidato di Amuntai, Kalimantan Selatan. Foto-Istimewa

apahabar.com, MARTAPURA - Presiden Soekarno melakukan lawatan ke daerah-daerah yang menjadi "pusat kekacauan" pada akhir Januari 1953. Pidatonya di Amuntai, Kalimantan Selatan, menimbulkan pro dan kontra.

Diceritakan Sejarawan Kalsel, Mansyur, pada awal tahun 1953 gerakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) pimpinan Ibnu Hadjar meningkatkan kegiatannya. Gerakan yang dicap pemerintah era itu sebagai "pemberontak" beroperasi antara wilayah Kandangan dan Barabai. Markas besarnya di Gunung Hantu, sekitar Desa Datar Laga, dekat Barabai dan tidak jauh dari Kandangan.

"Gerakan bersenjata ini mengakui sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo yang dimulai pada Oktober 1950," ujar Mansyur.

Dalam kondisi tengah berkecamuknya aktivitas KRyT dan upaya Gubernur Kalimantan dr. Moerdjani melakukan aksi militer, pada akhir Januari 1953 Presiden Soekarno berkunjung ke Kalimantan.

C. Van Dijk dalam "Darul Islam Sebuah Pemberontakan" menuliskan tujuan Soekarno dalam rangka pemeriksaan daerah-daerah "pusat kekacauan" di Indonesia.

"Adapun wilayah-wilayah yang dikunjungi mulai Banjarmasin, Martapura, Kandangan, Negara, Barabai hingga Amuntai. Agenda utama kala itu, adalah kedudukan Islam dalam masyarakat dan masalah hangat apakah Indonesia akan menjadi negara Islam atau tidak. Beserta kondisi keamanan yang merupakan tema utama pidato-pidato Soekarno dalam lawatannya," ujar Dosen Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin ini.

Presiden Soekarno melihat dengan matanya sendiri akibat-akibat pemberontakan KRYT saat melakukan perjalanan dari Martapura ke Kandangan. Bahkan, di daerah Kandangan, beberapa pemberontak menghentikan sebuah truk tentara dan membakarnya tak lama sebelum kedatangan Soekarno.

"Kerangka truk yang hangus itu belum dapat dipindahkan ketika Soekarno lewat," ungkap Mansyur.

Dalam pidatonya, Presiden pertama Indonesia itu berulang-ulang menekankan perlunya pemulihan keamanan dan persatuan. Seperti di Kandangan, sang Putera Fajar mengemukakan, "Membunuh dan membakari rumah maupun mengacau ketertiban jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Kecuali kita dihancurkan oleh rakyat kita sendiri, Indonesia akan hidup terus."

Mansyur menyebutkan, ada pro-kontra muncul ketika isu sensitif disinggung Soekarno dalam pidatonya di Lapangan Merdeka Amuntai, 27 Januari 1953, mengenai masalah agama dan dasar ideologi negara.

"Menurut van Dijk, bahwa sebagian golongan Muslim di Kalimantan Selatan menentang sikap Soekarno tentang peranan Islam dan penyebaran "marhaenisme" jelas terbukti ketika ia tiba di Hulu Sungai. Dalam pidato tanpa persiapan ketika dia melihat slogan-slogan yang diperlihatkan massa yang berbunyi: Harap jelaskan: Negara Nasional atau Negara Islam? dan Bung Karno, apakah arti Marhaenisme?" kata Mansyur yang kini menjabat sebagai Ketua LKS2B Kalimantan.

Isi pidato tersebut sempat menggusarkan kaum Muslim Indonesia, yakni mengenai pendapat Soekarno tentang negara Islam. Masalah yang sejak 1945 menarik perhatian politisi muslim maupun sekuler. Soekarno mengemukakan alasan, bila negara Islam dibentuk, banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri dari Republik.

"Sebagai contoh daerah Maluku, Bali, Flores, Timur, Kepulauan Kei dan bagian-bagian Sulawesi dengan menambahkan Irian Barat mungkin tidak mau masuk Indonesia," jelas Sammy.

Dalam baboon Sejarah Banjar (2003) dituliskan pada mulanya pidato Soekarno yang disampaikan di Amuntai yang diistilahkannya sebagai sebuah pojok terpencil di Indonesia, tidak banyak menarik perhatian. Kemudian sesudah isinya diketahui lebih luas, timbul gelombang kontra.

Soekarno diserang bukan saja karena membela alasan konstitusional mendukung negara sekuler. Tetapi juga karena tidak membedakan antara mereka yang ingin negara Islam dengan cara damai dan mereka yang berusaha mencapai dengan cara-cara kekerasan. "Lagi pula, ada yang menuduhnya menyatakan dirinya menentang cita-cita Islam," tambahnya.

Seperti Masyumi Kalimantan Selatan. Salah satu partai yang menyambut dengan gusar kata-kata Soekarno kala itu. Pidato itu mereka menyatakan sebagai propaganda berat sebelah. Karena tidak dikemukakan pilihan alternatif suatu partai politik dengan ideologi Islam atau cita-cita mendirikan negara Islam.

"Reaksi-reaksi jengkel juga muncul di Aceh. Ketika Soekarno harus memberikan penjelasan isi pidatonya di Amuntai, dalam kunjungannya di Sumatera Utara beberapa minggu kemudian. Kemudian di Jakarta ketika muncul demonstrasi massa di Lapangan Banteng. Protes dari Masyumi oleh M. Isa Anshary yang mencap pidato itu "tidak demokratis, tidak konstitusional dan bertentangan dengan ideologi Islam," dan oleh organisasi-organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan GPII," bebernya.

Menurut Iqbal (2011), sambung Mansyur, Soekarno memberikan jawaban tersendiri mengenai kontra ini. Dalam suatu ceramah di Universitas Indonesia, dijelaskannya bahwa, "Ketika aku berdiri di Amuntai menghadapi pertanyaan: Bung Karno, kami inginkan penjelasan apakah kita harus mendirikan Negara Nasional atau Negara Islam? Ketika aku berdiri di sana, ketika itu sebagai Presiden Republik Indonesia, sesaat pun tak ada terkandung maksud untuk melarang kaum Muslim memajukan atau mempropagandakan cita-cita Islam."

"Sebagai Presiden, menurut Sukarno dan karena itu harus mempertahankan konstitusi, dia pun harus menjawab. Indonesia adalah "Negara Nasional," tetapi dengan demikian, tidaklah meremehkan hal warga negara untuk menyebarkan pandangan dan cita-citanya sendiri," ucapnya.

Mansyur menyimpulkan, benang merah dari pidato Soekarno, baik di Amuntai maupun di Jakarta, menekankan bahwa Pancasila merupakan kompromi yang harus disetujui bila orang ingin menghindari perpecahan. Kemudian menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Nasional (national state) yang berbentuk republik dengan sistem kesatuan. Menyatukan seluruh wilayah Nusantara, bukan persatuan atau pederasi.

Sejak awal 1950-an, Bung Karno memang gencar mewacanakan ideologi Pancasila dan paham kebangsaan. Hal ihwal itu dilakukannya sejak menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada 19 September 1951 atas jasanya sebagai “Pencipta Pancasila”.

"Hal-hal yang patut diambil sebagai pelajaran dari pidato Soekarno, terlepas dari pro dan kontra. Bahwa Indonesia satu kesatuan yang mengikat semua ideologi yang tumbuh di dalam diri jiwa bangsanya yang tidak bisa dimusnahkan atau diabaikan," pungkasnya.