Kisruh Wacana Ibu Kota Batola ke Alalak, Pakar Komunikasi ULM: Sah-sah Saja!

Pakar Komunikasi FISIP ULM Banjarmasin, Dr. Fahrianoor, buka suara terkait kisruh wacana pemindahan ibu kota Kabupaten Barito Kuala (Batola) ke kecamatan Alalak

Pembangunan Jembatan Alalak. Foto-WIKA

apahabar.com, BANJARMASIN - Pakar Komunikasi FISIP ULM Banjarmasin, Dr. Fahrianoor, buka suara terkait kisruh wacana pemindahan ibu kota Kabupaten Barito Kuala (Batola) ke kecamatan Alalak.

Sebelumnya, wacana tersebut disuarakan oleh anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda.

Kader PDI Perjuangan itu menilai Alalak memiliki karakter khusus. Meski berupa kecamatan, namun berkarakteristik perkotaan.

Seandainya pembangunan dipusatkan di Alalak, kata dia, maka tidak sulit membuat metropolis yang satu napas, sehingga tidak jomplang dengan Banjarmasin dan Banjarbaru.

Sontak pernyataan itu pun mendapat sorotan tajam dari sejumlah tokoh masyarakat.

Salah satunya Dosen Program Studi Sosiologi Antropologi FKIP ULM Banjarmasin, Nasrullah.

Pria yang akrab disapa Inas tersebut lebih mempertimbangkan aspek historis dan perkembangan kota.

Menanggapi hal itu, Fahrianoor justru berpandangan lain.

Menurutnya, mewacanakan pemindahan ibu kota merupakan hak setiap warga negara.

“Itu bagus, persoalan liar atau tidak liar dalam tendensi tertentu terlalu dini dilontarkan, dalam pandangan komunikasi politik berwacana itu sah-sah saja,” ucap Fahri kepada apahabar.com, Jumat (6/1) siang.

Ia berdalih wacana pemindahan ibu kota bukan hal yang tabu.

Ambil contoh pemindahan ibu kota provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru.

Padahal Banjarmasin memiliki nilai-nilai sejarah.

Pun demikian dengan ibu kota negara Republik Indonesia yang pindah dari Jakarta ke Paser Penajam Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim).

“Secara rasional, Banjarmasin kurang apa historisnya, toh pindah ke kota Banjarbaru.”

“Kenapa pindah? Ini kan berdasarkan kebijakan kebutuhan sekarang, tuntutan zaman, perubahan ini tidak bisa dilawan, kalau Banjarmasin secara historis memiliki nilai-nilai iya, toh Jakarta sebagai ibu kota negara juga dipindah ke Kalimantan,” jelasnya.

Dalam konteks demokrasi, sambung dia, semua orang boleh-boleh saja berwacana.

Dilihat dari birokrasi pelayanan, yang mana prinsip pelayanan harus mendekati masyarakat.

“Kalau ini diwacanakan sah-sah saja, tidak ada yang tabu, apakah ada tendensi politik, ya tidak masalah karena itu tidak dinafikan. Harusnya ini menjadi bahan perdiskusian publik, bagaimana bisa melahirkan nilai nilai yang berdasar,” pungkasnya.