Kisah Pergundikan dan Nasib Anak-Anak Kolong di Magelang

Gundik adalah perempuan yang tinggal di dalam tangsi bumiputera dan memiliki peran sentral dalam kehidupan rumah tangga serdadu.

Serdadu Belanda dan Gundiknya (KITLV Leiden)

Apahabar.com, MAGELANG - Gundik adalah perempuan yang tinggal di dalam tangsi bumiputra dan memiliki peran sentral dalam kehidupan rumah tangga serdadu.

Magelang, kota yang memiliki banyak cerita sejarah dan bangunan Belanda yang melegenda. Salah satu cerita yang cukup melegenda tentang kehidupan masa Hindia Belanda di Kota ini adalah tentang anak-anak kolong dan pergundikan.

Praktik pergundikan pernah menjadi fenomena sejarah yang ironi, lantaran meninggalkan banyak mengorbankan harkat perempuan.

Gundik atau yang disebut juga moentji adalah perempuan yang tinggal di dalam tangsi bumiputra atau Indo Eropa yang memiliki peran sentral dalam kehidupan rumah tangga serdadu.

Pegiat sejarah Magelang, Chandra Gusta mengatakan, pekerjaan para moentji beragam, mulai dari memasak, mencuci, belanja, tidur dan melahirkan anak - anak hasil pergundikan. 

Baca Juga: Kali Manggis, Sungai Buatan Belanda di Magelang Berusia Hampir Seabad

"Moentji hadir di dalam tangsi dari berbagai cara, mulai dari permintaan serdadu, menawarkan diri, diambil alih dari rekan serdadu lain atau ditawarkan sendiri oleh keluarga," kata Gusta, Selasa (18/7).

Menurut dia, menjadi Moentji adalah cara pragmatis untuk keluar dari kemiskinan meskipun secara sosial masyarakat di luar tangsi mereka dianggap rendah. 

Para moentji yang tinggal di dalam tangsi militer rerata berusia 12-35 tahun. Usia pernikahan bagi wanita bumiputra rata-rata adalah 13 tahun. 

Usia 30 tahun dianggap sebagai usia yang tua dalam dunia pergundikan tangsi. Maka dari itu, jika mereka sudah dianggap tidak berguna lagi, para moentji ini akan diberi "surat lepas" yang artinya mereka diusir dari tangsi dan akan kehilangan segala fasilitas dan kenyamanan tangsi.

Lebih lanjut, Gusta menuturkan, ada 4 kemungkinan nasib moentji dan anak-anak hasil pergundikan yang akan mereka terima di Indonesia.

Pertama, kata Gusta, moentji dan anak-anaknya akan ikut pindah tugas atau pulang ke Eropa. Kedua, moentji dan anak-anak diserhakan ke rekan serdadu lain.

"Ketiga, Sang serdadu akan membawa anak-anak hasil hubungannya dengan moentji ke kesuatu tempat agar sang moentji bisa menjadi gundik serdadu lain atau kembali ke kampung tanpa anak-anak," tuturnya.

Terakhir atau yang keempat, Gusta menuturkan, sang serdadu akan meninggalkan mereka begitu saja tanpa memberi apa-apa.

Moentji dan Anak-anak Kolong

Belum usai persoalan moentji, muncul masalah baru terkait anak kolong muncul sebagai sebuah ungkapan satir tentang bagaiamana kehidupan di dalam  tangsi.

Gusta menuturkan, kala itu, sebuah keluarga serdadu yang tinggal bersama dalam barak harus rela berdesakan menjejali tiap jengkal yang ada sebagai ruang untuk mereka tinggal.

"Termasuk juga kolong ranjang yang dijadikan tempat tidur anak-anak hasil pergundikan," ujarnya.

Sebagai informasi, anak-anak kolong ini berasal dari berbagai macam etnis, ada Jawa, setengah Tionghoa, Afrika dan liplappen (Indo-Eropa). 

TKR Indonesia saat hendak melawan Sekutu di Magelang (Dok. KITLV Leiden)

Akhir Pergundikan

Menurut Gusta, protes keras praktik pergundikan tangsi sejatinya sudah mulai muncul pada 1880an ketika kecaman langsung disampaikan oleh Uskup Agung Batavia dan masyarakat yang prihatin terhadap eksploitasi perempuan bumiputra.

Disisi lain, panglima militer Hindia Belanda adalah pendukung utama praktik pergundikan karena alasan peningkatan moral bertempur serdadu dan memperkecil perilaku penyimpangan seksual di dalam tangsi.

Baca Juga: Johannes Van Der Steur, Pejuang Kemanusiaan Masa Penjajahan Magelang

"Selain itu biaya menjadi dasar lain kenapa pergundikan tangsi dilestarikan," ucapnya.

Sejak 1913 secara mantap praktik pergundikan tangsi mulai mengalami penurunan akibat derasnya kecaman pada pihak militer.

Dengan demikian, pada 1918, Komandan KNIL Hindia Belanda mengeluarkan pernyataan, pergundikan tangsi harus segera diakhiri.

"Lonceng kematian pergundikan tangsi militer benar - benar berdentang ketika Gubernur Jendral van Limburg Stirum secara resmj menyatakan larangan pergundikan tangsi militer pada 1919," ujarnya,