Kalsel

Kisah Kai Anggut di Padang Batung HSS: Hidup Miskin Ternyata Punya Cucu Imam Masjid di Mekah

apahabar.com, KANDANGAN – Hidup miskin sebatang kara di tengah hutan, siapa sangka seorang kakek yang biasa…

Kai Anggut (kiri) berfoto dengan reporter apahabar.com (kanan) di kediamannya di ladang Dusun Tambak Pipi’i, Desa Batulaki, Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (foto diambil sebelum pandemi Covid-19). Foto: Istimewa

apahabar.com, KANDANGAN – Hidup miskin sebatang kara di tengah hutan, siapa sangka seorang kakek yang biasa disapa Kai Anggut, ternyata memiliki seorang cucu yang menjadi imam masjid di Tanah Suci Mekah, Saudi Arabia.

Kai Anggut yang memiliki nama asli Saberi itu, merupakan warga Kampung Tajau Balah-Kalinduku, Desa Ambutun, Kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).

Karena ekonomi lemah, sudah 3 tahun ia mengungsikan diri ke hutan di Dusun Tambak Pipi’i, Desa Batulaki, Kecamatan Padang Batung, HSS.

Tidak susah mencari Kai Anggut, baik di Kalinduku maupun Tambak Pipi’i masyarakat mengenalnya dengan baik.

Namun, mendatangi kediamannya di Tambak Pipi’i, apahabar.com membutuhkan perjuangan lebih, dengan harus melewati jalan ekstrim. Melalui jalanan licin bekas hujan, jembatan darurat, dan banyak tanjakan curam.

Di usianya yang sudah senja, Kai Anggut tinggal hanya ditemani kucing beserta 2 ekor anaknya di gubuk tua milik orang lain, yang tanpa dialiri listrik itu.

Kai Anggut mencoba bertahan hidup di tengah hutan, dengan memanfaatkan hasil hutan.

“Karena kesakitan hidup di kampung, dan memenuhi kebutuhan hidup saja susah. Jadi mancari turihan [sadapan] di sini mambilupah [mencari pekerjaan sebagai kuli menyadap karet, red],” ujar Kai Anggut, saat ditemui di kediamannya belum lama ini.

Saat ini, Kai Anggut sedang membuka lahan untuk bertani padi gunung, jauh dari kediamannya. Sehingga saat pagi sampai sore, ia tidak ada ditemui di rumah.

Datang ke Tambak Pipi’i, Kai Anggut tak ada membawa bekal apapun, selain pisau sadap karet.

“Wara jariji 10 dan lading turih [Hanya bermodal 10 jari tangan dan pisau sadap, red],” ujarnya.

Ia bersyukur, warga sekitar baik padanya. Jika ingin ke kampung sekedar mencari warung teh, ataupun pergi ke ladang, ada yang bersedia menawarkan tumpangan, tiap kebetulan bertemu.

Kai Anggut tak memiliki siapapun lagi, selain seorang cucu yang masih hidup yang kini dikabarkan menjadi imam masjid di Kota Mekah, yakni Syekh Asal Syu’bah bin Haji Yanto Al-Makki Al-Banjari.

Syekh Asal merupakan putera pertama dari mendiang Mariati, yang merupakan puteri dari Kai Anggut.

Kehidupannya yang serba berkesusahan, Kai Anggut tak pernah membayangkan, puterinya bisa menginjakkan kaki hingga Tanah Suci Mekah. Bahkan, sang cucu kini bisa membanggakan.

Diceritakan Kai Anggut, mendiang puterinya itu memiliki tumit seperti terbelah 2.

Menurutnya, hal itu adalah pertanda keberuntungan. Puterinya sering disedekahi tetangga, berupa bahan-bahan pokok.

“Di mana badiri tahantak, makan-minum dibayari [Tiap kemana-mana selalu ada yang mentraktir makan, red],” ungkapnya.

Zaman itu, saat harga secangkir teh dan kue di warung seharga 5 rupiah.

Kai Anggut mengungkapkan, ada seorang kerabat yang berkata, bahwa lambat laun puterinya akan merasakan menginjakkan kaki di Tanah Suci Mekah.

“Duit berangkat ke Banjar [Banjarmasin, red] saja tidak punya, bagaimana mau ke Mekah,” ujarnya, heran.

Saat Mariati tamat Sekolah Dasar (SD) ungkapnya, sudah ada 3 orang yang melamar. “Tapi herannya, ketiganya tidak ada yang bujangannya. Duda beranak semua,” ujarnya, sambil tertawa malu.

Saat itu kenangnya, Kai Anggut berpesan pada puterinya jika ingin menikah untuk sungguh-sungguh dan tidak berbuat macam-macam.

Akhirnya, puterinya dipersunting Haji Yanto, yang merupakan warga Pulau Negara, Kelurahan Kandangan Kota.

Singkat cerita, puterinya diajak ikut tinggal di Kota Mekah oleh Haji Yanto. Sebab, sebelumnya Haji Yanto sudah lebih dahulu tinggal di Mekah setelah menikah.

Kai Anggut mengantar sendiri puterinya, di Bandara Syamsuddin Noor waktu itu.

“Waktu itu, masih bisa mengantar dekat bandara, jadi bisa melihat jelas anak saya melambai tangan dari jendela pesawat,” kenangnya.

Kebetulan atau sudah takdir, puterinya ternyata benar-benar telah menginjakkan kaki di Tanah Suci Mekah, yang tak pernah ia sangka sebelumnya.

Tetapi, sejak saat itu komunikasi Kai Anggut dengan puterinya terputus, dan tidak tahu kabar sama sekali.

Bahkan, kabar puterinya sudah meninggal pun ia terlambat mengetahui.

“Dimakamkan di mana pun, juga tidak mengetahui,” tuturnya, sedih.

Ketika puterinya meninggal itu terangnya, kebetulan saat ia sedang merantau ke Malahuy, daerah di Kalimantan Tengah.

“Sempat pula saya menjadi gelandangan di Kota Banjarmasin, Alhamdulillah tidak sampai terjerumus kepada keburukan,” imbuhnya.

Kerinduan akan puterinya sedikit terbayar, saat baru diketahui ia memiliki cucu. Yakni Syekh Asal yang merupakan anak dari puterinya sendiri.

“Sempat bertemu sekitar 3 tahun lalu, datang ke Kalinduku namun tidak lama berangkat lagi ke Gurunya di Kandangan,” terangnya.

Kesempatan itu dimanfaatkan untuk berbincang sebentar, saling memberi pesan dan berfoto bersama. “Sampai saat ini, tidak tahu lagi kabarnya, mudahan masih sehat saja,” tuturnya.

Terakhir pertemuan itu ujarnya, sampai kini tidak tahu lagi kabar sang cucu. Kai Anggut mengaku masih rindu untuk bertemu dengan cucunya lagi, meski hanya sebentar.

“Anak tidak ada lagi, tinggal cucu yang menjadi satu-satunya yang dimiliki gantinya,” ucapnya, dengan mata berbinar-binar.

Diakuinya, Syekh Asal sangat mirip dan mengingatkan lagi dengan dengan wajah puterinya.

Ia berharap, cucunya atau siapapun yang dapat memfasilitasi, jika ada kesempatan dapat mempertemukan lagi baik di kediaman saat ini, maupun di kampung halaman.

Kai Anggut sangat bangga, dengan hidupnya yang serba kekurangan, keturunannya menjadi orang yang hebat.

“Alhamdulillah, bisa memiliki cucu yang menjadi orang bisa membanggakan,” ucapnya bersyukur.