Kalsel

Kisah Jembatan Ringkap dan Tarif Tol di Sungai Martapura Banjarmasin

apahabar.com, BANJARMASIN -Pembangunan infrastruktur sungai di Kota Banjarmasin sudah dimulai zaman Hindia Belanda. Tepatnya, pada 1898…

Jembatan terbuka di salah satu kanal di Bandjermasin Zuid-Borneo, antara tahun 1944-1955. Foto-Tropen museum.

apahabar.com, BANJARMASIN -Pembangunan infrastruktur sungai di Kota Banjarmasin sudah dimulai zaman Hindia Belanda. Tepatnya, pada 1898 silam. Ketika penunjukan Residen yang berkedudukan di Banjarmasin, yaitu C.A. Kroesen.

“Apalagi setelah Banjarmasin berubah status menjadi Gemeente Raad 1919,” ucap Akademisi Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Mansyur kepadaapahabar.com, Minggu (14/7) siang.

Status ini, kata dia, menandai penghibahan otonomi yang pertama kepada masyarakat kulit putih di Banjarmasin. Tercantum dalam Lembaran Negara Hindia Belanda tahun 1919 nomor 252, tertanggal 1 Juli 1919.

Baca Juga: Torehan Sejarah (2); Kereta Api di Kalsel Dimiliki Perusahaan Tambang

Gemeente Raad Banjarmasin, sambung dia, terdiri dari 13 orang anggota, yaitu 7 orang Eropa, 4 bumiputera dan 2 Timur Asing. Dewan ini diketuai P.J.F.D. Van de Riveira (Asisten Residen Afdeeling Banjarmasin).

“Perkembangan modernisasi Banjarmasin dengan pusat-pusat perkantoran, bank, firma-firma Belanda, gereja, jalanan kampung Belanda, pasar, alun-alun, sungai dengan jembatan ringkap,” sebutnya.

Selain itu, dibangun pula sarana pendidikan anak-anak kulit putih, rekreasi kulit putih, kebersihan kota, penerangan, air minum dan sebagainya. Seperti terlihat pada jalanan kampung Belanda (Resident de Haanweg).

Pembangunan infrastruktur meningkat setelah Banjarmasin menjadi ibukota Borneo 1938. Kalimantan menjadi Gouvernor-Ment Borneo yang terdiri dari Karesidenan Borneo Barat dan Karesidenan Borneo Selatan dan Timur yang beribukota di Banjarmasin dengan Gubernur A. Haga. Gemeente Banjar-masin ditingkatkan menjadi Stads Gemeente Banjarmasin.

Baca Juga: Torehan Sejarah (1): Kalsel Pertama Kali Miliki Rel Kereta Api di Indonesia?

Berkaitan dengan infrastruktur kota Banjarmasin, terang Mansyur, dalam beberapa sumber foto yang dirilis KITLV, tampak beberapa jembatan yang disebut “Ophaal brug”.

Jembatan itu dapat diangkat bila ada perahu akan lewat ke pedalaman. Satu di antaranya sumber foto tentang pesta pembukaan pemakaian Jembatan Ringkap tahun 1914.

“Jembatan ini diberi nama Jembatan Coen (Kun). Kalau sekarang lokasinya di wilayah Jembatan Dewi,” ungkapnya.

Bagi warga Banjarmasin hal ini unik, sebab merupakan jembatan ringkap terpanjang pertama yang ada di daerah ini yang menghubungkan wilayah Pulau Tatas dengan Hulu Sungai.

Pada foto lainnya, terdapat jembatan tarik di pintu masuk kanal yang menghubungkan sungai Martapura dengan sungai Barito di Kuin Banjarmasin sebelum tahun 1944.

Fenomena ini jelas terekam dalam tulisan Bambang Subiyakto, Infrastruktur Pelayaran Sungai Kota Banjarmasin Tahun1900-1970, dalam Freek Colombijnet.al. (eds.), Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia, diterbitkan di Jojakarta oleh Ombak dan Netherlands Institute for War Docu-mentation, yang terbit tahun 2005.

Baca Juga: Catatan Sejarah (3); Urang Banjar Lawan Keganasan Buaya dengan Kekuatan Gaib

Menurut Bambang, Anjir, Handil dan Saka hubungan dengan transportasi, sarana yang digunakan adalah perahu kecil atau Jukung (sampan) dengan berbagai jenisnya (Sudur, Bakapih, Anak Rimpang, Pelanjaan, Tambangan, Pandan Liris, Batambit, Bugiwas, Tiung, Hayawan, Kelotok, Patai, Rangkan, Getek, Undaan, Parahan, Paiwakan, Katinting, Peramuan dan Serdangan) dan Lanting (rakit yang terbuat dari bambu).

“Tujuannya cukup beragam, untuk kegiatan pertanian, mencari ikan, berdagang, angkutan barang, angkutan orang, pelayaran dan rekreasi baik untuk jarak dekat maupun jarak jauh,” katanya.

Lalu, bagaimana dinamika tarif tol sungai Martapura?

Bambang berpendapat, dengan mengutip Vergouwen dan Mallin-ckrodt, bahwa dalam menguasai jalur-jalur air (terutama sungai, Anjir dan Handil) oleh bubuhan di bawah kepala-kepala mereka yang memiliki kewenangan misalnya memungut tarif tol 1/10 dari barang-barang hasil hutan, pertanian dan sejenisnya.

Hasilnya menurut aturan adat, ditujukan untuk biaya pemeliharaan hutan dan jalur air. Meskipun demikian, seperti dikatakan Vergouwen selanjutnya, hasil itu lebih merupakan pendapatan bagi para kepala bubuhan.

Baca Juga: Catatan Sejarah (2); Ganasnya Buaya di Banjarmasin, Lengah Sedikit Nyawa Taruhannya

“Sejak zaman merdeka, bahkan menjelang masa-masa berakhirnya Pemerintahan Kolonial Belanda, tampaknya penarikan tarif tol telah ditiadakan. Terutama yang dimak-sudkan penarikan oleh para kepala bubuhan atau kelompok masyarakat,” paparnya.

Jalur-jalur semacam itu di dalam Kota Banjarmasin telah menjadi jalur umum. Jalur-jalur air sepenuhnya berada di bawah penguasaan pemerintah terutama jalur-jalur penting seperti sungai dan Anjir dikenakan retribusi.

Pada masa Kolonial Belanda, bagi yang menggunakan jukung, perahu atau kapal untuk tambangan diha-ruskan memiliki surat izin.

Berdasarkan ketentuan tentang menjalankan usaha tambangan (Bepalingen op de uitoefening van het Tanba-nganbedriif) tahun 1941 pada pasal 6 ayat a menyatakan: Dilarang untuk menjalankan profesi sebagai tukang tambangan di ibukota-ibukota dan daerah-daerah tanpa izin tertulis dari kepala penguasa setempat.

“Permohonan izin akan ditolak, kecuali dengan alasan menyangkut kepentingan umum, yang dalam penolakan itu disebutkan, apa kepentingan umum itu,” ujarnya.

Selanjutnya menurut Bambang, pada pasal 6 ayat c mengharuskan kepada tukang tambangan yang dengan perahunya berpangkalan di muka suatu rumah, gudang, pabrik atau halaman diharuskan memberi tempat kepada perahu lain yang akan digunakan oleh pemilik, penyewa atau pemakai dari gedung atau halaman tersebut untuk memuat atau menurunkan barang-barangnya.

Baca Juga: Catatan Sejarah (1): Ganasnya Buaya di Banjarmasin Tempo Dulu, Puluhan Korban jadi Mangsanya

Pada ayat d dikenakan ketentuan bagi para tukang tambangan yang perahunya terletak berjajar dengan perahu lainnya untuk memberi izin perahu yang ada di sampingnya.

Sementara itu, ayat e menyatakan bahwa papan yang menghubungkan tambangan dengan dermaga milik suatu perahu tidak boleh menjulur jauh ke jalur umum yang dapat menyeabkan terganggunya lalu lintas.

Dalam dinamikanya, penguasaan dan retribusi dilakukan oleh pemerintah. Pada masa pemerintah Kolonial Belanda berdasarkan ketentuan usaha tambangan tahun 1941, sedangkan masa kemerdekaan misalnya tertuang pada Perda Propinsi Kalimantan No. 5 tanggal 24 Juli 1953 tentang lalu lintas dan pemungutan retribusi lalu lintas dalam terusan-terusan yang dikuasai oleh daerah Propinsi Kalimantan.

Pada setiap jalur air menjadi tempat terkonsentrasinya populasi penduduk atau menjadi sebuah pemukiman.

Tempat tinggal dibangun berupa rumah panggung tepat di bibir sungai atau Anjir, dan ada sebagian rumah yang tiang penyangganya berada di air. Dalam hal serupa dibangun pula sarana ibadah berupa masjid atau langgar.

Sebagian lain, berupa rumah lanting yaitu rumah ukuran kecil di atas susunan batang kayu gelondongan yang terapung di air, ada yang sebagai tempat tinggal, tempat berjualan, tempat mandi-cuci-kakus (jamban) yang terkadang sekaligus berfungsi sebagai dermaga untuk jukung, perahu atau kapal sungai bersandar dan bertambat.

Yang disebut terakhir juga menjadi tempat menurunkan dan menaikkan barang ke jukung, perahu atau kapal sekaligus tempat orang melakukan transaksi jual beli dengan para penjaja yang ramai.

Reporter: Muhammad RobbyEditor: Syarif