Kalsel

Kisah Heroik Pejuang Tala Melawan Penjajah di Perbatasan Indonesia-Malaysia

apahabar.com, PELAIHARI – Perjalanan hidup Riskiwiyono (80) nyaris luput dari perhatian publik. Padahal, pria kelahiran Surabaya,…

Riskiwiyono pejuang Veteran Tala tinggal di Pelaihari, Tanah laut. Foto-apahabar.com/Ali Chandra

apahabar.com, PELAIHARI – Perjalanan hidup Riskiwiyono (80) nyaris luput dari perhatian publik. Padahal, pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur ini merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Republik Indonesia (veteran).

Bahkan, mungkin tak banyak orang yang tahu tentang cerita haru yang dialami pensiunan tentara ini semasa muda melawan penjajah.

Dari ceritanya, Riskiwiyono ayah dari M Hardiansyah (LSM Merah Putih Tala) pernah ikut melawan penjajah saat agresi militer di perbatasan Indonesia di Kalimantan Timur sekarang Kalimantan Utara antara Inggris, Malaysia dan Australia.

Ia membuka cerita, 1961 masuk tentara dilantik jadi prajurit 2 bertugas di 1162 dari Brawijaya ke Kalimantan lalu di Tempat Tangsi 10 Pekauman Banjarmasin.

“Kantor saya di Koanda, kemudian dikirim ke Sungai Ulin Banjarbaru lalu dikirim latihan riders selama 4 bulan pelatihnya Komando Pasukan Khusus sekarang Kopassus,” katanya.

“Tidak lama saya dikirim ke Pelaihari, tahun 63. Selanjutnya tahun 1964 ditugaskan perbatasan Malaysia daerah Labang,” lanjutnya.

Dari sana mulai merasakan perang. Dirinya merasakan berperang melawan Malaysia yang merupakan jajahan Inggris dan Australia (mereka bersekongkol) ingin merebut pos Lintas Udara (Linud) 600 R dari tangan TNI.

“Kami diserang menggunakan bom oleh Inggris, Linud hancur kena bom. Di situ saya merasakan nyawa terasa ada di leher mau lepas sebab satu teman saya seorang TNI meninggal dalam serangan itu. Kami bertahan dan sesekali melakukan perlawanan sambil menghindar,” tuturnya.

Pihaknya menghindar itu lantaran senjata mereka dengan kita tidak sebanding dengan musuh menggunakan senjata melengkung dan senjata mortir yang canggih.

“Kita hanya senjata perorangan mereka senjata mortir melengkung super canggih,” katanya.

Namun pada akhirnya dalam perang itu pihaknya berhasil menang walaupun peralatan seadanya, “Di bawah Komandan Kompi Pak Suhadi dan waktu itu saya di Peleton II di bawah komando Sersan Mayor Untung,” kenangnya.

Selanjutnya mereka kembali ke Kalimantan Selatan, tak lama berselang kembali dikirim ke Bandung ikut latihan terjun payung. “Ada 7 kali terjun payung di lapangan, terjun payung malam satu kali dan terjun payung di hutan satu kali,” jelasnya.

Usai mengikuti pelatihan terjun payung pada tahun 1966 ditugaskan kembali. Dari Kalimantan ke Jakarta untuk mengawal atau mengamankan para jenderal dan rumahnya yang waktu itu ingin dibunuh PKI.

“Seperti pak Harto dan panglima Kodam 10 Sabirin Muhtar saya kawal pada waktu itu zaman PKI,” katanya.

Menilik dari masa itu pensiunan tentara berpangkat terakhir sersan satu ini berharap Republik Indonesia benar-benar merdeka sebab saat ini peralatan sudah canggih tidak seperti dulu peralatan perang masih apa adanya.

Bahkan ia menilai masih banyak hal yang masih mengancam kemerdekaan seperti pemberontakan di beberapa wilayah RI masih terjadi. “Saat ini Irian Jaya masih ada pemberontakan, Poso ada pemberontakan dan beberapa daerah kita,” katanya.

Tak cuma itu sambung dia kesenjangan sosial di masyarakat masih terjadi dan cukup tinggi, ini menjadi salah satu yang harus dituntaskan.

Dari Kehidupannya saat ini, sang pejuang Veteran hidup sederhana itu mengaku bersyukur masih diberikan kesehatan oleh Allah SWT, walaupun istri tercintanya telah mendahului beberapa tahun lalu.

Selanjutnya untuk perhatian dari pemerintah ia bersyukur selain dari gaji sebagai pensiunan TNI ia juga dapat honor sebagai veteran.

“Kalau dari jaminan kesehatan saya dan keluarga ada BPJS. Jaminan kesehatan itu sama dengan pada umumnya masyarakat,” tutupnya.