Nasional

Ketum PBNU Tegaskan Perbedaan Kafir dan Nonmuslim

apahabar.com, BANJAR – Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2019 di…

Wakil Presiden Jusuf Kalla menutup Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar Citangkolo, Banjar Patroman, Jawa Barat, Jumat (1/3/2019). Foto- Istimewa/Biro Pers Setwapres

apahabar.com, BANJAR – Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2019 di Kota Banjar, Jawa Barat, sejak Rabu (27/2) hingga hari ini (1/2/2019) menghasilkan sejumlah keputusan penting.

Salah satunya, kesepakatan untuk tidak menggunakan sebutan kafir kepada warga Indonesia Nonmuslim. Sebagai gantinya, para kiai memilih kata muwathinun atau warga negara.

Dilansir dari Antara, Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan istilah kafir dan Nonmuslim sebagai konteks yang berbeda merujuk pada zaman Rasulullah SAW.

“Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa tidak dikenal istilah kafir. Setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi,” kata Said dalam penutupan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jumat (1/3/2019).

Ia mengatakan di masa awal dakwah Islam, Rasulullah SAW menyebut kafir bagi para penyembah berhala, klenik dan semacamnya. Setelah periode hijrah dari Mekkah ke Madinah, istilah kafir sering disebut sebagai Nonmuslim.

Istilah itu kerap digunakan dalam konteks ketatanegaraan di Madinah sehingga setiap warganya memiliki hak yang sama baik itu Muslim maupun Nonmuslim.

Said mengatakan penegasan kafir dan Nonmuslim itu dibahas dalam Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah yang fokus pada penjelasan tematik. Komisi itu juga membahas soal pandangan Islam dalam menyikapi bentuk negara bangsa dan produk perundangan atau kebijakan negara yang dihasilkan oleh proses politik modern. Forum itu merupakan bagian dari kegiatan Munas-Konbes NU 2019.

Baca Juga: Kembali Doakan Jokowi Menang Pilpres, Mbah Moen: Jaa'a qowiyyun
Sebelumnya, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan Pancasila sebagai dasar negara berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya.

Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara dengan yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis bahkan agama. Hal itu selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah.

Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa atau umat yang berdaulat di hadapan bangsa/ umat lainnya tanpa diskriminasi.

Moqsith mengatakan kata kafir sering disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada Nonmuslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri.

Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi Nonmuslim di Indonesia. “Kata kafir menyakiti sebagian kelompok Nonmuslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” katanya.

Ia mengatakan para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurut dia, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan Nonmuslim di dalam sebuah negara.

“Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain,” katanya. Meski demikian, kata dia, kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir. Hanya saja, penyebutan kafir terhadap Nonmuslim di Indonesia tidak bijak.

Baca Juga:NU Rekomendasikan Bisnis MLM Haram

Editor: Aprianoor