Tak Berkategori

Ketika Mendulang Intan Berbuah Duka di Desa Pumpung

Terselip duka di balik kemilau intan di Desa Pumpung, Banjarbaru. Nyawa manusia terus melayang di lokasi…

Zubaidah (kiri) menunjukkan foto mendiang suaminya semasa hidup. Foto kanan, lokasi tempat Tauhid tertimbun longsor sekaligus meregang nyawa di lokasi pendulangan intan Desa Pumpung, Banjarbaru, Senin (22/1) kemarin. apahabar.com/Zay

Terselip duka di balik kemilau intan di Desa Pumpung, Banjarbaru. Nyawa manusia terus melayang di lokasi pendulangan yang cukup tersohor di Kalimantan Selatan itu.

Zepy Al Ayubi, BANJARBARU

SUDAH semestinya kasus longsor di lokasi pendulangan tradisional menjadi pelajaran semua pihak.

Adalah Muhammad Tauhid (32), warga RT 23, Cempaka, Banjarbaru. Dia terkubur hidup-hidup setelah hujan lebat yang mengguyur kawasan tersebut, Senin 21 Januari 2019 sekira pukul 14.30 Wita.

Dua saksi yang melihat kejadian sempat berupaya menolong, namun gagal. Korban terkubur selama 20 menit sebelum mengembuskan napas terakhir di ruang rawat inap Puskesmas Cempaka.

“Jika bisa ditukar, lebih baik saya saja yang meninggal, dia yang hidup,” Mastuah mengenang kepergian sang anak. Ibu mendiang Tauhid itu berupaya ikhlas. Tauhid dikenal sebagai penyayang keluarga dan orang tua.

“Awalnya saya tidak rela, tapi hari ini sudah mulai bisa mengikhlaskannya,” sambungnya.

Di sisi Mastuah terdapat dua saudaranya serta Zubaidah, sang istri. Tauhid diketahui meninggalkan dua anak.

Siang tadi, jurnalis apahabar.com mendatangi langsung rumah duka. Sekedar mendengarkan keluh kesah istri yang ditinggalkannya ditemani Bhabinkamtibmas Cempaka Bripka Dwi Rohmat Santoso, serta Ketua RT 23 Cempaka, Sugiani.

Rona kesedihan terpancar jelas dari wajah Zubaidah. Dia ingat betul kata terakhir yang diucapkan suaminya itu,

Selawar ini hari jua pehabisan dipakai, esok kada dipakai lagi umanya ae. (Celana ini dipakai hari ini saja terakhir dipakai, besok tidak akan dipakai lagi),” ujarnya menirukan perkataan terakhir sang suami.

Beberapa menit sebelum suaminya berangkat, dia mengaku tak sadar akan firasat itu. Dia kira, suaminya hanya bercanda jika nanti celana itu akan dibuang atau diberikan kepada orang lain, karena hendak membeli celana baru usai mendapat uang hasil mendulang emas dan intan di hari itu.

“Biasanya suami saya berangkat jam 9.30 atau jam 10.00 pagi ke Pendulangan. Tapi hari itu dia berangkat jam 11, hampir siang hari. Karena hujan, saya juga sempat menyuruh suami agar tidak usah turun bekerja. Tapi dia tetap turun ke lokasi pendulangan,” ungkapnya.

Bak disambar petir siang bolong, dua jam kemudian dirinya mendapat kabar jika suaminya menjadi korban tanah longsor. Tertimbun. Sampai akhirnya meninggal dunia saat ditolong adiknya.

“Suami saya itu orangnya baik, pendiam tidak banyak bicara, tapi suka bercanda. Akhir-akhir ini, dia suka melamun sendiri,” ungkapnya.

Selain Zubaidah, Tauhid meninggalkan meninggalkan dua orang anak. Anak tertua Zulfatunnisa, 7 tahun. Zulfa duduk di kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah, setara sekolah dasar. Serta Muhammad Iqbal, balita berumur 14 bulan.

“Saya dan suami sudah menikah kurang lebih sembilan tahun. Beliau orang yang tidak pernah marah kepada istri. Dari bujangan memang pekerjaannya mendulang emas dan intan. Pernah bekerja menjadi buruh bangunan, tapi dua bulan saja. Lalu kembali mendulang intan lagi di Pumpung,” ujarnya.

Tauhid meninggalkan meninggalkan dua orang anak. Anak tertua Zulfatunnisa, 7 tahun. Zulfa duduk di kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah, setara sekolah dasar. Serta Muhammad Iqbal, balita berumur 14 bulan.

Rupanya, bukan sekali Tauhid tertimbun tanah di lokasi tambang. Zubaidah ingat persis lima tahun sebelumnya kejadian serupa pernah menimpa sang suami.

Saat itu Tauhid tertimbun di lokasi pendulangan Intan di Ujung Murung Sungai Tiung. Beruntung saat itu suaminya masih diberi umur panjang.

“Orang mendulang ini penghasilannya tidak tentu setiap hari. Kadang membawa duit Rp25 ribu, Rp30 ribu, Rp50. Minggu (20/1) kemarin sempat membawa pulang uang Rp90 ribu. Kami senang jadi bisa membayar anak sekolah,” jelasnya.

Suaminya bekerja di satu lokasi pendulangan bersama satu kelompok pendulang, dengan 9 orang lainnya. Termasuk sang adik, Muhammad Amin yang ikut mengevakuasi korban.

Emas dan butir intan yang diraih, kata Zubaidah, setiap harinya dikumpulkan. Lalu hasil uangnya dibagikan rata kepada anggota kelompok lain.

“Suami saya anak keenam dari sembilan bersaudara. Dari sembilan itu, empat orang laki-laki semua pendulang Intan. Termasuk almarhum mertua laki-laki saya juga pendulang intan dan emas. Keluarga pendulang. Tidak pernah menambang pasir. Tapi kejadian ini baru pertama kali terjadi di keluarga kami,” jelasnya.

Saat ini tinggal dirinya yang menjadi tulang punggung keluarga. Walau begitu dirinya juga, mengaku masih mampu menghidupi anak-anaknya dengan berjualan gorengan dan minuman es kecil-kecilan di depan rumahnya.

Tauhid (32) kecil di mata Mastuah merupakan sosok anak yang sangat sayang orang tua dan keluarga. Perhatian anaknya ini juga sering diberikan kepada dirinya.

Dirinya ingat, sering diajak makan ke rumah almarhum, jika dapat rezeki. Diberi hal-hal kebutuhan pokok dan uang dari Tauhid (32). Walaupun dirinya tahu kondisi sang anak juga cukup sederhana.

Baca Juga: Longsor Cempaka, Terduga Penambang Ilegal Tewas Tertimbun Tanah

“Dari kecil Tauhid (32) ini memang pendiam tapi penyayang. Baik kepada saya ataupun adik-adiknya. Dia tidak pernah marah, suka bercanda. Apalagi dengan para keponakannya,” bebernya.

Meninggalnya sang anak, juga menjadi pukulan berat baginya. Dirinya awalnya tidak rela dengan kepergian anak laki-lakinya itu.

“Jika bisa ditukar, lebih baik saya saja yang meninggal, dan dia yang hidup,” ujarnya.

Lantaran terus memakan korban jiwa, Walhi setempat menyuarakan tambang yang dikelola oleh rakyat tersebut segera ditutup.

“Tambang tradisional itu sudah tak layak lagi, karena banyak memakan korban jiwa. Apalagi, saat ini curah hujan masih tinggi,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyo kepada apahabar.com, siang tadi.

Menurutnya, Pemprov Kalsel harus segera menginventarisasi lokasi pertambangan tradisional yang rawan terjadinya bencana. Pemerintah juga harus turun tangan melakukan pencegahan agar peristiwa nahas itu tak terulang kembali.

Selain itu, perlu ditelisik adanya dugaan keterlibatan oknum aparat yang membekingi penambangan tersebut. Sedari dulu, tambang rakyat dan kawasan pariwisata tersebut murni dikelola rakyat.

Namun, kata dia, beberapa tahun terakhir orientasinya berubah menjadi ranah bisnis seperti tambang pasir.

Selama ini pekerjaan tambang rakyat sudah memberikan semacam mimpi buruk bagi warga untuk mendapatkan emas, karena minimnya alternatif pekerjaan lain sebagai pekerjaan pengganti.

Baca Juga: Longsor Susulan dan Beratnya Medan Cempaka Sulitkan Langkah Evakuasi

Dilengkapi oleh Muhammad RobbyEditor: Fariz Fadhillah