Industri Kelapa Sawit

Kesehatan dan Peremajaan Solusi Produktivitas Sawit Nasional

Indonesia merupakan negara penghasil sawit teratas di dunia, namun sayang produktivitasnya justru cenderung menurun.

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukan produksi sawit Indonesia tahun 2022 mencapai 46,729 juta ton per tahun. Foto: net/Ist

apahabar.com, JAKARTA - Indonesia merupakan negara penghasil sawit teratas di dunia. Walaupun menjadi produsen terbanyak, sayangnya produktivitas kelapa sawit di Indonesia justru cenderung menurun.

Pada tahun 2005 produktivitas kelapa sawit di Indonesia mencapai 20.05 ton per hektar turun menjadi 17,11 ton per hektar pada tahun 2020. Produktivitas Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia yang produktivitasnya mencapai 18,53 ton per hektar per tahun.

Guru Besar IPB Widodo mengingatkan tentang pentingnya peningkatan produktivitas sawit di Indonesia. Betul bahwa produksi sawit tertinggi di dunia, tapi itu karena luasan tutupan lahan kelapa sawit yang luas mencapai 16,38 juta hektar.

“Masalahnya kita tidak mungkin melakukan pembukaan kebun sawit terus menerus. Dengan luasan yang ada, kita harus mampu mengoptimalkannya melalui pengelolaan kesehatan tanaman dan lingkungan, terutama ketika peremajaan (replanting)” terangnya.

Baca Juga: Program Peremajaan Sawit, 102 Pekebun di Kubu Raya Dapat Bantuan dari BPDPKS

Guru Besar IPB Widodo mengingatkan tentang pentingnya peningkatan produktivitas sawit di Indonesia. Foto: Dok. Widodo

Menurut Widodo, penurunan produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur tanaman yang semakin tua, daya dukung lahan (kesehatan lahan) yang menurun, perubahan iklim dan ancaman organisme pengganggu tanaman, baik hama maupun penyakit.

Salah satu penyakit utama kelapa sawit adalah penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma Boninense. Penyakit ini mampu penurunan produksi kelapa sawit hingga lebih dari 50% dan menyebabkan kerugian ekonomis hingga 68%.

“Perlu upaya kuat untuk mengelola dampak perubahan iklim dan serangan hama penyakit seperti busuk pangkal batang. Hal ini perlu direncanakan dan diimplementasikan sebaik mungkin ketika program peremajaan kelapa sawit mulai dilakukan,"ujarnya.

Epidemi (ledakan) penyakit akan terjadi saat populasi patogen banyak, termasuk adanya tanaman inang yang rentan dan lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit.

Baca Juga: Airlangga Bantah Pemerintah Larang Ekspor Minyak Sawit ke Eropa

Kondisi itu sudah mulai terlihat di Indonesia, seiring dengan meningkatnya serangan dari tahun ke tahun. "Karenanya peningkatan produktivitas diharapkan dapat tercapai dengan mengelola ke tiga hal tersebut dan dilakukan mulai dari persiapan lahan, pembibitan dan ketika  tanaman sudah berada di lahan replanting," terang Widodo.

Munculnya serangan penyakit dan penurunan produktivitas, banyak dipengaruhi faktor lingkungan. Widodo mengusulkan agar pengelolaan penyakit busuk pangkal batang yang  diterapkan dalam program peremajaan kelapa sawit ditekankan pada pengelolaan kesehatan lingkungan agar populasi patogen yang sudah terakumulasi pada periode penanaman sebelumnya tidak menimbulkan permasalahan berarti .

"Hal ini merupakan strategi pre-emtif yang diikuti dengan pemantauan dan deteksi dini. Ini untuk mengurangi jumlah inokulum awal dan sumber substrat yang tersedia bagi patogen (food base), menghindar dari patogen (avoidance) dan meningkatkan kebugaran tanaman," jelas Widodo. 

Dia menambahkan, bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam tindakan per-emtif diantaranya dengan memindahkan batang kelapa sawit bersama akarnya dengan digali minimal 80 cm, serta mengaplikasikan mikroba antagonis dan dekomposer yang teruji.

Baca Juga: Aturan Ketat Produk Sawit Uni Eropa, Indonesia-Malaysia Sepakat Tingkatkan Kerja Sama

Hal lainnya, mengaplikasikan mikroba bermanfaat yang berperan sebagai agen pengendalian hayati dan pupuk hayati, menggunakan bibit berkualitas, menanam tanaman sela dengan tanaman semusim yang sesuai dengan lahan setempat (misal padi, jagung, dan lain-lain) dan tanaman penutup untuk meningkatkan keaneka ragaman dan peran mikroba bermanfaat lokal sehingga kesehatan lahan dapat terjaga.

“Jangan lupa untuk tetap meningkatkan kebugaran tanaman melalui pemenuhan kecukupan dan ketersediaan nutrisi bagi tanaman, terutama unsur K (Kalium), Mn (Mangan) dan Zn (Seng) yang diketahui dapat mengurangi peluang terjadinya penyakit BPB," ujarnya.

Program pengembalian tandan kosong ke lahan juga perlu dilakukan, agar sumber nutrisi yang terkuras dari lahan karena pemanenan dapat kembali sehingga menghemat biaya pemupukan.  

Baca Juga: GAPKI Optimistis Industri Sawit Berkembang Seiring Pasar yang Terbuka

Keberhasilan tindakan tersebut tidak hanya ditentukan oleh tersedianya teknologi, namun dengan pengorganisasian dan tata kelola yang baik. Dengan begitu, tidak hanya produksi dan produktivitas yang terjaga namun keberlanjutan produksi yang layak secara ekonomi, ramah terhadap lingkungan (ekologis) dan berkeadilan secara sosial dapat terwujud.

"Optimalisasi produktivitas sawit yang berkelanjutan melalui pengelolaan kesehatan pertanaman dengan mengoptimalkan luasan yang ada tidak hanya akan mengurangi pembukaan kebun baru, menumbuhkan sektor pertanian, meningkatkan devisa negara, dan PDB namun lebih jauh meningkatkan derajat kesejahteraan petani sawit yang hari ini jumlahnya tidak sedikit," pungkas Widodo.