Industri Manufuktur

Kemenko Marves: Indonesia Punya Dua Sektor Industri Potensial

Asisten Deputi Strategi dan Kebijakan Percepatan Investasi Kemenko Marves Ferry Akbar Pasaribu mengungkapkan Indonesia memiliki dua sektor industri potensial

Pekerja memproduksi alat-alat kesehatan dalam negeri saat kunjungan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di DV Medika, Kawasan Industri Kendal, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Foto: Antara

apahabar.com, JAKARTA – Asisten Deputi Strategi dan Kebijakan Percepatan Investasi Kemenko Kemaritiman dan Investasi Ferry Akbar Pasaribu mengungkapkan Indonesia memiliki dua sektor industri potensial yang harus dikembangkan.

Dua sektor industri yang dimaksud adalah Semikonduktor dan Kesehatan. Kedua industri tersebut bisa menjadi peluang untuk pengembangan industri manufaktur nasional.

“Terkait manufaktur, mau tidak mau kita harus cerdas. Kita harus tahu potensi resesi tetapi tidak boleh takut. Kita harus lebih cermat memperhatikan subsektor manufaktur mana saja yang punya potensi tinggi,” katanya.

Untuk semikonduktor, Ferry menilai indutri tersebut krusial karena komponen tersebut ada di hampir semua barang mulai dari telepon genggam, laptop, perabotan rumah tangga, hingga mobil.

Industri chip (semikonduktor) itu tidak banyak pemainnya, terbatas negara yang memproduksinya, seperti Taiwan. China juga memproduksi tetapi tidak terlalu sukses, sedangkan Korea dan Jepang memang membuat tetapi sedikit.

Dari catatan tersebut, Indonesia bisa meraup potensi tersebut karena punya suplai lokasi yang besar serta dukungan kelistrikan yang sudah jauh lebih baik.

Industri chip ini memang tidak mudah, karena mahal sekali, kualifikasi pekerjanya juga khusus dan infrastruktur tidak bisa main-main, karena listrik harus 24 jam hidup terus.

Sementara itu, industri kesehatan dinilai tidak akan pernah mati dan selalu punya pasar. Paling tidak dua itu yang besar dan tidak ada matinya dan Indonesia bisa memanfaatkan.

Industri manufaktur RI terus mengalami tren positif terutama pada masa pemulihan selepas terdampak pandemi COVID-19.

Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, terdapat tujuh sektor yang menjadi prioritas pengembangan dalam kesiapan memasuki era industri 4.0 yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, kimia, alat kesehatan, serta farmasi.

Sektor industri pengolahan nonmigas saat ini menjadi yang paling banyak berkontribusi terhadap perekonomian nasional sebesar 16,10 persen, sementara pertumbuhan sektor itu pada triwulan III-2022 mencapai 4,83 persen secara year-on-year (yoy).

Sayangnya, meski sejumlah sektor industri mencatatkan kinerja pertumbuhan yang gemilang pada triwulan III-2022, beberapa subsektor industri juga terindikasi menurun sejalan dengan melemahnya perekonomian global.

Sejumlah sektor industri yang tumbuh positif antara lain industri logam dasar; industri mesin dan perlengkapan; industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik hingga industri alat angkutan.

Sedangkan sejumlah subsektor industri yang terindikasi terdampak melemahnya perekonomian global yaitu industri makanan dan minuman, industri kimia, farmasi dan obat tradisional, industri barang galian bukan logam, serta industri furnitur.

Di sisi lain, meski di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, pelaku industri manufaktur nasional maupun global ternyata masih menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap Indonesia. Hal itu ditunjukkan dari realisasi penanaman modal sektor industri manufaktur yang mencapai Rp365,2 triliun sepanjang Januari-September 2022.

Capaian tersebut meningkat 54 persen dibanding periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp236,8 triliun.

Merujuk data Kementerian Investasi/BKPM, pada Januari-September 2022, sektor industri manufaktur memberikan kontribusi sebesar 40,9 persen terhadap total investasi yang mencapai Rp892,4 triliun.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ignatius Warsito menjelaskan sejumlah subsektor manufaktur diakuinya masih tetap tumbuh meski ada pula yang melambat karena penurunan pesanan dari Eropa.

“Kalau perlambatan itu karena ada penurunan dari order-nya Eropa. Akan tetapi kami masih optimistis,” katanya.

Kementerian Perindustrian sejauh ini juga menyiapkan instrumen kebijakan sebagai salah satu solusi jangka pendek hingga awal 2023.

Hal itu dilakukan lantaran pemerintah tidak bisa terus mengharapkan ekspor karena semua negara juga akan berupaya melakukan langkah bertahan dan berekspansi.

“Kami mau melihat kemampuan industri dalam negeri seberapa jauh untuk bisa menahan dari gelombang resesi ini. Kemudian, kebijakan substitusi impor jadi satu bagian instrumen kita dalam dua tahun terakhir ini menjaga pasokan bahan baku dan bahan penolong bisa bantu utilitas sektor IKFT,” katanya.

Subsektor industri yang ditanganinya sangat unik dan dinamis sehingga perlu didalami upaya penanganan yang tepat.

Namun, subsektor industri yang masih tumbuh akan tetap didorong tumbuh daya saingnya, sementara yang melambat akan dikawal agar setidaknya bisa bertahan.

“Ini kita bicara tingkat produktivitas, yang kita bisa jaga bila pasokan bahan baku, asumsinya tidak terganggu. Kemudian energi yang digunakan juga oke, itu termasuk pasokan dan harga. Kami juga sudah menugaskan tim kami melalui satgas yang diperintahkan Pak Menteri untuk melakukan pengawalan untuk mendukung ketahanan industri subsektor IKFT,” katanya.

Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Kemampuan Industri Dalam Negeri itu juga menegaskan potensi pasar domestik juga tetap harus diperkuat di tengah ketidakpastian pasar ekspor.

Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) serta pengawalan melalui temu bisnis (business matching) menjadi solusi jangka pendek untuk mempertemukan rantai pasok di Indonesia.