Nasional

Kemenag Sebut Dialog Lintas Iman Mencerahkan Indonesia

apahabar.com, JAKARTA – Dialog lintas iman yang digagas oleh Kementerian Agama (Kemenag) menghasilkan lima rumusan yang…

Dialog lintas iman yang digagas oleh Kementerian Agama (Kemenag) menghasilkan lima rumusan yang disebut dengan Risalah Jakarta. Foto-Okezone

apahabar.com, JAKARTA - Dialog lintas iman yang digagas oleh Kementerian Agama (Kemenag) menghasilkan lima rumusan yang disebut dengan Risalah Jakarta. Risalah Jakarta tersebut tentang kehidupan beragama di Indonesia.

Ikut hadir sejumlah agamawan dan budayawan, antara lain: Mahfud MD, Asep Zamzam Noor, Fatin Hamama, Garin Nugroho, Haidar Baqir, Hartati Murdaya, Henriette G Lebang, Jadul Maula, Komaruddin Hidayat, Suhadi Sanjaya, Sujiwo Tedjo, Ulil Abshar Abdalla, Usman Hamid, Uung Sendana, Wahyu Muryadi, Yudi Latif, Bhikku Jayamedo, Alisa Wahid, Coki Pardede, Zaztrow, dan D Zawawi Imron.

Sekretaris Jenderal Kementrian Agama Mohamad Nur Kholis Setiawan mengatakan, rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada puluhan tokoh agama, budayawan, kaum milenial dan praktisi media dalam dialog antrean tentang kehidupan beragam di Indonesia.

“Mereka adalah para narasumber berpengaruh di bidang masing-masing yang sehari-hari bekerja mencerahkan bangsa Indonesia,” ujarnya, Jakarta, Sabtu (29/12/2018).

Dalam diskusi risalah Jakarta tentang kehidupan yang beragama di Indonesia, dari enam poin yang digaris bawahi di antaranya, pertama dalam konteksnya berbangsa dan masyarakat di Indonesia, agama diyakini sebagai sumber nilai yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan sehari-hari. Akan tetapi perilaku kehidupan beragama di era kekinian menunjukkan adanya kecenderungan mereduksi nilai-nilai agama menjadi terbatas pada penonjolan aspek-aspek lahir, formalisme hukum dan politik seraya mengabaikan aspek moral dan spritual agama.

Baca Juga:Baru Diluncurkan, Aplikasi Ojek Online 'Bonceng' Diserang Hacker

Kedua, kehidupan beragama dalam konteks kekinian juga menunjukkan fenomena pendangkalan pengetahuan akibat indroktinasi serta ketersediaan bacaan yang serba instan dan serba cepat di media sosial sehingga lebih mengedepankan emosi ketimbang rasa.

Poin ketiga konservatisme, yakni beragama dengan menekankan pada nilai-nilai agama bukan masalah dalam kehidupan beragama, namun ultrakonservatif, dalam wujud ekslusifme dan ekstremisme beragama telah mereduksi dan mengingkari ajaran agama itu, serta dalam konteks kekinian telah mengekang sekaligus rasa aman para generasi muda yang selama ini berekreasi menyisihkan muatan nilai-nilai agama di ruang digital. Karena itu dirasa perlu adanya jembatan untuk melakukan sinergi Otoritas keagamaan dan generasi milenial.

Selanjutnya pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas pengetahuan agama, baik dari agamawan maupun akademisi, sejauh ini kurang hadir mengisi dahaga keberagaman publik lewat ruang-ruang media sosial padahal sejatinya dirasa sangat mampu menghadirkan luhur moral dan spritual agama.

Kemudian pemerintah perlu memberikan akses dalam menginternalisasi dan menyebarkan nilai-nilai moral spritual agama melalui strategi kebudayaan yang terencana dengan baik dan matang, baik melalui penguatan literasi bacaan, peningkatan kapasitas pendidik, dan tenaga kependidikan. Penguatan kurikulum lembaga pendidikan agama dan keagamaan, maupun dengan lebih lagi menjelaskan agama melalui kebudayaan yang universal, kreatif, dan ramah teknologi.

Terakhir, negara perlu hadir dalam memberikan jaminan penegakan konstruksi terkait kebebasan kehidupan beragama, tanpa melakukan intervensi terlalu jauh terhadap formalisasi agama.

Baca Juga:Pangdam I/BB: Jurnalis Profesi Luar Biasa

Sumber: Okezone
Editor: Syarif