Opini

Kembalinya Obral Remisi dan Karpet Merah bagi Koruptor

Oleh Denny Indrayana HARI-HARI ini pemberitaan media diramaikan dengan bebas bersyaratnya beberapa narapidana korupsi. Kembalinya rezim…

Denny Indrayana menyambangi Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin. Foto-apahabar.com/Syahbani

Oleh Denny Indrayana

HARI-HARI ini pemberitaan media diramaikan dengan bebas bersyaratnya beberapa narapidana korupsi.

Kembalinya rezim "obral remisi" demikian seharusnya tidaklah mengejutkan, dan merupakan konsekuensi dari dibatalkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang pada intinya adalah mengetatkan pemberian hak-hak napi korupsi seperti remisi dan pembebasan bersyarat.

Pembatalan PP 99 tahun 2012 diawali setahun lalu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41 tahun 2021. Putusan MK tersebut membuka pintu lebar-lebar bagi Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 28P/HUM/2021 yang menyatakan pasal-pasal "pengetatan remisi" PP 99 bertentangan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan MK dan MA tersebut tentu saja disambut riang-gembira oleh para napi korupsi yang sudah sejak lama berjuang membatalkan PP 99 tahun 2012, yang memang membuat mereka sulit mendapatkan pengurangan hukuman, alias menghilangkan kebiasaan "obral dan jual-beli remisi".

Sejak diterbitkan di tahun 2012, ketika saya masih menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, PP 99 telah diuji berkali-kali ke MA dan MK. Dalam putusan-putusan sebelumnya, baik MK maupun MA konsisten menyatakan bahwa PP pengetatan remisi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya, dan sejalan dengan politik hukum pemberantasan korupsi yang luar biasa.

Sayangnya, pertahanan MK dan MA tersebut jebol juga dengan gempuran tanpa henti para koruptor.

Pembatalan PP 99 mengembalikan rezim obral remisi yang menghamparkan karpet merah kebebasan serta menghilangkan efek jera bagi para koruptor.

Trisula Pembunuh Pemberantasan Korupsi

Pembatalan PP 99 Tahun 2012 pada 2021 lalu, adalah salah satu trisula pembunuh pemberantasan korupsi kita.

Trisula pembunuh kedua adalah dilumpuhkan dan dibunuhnya efektivitas kerja KPK melalui perubahan UU KPK pada tahun 2019.

Melalui perubahan UU tersebut, KPK kehilangan independensinya dan berada di bawah kendali politik lembaga kepresidenan, dan rentan dengan agenda non-hukum, termasuk menjadi salah satu alat strategi pemenangan Pilpres 2024.

Sedangkan trisula ketiga adalah kembalinya rezim diskon dan pemotongan hukuman oleh Mahkamah Agung pascawafatnya Hakim Agung Artidjo Alkostar.

Tiga trisula pembunuh "pemberantasan korupsi" tersebut, menyebabkan korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa, dan Indonesia sebagai negara kembali menjadi surga bagi para pelaku korupsi.

Perjuangan kita membebaskan diri dari korupsi akan kembali terjal dan mendaki. Utamanya menjelang Pilpres 2024, di mana DEMOkrasi (Daulat Rakyat) berpotensi dibajak oleh DUITokrasi (Daulat Uang).

Di mana pemodal kuat alias Oligarki Koruptif, akan berusaha melindungi kepentingan bisnisnya dengan menghadirkan presiden yang menang bukan karena pilihan rakyat, tetapi karena pilihan dan kekuatan uang semata. (*)

Penulis adalah Wakil Menteri Hukum dan HAM 2011—2014, dan Senior Partner INTEGRITY Law Firm.