Kelompok Tani Karya Baru 18 Larang Aktivitas di Lahan 300 Hektare Km 18

Kelompok Tani Karya Baru 18 resmi menyatakan pelarangan aktivitas di lahan seluas kurang lebih 300 hektare sebelum adanya putusan inkrah dari Pengadilan Negeri.

Aksi pemortalan yang dilakukan warga dari Kelompok Tani Karya Baru 18 di lahan yang bersengketa di KM 18 Jalan Jenderal Sudirman Sampit, belum lama ini. Foto: Kelompok Tani Karya Baru 18

bakabar.com, SAMPIT - Warga Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalteng, khususnya dari Kelompok Tani Karya Baru 18, resmi menyatakan pelarangan aktivitas apapun di lahan seluas kurang lebih 300 hektare yang berada di Km 18 Jalan Jenderal Sudirman.

Pernyataan ini dikeluarkan sebagai bentuk penghormatan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) nomor 148 K/TUN/TF/2025.

Juru bicara sekaligus Humas Kelompok Tani Karya Baru 18, Ida Rosiana Elisya, dalam pernyataannya menegaskan bahwa seluruh pihak, baik dari warga maupun institusi seperti TNI, dilarang melakukan kegiatan di area tersebut sebelum adanya putusan inkrah dari Pengadilan Negeri.

"Kami hormati putusan kasasi Mahkamah Agung dan menyatakan bahwa lahan tersebut berstatus quo. Maka kami melarang keras aktivitas apapun di sana hingga ada keputusan perdata yang berkekuatan hukum tetap," ujarnya, Kamis (26/6/2025).

Pelarangan ini, menurut Ida, bukan tanpa alasan. Selama 27 tahun, warga kelompok tani disebut telah meminjamkan lahan tersebut untuk digunakan sebagai lokasi latihan tembak oleh TNI, dengan harapan akan ada ganti rugi yang dijanjikan. Namun hingga kini, janji tersebut belum terealisasi.

"Kami sayang dengan TNI. Tapi hak kami jangan dihilangkan. Kami tidak ingin konflik, maka kami minta jangan ada kegiatan sebelum ada putusan final," lanjutnya.

Ketua kelompok tani, yang juga anak dari almarhum pendiri kelompok Hantan Tiring (cikal bakal Karya Baru 18), menyebut bahwa pihaknya akan mengirimkan surat resmi kepada berbagai lembaga seperti Komnas HAM dan Ombudsman. Surat tersebut berisi permintaan agar dilakukan mediasi resmi yang melibatkan Pemda, BPN, hingga aparat terkait.

Sementara itu, Asisten I Setda Kotim, Rihel, membenarkan bahwa lahan yang dipersoalkan memang sempat menjadi objek dalam gugatan di PTUN dan berujung pada putusan Mahkamah Agung. Namun, putusan tersebut tidak memenangkan pihak manapun secara mutlak, sehingga perlu dilanjutkan ke ranah perdata.

"Putusan MA memang tidak menyatakan siapa yang menang. Karena itu, prosesnya harus berlanjut ke pengadilan negeri. Pemerintah daerah siap memfasilitasi jika ada pertemuan atau mediasi," terang Rihel.

Ia juga mengungkapkan bahwa klaim dari warga baru muncul beberapa tahun terakhir setelah dilakukan pengecekan drone, dan saat ini sebagian dari lahan tersebut sudah diklaim kembali oleh ahli waris dari warga terdahulu.

Rihel juga menyatakan bahwa apabila lahan tersebut berada dalam kawasan APL (Areal Penggunaan Lain), maka penggunaannya harus mengantongi izin dari Kementerian Kehutanan. 

Jika TNI tetap membutuhkan lahan itu untuk latihan, jalur hukum dan administratif yang benar harus ditempuh, termasuk kemungkinan penlok ulang atau sertifikasi melalui prosedur yang sesuai.

Perseteruan panjang selama puluhan tahun terkait lahan latihan tembak di KM 18 kini memasuki babak baru dengan pelarangan aktivitas oleh warga. 

Pemerintah Kabupaten membuka pintu mediasi, sementara kelompok tani mendesak agar seluruh pihak menahan diri demi menghindari konflik yang lebih besar.