Manusia Gerobak

Kehidupan Manusia Gerobak, Hidup Pasrah Tak Menentu

Gerobak menjadi harta yang paling berharga. Selain untuk mencari nafkah, gerobak ia gunakan untuk tempat tidur dimanapun ia berada.

Pasangan manusia gerobak Elan Purwanto (kiri) dan Sriyati (kanan) saat diwawancarai di Jakarta.Foto:apahabar.com/Andrey.

apahabar.com, JAKARTA - Sriyati (60) duduk di samping suaminya, Elan Purwanto (65) yang tertidur di bawah gerobak. Di bawah terik matahari, beralaskan terpal plastik, Sriyati termenung dengan wajah sayu. Sejak kemarin ia belum makan.

Saat disapa Elan terbangun dari tidurnya. "Siang mas, ada apa mas?" sapa Elan.

Gerobak menjadi harta yang paling berharga baginya. Selain untuk memulung, gerobak ia gunakan untuk tempat tidur dimanapun ia berada. Lantaran hidupnya tidak menentu harus ke mana. Ia pun harus waspada setiap saat, kalau-kalau ada razia Satpol PP.

Sriyati (60) duduk di samping suaminya, Elan Purwanto (65) hidup berpindah dengan gerobak miliknya. apahabar.com/Andrey

"Ini penting buat mulung, kalau keadaan capek buat tempat istirahat, tidur kalau malam, saya di bawah gerobak, istri di atas," ujarnya. 

Sudah dua tahun Elandan Sriyati merantau di Jakarta. Di kampung halamannya, Purwodadi ia merasa sudah tidak ada harapan. Dari hasil buruh tani dan pekerja serabutan tidak bisa memenuhi kebutuhan makan mereka berdua sehari-hari.

"Di kampung wis ora duwe opo-opo, mas, keadaan seperti ini sudah" kata Elan bernada pasrah.

Baca Juga: Kemensos Bantu PMKS Dapatkan Rusun di Jakarta Timur

Akhirnya mereka memutuskan untuk beranjak ke Ibu kota setelah ada ajakan dari temannya. Namun sesampai di Jakarta kondisinya hampir sama, tidak ada pekerjaan yang dijanjikan temannya. Ia akhirnya terlantar dan hidup tidak menentu di jalanan.

"Ada teman, janjiin kerja agak enakan, pas saya sampai Jakarta, ternyata nggak ketemu, jadi saya di sini tuh terlantar," ujarnya.

Untuk menyambung hidup, ia terpaksa harus memulung. Menggantungkan hidup dengan menjual sampah plastik. Hasil memulung pun tak menentu, kadang cukup untuk makan, kadang tidak. Setiap kilogram botol plastik, ia jual ke pengepul seharga Rp4000. 

"Kadang buat makan saja nggak cukup, istilahnya orang nggak puasa, tapi kayak puasa, mendingan puasa sekalian, terus terang saja soalnya sehari makan kadang nggak, kita ngomong apa adanya" katanya.

Sriyati (60) duduk di samping suaminya, Elan Purwanto (65) hidup berpindah dengan gerobak miliknya. apahabar.com/Andrey

Setiap hari ia tinggal tak menentu, berpindah-pindah tergantung intuisinya. Selain itu ia selalu mempertimbangkan lokasi yang jauh dari jangkauan Satpol PP. Apalagai saat Ramadan, ia mengaku tidak bisa bergerak bebas, karena Satol PP instensif menjaring razia PPKS.

"Kita tinggal di mana saja, pindah-pindah, Kadang Kampung Melayu kadang Tanah Abang. Nggak tentu lihat keadaan yang agak aman dikit soalnya sekarang lagi banyak kejar-kejaran," ujarnya.

Baca Juga: Dinsos dan Satpol PP DKI Gencarkan Razia PMKS Jelang Ramadan

Ia pun mengaku sudah tidak punya KTP dan surat-surat penting seperti Kartu Keluarga (KK). Semuanya sudah hilang tidak tahu kemana saat beberapa bulan lalu.

"Semua tas isi kartu-kartu semuanya hilang semua, orang namanya di jalanan gimana sih," keluhnya.

Meskipun begitu, ia merasa bersyukur masih sehat dan tidak pernah terjaring razia Satpol PP. 

"Alhamdulilah belum pernah, jangan sampai kena lah, mas. Udah susah tambah susah nanti," katanya.

Baca Juga: Rusun Khusus PMKS Diklaim Ramah Bagi Penyandang Disabilitas

Sama seperti Elan dan Sriyati, Sami (33) bersama suaminya Hendy (30) memilih menggantungkan hidup pada sampah tidak terpakai. Namun ia tinggal di gubuk semi permanen di kawasan Pasar Senen. Tengah malam bersama dua anaknya Vika (12) dan Madan (4) berjalan dari Pasar Senen hingga Cawang untuk mencari barang rongsokan.

"Kalau puasa gini, saya mulungnya malam, soalnya siang banyak razia satpol PP, jalanan padat kalau siang" ujar Sami.

Ia biasanya berangkat memulung jam 9 malam hingga jam 2 pagi dii hari. Kemudian pagi hari ia memillah sampah botol plastik dan barang rongsokan lainnya seperti besi dan kaleng untuk dijual ke pengepul. 

"Setiap malam kira-kira dapatnya Rp30 ribu," katanya. 

Baca Juga: Pemulung di Situbondo Temukan Bayi Dibungkus Plastik

Pada siang hari suaminya bekerja sebagai kuli angkut di Pasar Senen. Sumi pun bekerja sebagai tukang cuci pakaian saat siang. Lantaran hasil mulung tidak mungkin bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Anak perempuannya saat ini menempuh pendidikan SMP. Untuk sekolah ia tidak membayar, dan kebutuhan buku tulis dll, ia mengandalkan bantuan dari KJP (Kartu Jakarta Pintar.

Sami lebih beruntung, karena bukan termasuk pemulung nomaden yang tidak punya tempat tinggal. Karena ia sering melihat, beberapa pemulung nomaden  mengalami pengusiran secara kasar.

"Alhamdulilah, saya ada rumah kecil, pakai triplek," ujarnya.

Sami sudah belasan tahun mencari nafkah dengan memulung di jalanan. Tak ada pilihan pekerjaan lain baginya selain memulung karena tidak bersekolah dan tidak punya ketrampilan.

"Ya saya nggak sekolah, nggak ada kerjaannya ya gini,mulung. Yang penting anak saya sekolah, dan nasibnya anak saya semoga lebih bagus daripada saya ini," pungkasnya.