Penurunan Kualitas Udara

Karhutla Jadi Biang Kerok Udara Buruk di Banjarmasin: Kuasa Korporasi!

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) buka suara terkait penurunan kualitas udara di Banjarmasin, Kalimantan Selatan akibat karhutla.

Penurunan kualitas udara di Banjarmasin akibat karhutla. Foto-apahabar.com/Hasan

apahabar.com, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) buka suara terkait penurunan kualitas udara di Banjarmasin, Kalimantan Selatan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan standar kualitas udara berdasarkan Index Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Banjarmasin pada Selasa (26/9) masuk dalam kategori “sangat tidak sehat”.

Banjarmasin masuk ke dalam empat daerah dengan kualitas udara buruk, termasuk Kabupaten Kota Waringin Tengah (Kalimantan Tengah), Lubang Buaya (DKI Jakarta) dan Ogan Ilir (Sumatera Selatan).

Skor ISPU di Banjarmasin telah mencapai angka 202. Sekadar informasi, sebuah daerah masuk dalam kategori “sangat tidak sehat” apabila ISPU-nya berada pada kisaran skor 201-300.

Baca Juga: 30 Hektare Lahan di Tapin Ludes Dilalap Karhutla

Berdasarkan data KLHK dan BMKG yang berhasil dihimpun Walhi, penurunan kualitas udara di Banjarmasin, Kalimantan Selatan akan terus terjadi dan semakin parah.

“KLHK dan BMKG memprediksi puncak kebakaran hutan akan terjadi pada Oktober 2023,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi kepada apahabar.com, Jumat (29/9).

Uli mengatakan, masalah karhutla akan terus terjadi selama pemerintah tidak menjawab akar persoalan dari buruknya kualitas udara, yakni kebakaran hutan di wilayah rentan dan lahan gambut.

Wilayah rentan (lahan gambut), kata Uli, terus-menerus dibiarkan dan dieksploitasi. Ia menilai, selama ini hutan di Kalimantan dikelola secara tidak bertanggung jawab oleh korporasi pemegan izin perkebunan monokultur dan hutan tanaman industri.

Baca Juga: Karhutla Banjar Kalsel Diduga Sengaja Dibakar, Pakar Angkat Bicara

“Praktik buruk pengelolaan gambut oleh pemegang konsesi dilakukan dengan cara sengaja, yakni dengan membakar untuk pembersihan lahan. Jadi, land clearing dengan cara membakar itu bisa lebih hemat,” jelasnya.

Ia juga menyebut para pemegang izin konsesi juga melakukan pengeringan gambut. Sementara ekosistem gambut merupakan satu kesatuan.  

“Kalau misalnya di satu wilayah dikanalisasi gambutnya,  maka satu landscape itu akan kekeringan. Jadi, sangat mudah sekali dia (gambut) terpantik api dan kemudian terjadi kebakaran,” jelas Uli.

Berdasarkan keterangan beberapa perwakilan Walhi di beberapa daerah terdampak karhutla, banyak sekolah dasar yang terpaksa meliburkan siswanya karena penurunan kualitas udara.

Baca Juga: Kalsel Darurat Karhutla, KLHK Efektifkan Patroli Lokasi Rawan

Menurut Uli, meliburkan sekolah karena penurunan kualitas udara adalah merampas hak pendidikan. Penurunan kualitas udara, lanjut dia, juga merampas hak masyarakat mendapat lingkungan hidup yang sehat dan hak ekonomi.

Wilayah yang masuk ke dalam kategori “sangat tidak sehat” memiliki kualitas udara yang dapat meningkatkan risiko kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar.

KLHK merekomendasikan agar kelompok sensitif menghindari semua aktivitas di luar dan melakukan penjadwalan ulang ketika kualitas udara sudah lebih baik.

Semua orang yang berada di wilayah dengan kualitas udara buruk diharapkan menghindari aktivitas fisik yang terlalu lama di luar ruangan.

Perlu Tindakan Tegas

Walhi merekomendasikan agar pemerintah mengevaluasi perizinan yang diberikan, terutama korporasi yang beraktivitas di lahan gambut. Selain itu, penegakan hukum yang jelas pada pelaku pelanggaran hutan juga dianggap perlu untuk dilakukan.

“Melakukan penegakan hukum dengan memberikan sanksi administrasi melalui pencabutan izin ataupun pidana kepada perusahaan-perusahaan yang memang terbukti  melakukan pembakaran hutan dan lahan perlu dilakukan agar tidak mengalami masalah serupa di kemudian hari,” tegas Uli.

Berdasarkan catatan Walhi, penurunan kualitas udara karena kebakaran hutan telah terjadi sejak tahun 80-an. Pada era Presiden Soeharto, izin logging begitu masif diberikan pada korporasi.

Selain kerusakan hutan, lanjut dia, eks konsesi kembali diberikan kepada korporasi dalam bentuk izin mendirikan kebun monokultur sawit dan pertambangan.

“Sebelumnya (kebakaran hutan) tidak semasif sekarang. Karena apa? Kawasan-kawasan yang punya fungsi penting dan genting seperti kawasan hutan dan kawasan gambut itu banyak dibebani izin,” ungkapnya.

Korporasi Lebih Kuat

Uli menilai, penurunan kualitas udara terus memburuk disebabkan karena pemerintah enggan evaluasi perizinan. Menurutnya, pemerintah tidak punya keberanian menindak korporasi meski memiliki semua perangkat untuk menindak.

Pemerintah mendapat mandat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) untuk menjamin perlindungan lingkungan hidup.

Sedangkan proses monitoring dan evaluasi, kata Uli, dimandatkan pada undang-undang sektoral seperti UU perkebunan dan UU pertambangan.

“Pemerintah itu enggan, nggak mau, mungkin nggak berani dan tunduk pada kuasa korporasi. Seolah-olah korporasi itu lebih kuat dari mereka (pemerintah). Padahal konstitusi kita itu bilang  pemerintah itu harusnya dia bekerja  untuk memenuhi hak-hak konstitusionalnya rakyat,” ujarnya.