Kalsel

Kalsel Bersiap Tarik Rem Darurat, Covid-19 di Tala, Banjarmasin, dan Banjarbaru Meningkat

apahabar.com, BANJARMASIN – Meski belum seperti Jawa dan Bali, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan tengah mengkaji pemberlakuan…

Pemkot Banjarmasin tercatat sudah tiga kali menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala sejak kasus Covid-19 terkonfirmasi perdana, akhir Maret 2020 silam. Foto: Dok.apahabar.com

apahabar.com, BANJARMASIN – Meski belum seperti Jawa dan Bali, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan tengah mengkaji pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan HM Muslim, saat ditemui usai mengikuti rapat di Komisi II DPRD Kalsel, Kamis (7/1) siang.

“Kita akan segera koordinasikan dalam waktu dekat terkait dengan beberapa daerah yang memang wajib menerapkan itu (PPKM),” ujar pria yang juga juru bicara Satgas Covid-19 Kalsel ini.

PPKM dipilih pemerintah ketimbang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang selama ini lebih dikenal dalam upaya memutus rantai penyebaran Covid-19.

Meski begitu, kata dia, warga Kalsel mesti bersiap. Sebab berkaca dari beberapa parameter, angka kematian di Kalsel masih cukup tinggi dari rata-rata nasional.

“Ini akan kita segerakan rapatkan di Satgas, sesuai dengan arahan dan petunjuk gubernur, kita harus menyikapi dalam upaya jangan sampai penularan Covid-19 ini makin meningkat,” kata Muslim.

Muslim mengakui dalam lima pekan terakhir ada peningkatan kasus Covid-19 yang signifikan. Kenaikan itu, kata dia, imbas libur bersama natal dan tahun baru.

“Dari data kita dari klaster keluarga, tapi klaster keluarga itu di antaranya dari perjalanan dan di antaranya kegiatan kegiatan sosial budaya masyarakat,” sambungnya.

Jika dikaitkan dengan Pilkada, Muslim mengaku tidak bisa mengidentifikasi sebab peningkatan angka penularan Covid-19.

“Kasus tersebut terlihat ketika usai libur panjang,” ujarnya.

Dari catatannya daerah yang mengalami peningkatan angka kasus Covid-19 adalah Tanah Laut, Banjarmasin dan Banjarbaru.

Meminjam data Dinkes Kalsel per 5-6 Januari ada sejumlah peningkatan angka dari jumlah suspek hingga penderita baru.

Di Tanah Laut jumlah pasien positif bertambah 12 orang yakni 1.523 menjadi 1.535 orang positif. Sementara yang sembuh 11 orang dan yang dirawat 149 orang, dan meninggal dunia 39 orang.

Kemudian Banjarbaru ada 2 orang penambahan suspek baru dari 4 menjadi 6 orang. Positif Covid-19 bertambah 17 orang dari 1.696 menjadi 1.713. Dirawat 104 dan meninggal dunia tetap 70 orang.

Lalu Banjarmasin ada 13 orang suspek. Positif Covid-19 bertambah 26 orang dari 4.088 menjadi 4.114. Dirawat berkurang dari 170 menjadi 196, dan meninggal dunia tetap 179 orang.

PPKM tertuang dalam Instruksi Menteri Nomor 1 Tahun 2021 oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kepada seluruh kepala daerah di Jawa dan Bali. Kalsel sendiri dipastikan tak masuk dalam daftar tersebut.

“Untuk Kalsel kita akan coba bahas terlebih dahulu,” ungkap Pj Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel, Roy Rizali Anwar ditemui di Gedung Idham Chalid, Kamis (7/1) sore.

Kebijakan PPKM, kata dia, sekalipun dalam upaya pencegahan penularan Covid-19, namun Pemprov Kalsel tidak akan bertindak sembarangan.

Selain menunggu keputusan resmi dari pemerintah pusat, pihaknya akan berdiskusi bersama dengan tim ahli.

“Kita akan rapatkan dengan tim satgas. Bagaimana arahnya, apakah juga akan memberlakukan seperti di Jawa-Bali,” urainya

Namun apabila PPKM juga diterapkan di Kalsel, Roy menyampaikan akan memungkinkan diberlakukan pembatasan aktivitas seperti halnya PSBB lalu. Misalnya bekerja dari rumah (WFH) hingga penundaan pembelajaran tatap muka.

Sebagai informasi, Kalsel saat ini berada dalam peringkat ke-12 sebagai provinsi dengan kasus tertinggi. Dari 13 Kabupaten/Kota, Tanah Laut terdata masih berisiko terhadap penularan virus dengan status zona merah.

PSBB sendiri pernah diberlakukan pemerintah sejak 10 April 2020 untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 di sejumlah wilayah Indonesia, termasuk Banjarmasin.

PSBB merupakan aturan yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 yang merujuk ke UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto menegaskan kebijakan tersebut bukan berarti ada pelarangan kegiatan masyarakat.

“Kedua, masyarakat jangan panik. Yang ketiga, kegiatan ini mencermati perkembangan Covid-19 yang ada, pada kondisi hari ini, kasus aktif ada 112.593, kemudian meninggal 23.296, sembuh 652.513, 82,76 persen, dan tingkat kematian 2,95 persen,” kata Airlangga, Kamis (7/1).

Mobilitas Penduduk Jadi Kunci

Ilustrasi pelajar saat simulasi pembelajaran tatap muka di Banjarmasin. apahabar.com/Bahaudin Qusairi

Ekonom Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Hidayatullah Muttaqin menilai keputusan sejumlah daerah, seperti Banjarmasin untuk menunda pembelajaran tatap muka (PTM) terbilang telat.

Sebagaimana diketahui, Banjarmasin sendiri memutuskan untuk membatalkan rencana PTM yang tinggal menghitung hari.

Berbagai riset di berbagai belahan dunia, kata dia, mobilitas penduduk merupakan "motor" pertumbuhan dan penularan Covid-19.

Karena itulah negara yang tepat strategi penanganan dan pengendalian pandemi akan melakukan lockdown untuk membatasi mobilitas penduduk.

"Jadi penerapan protokol kesehatan saja tidak akan cukup untuk mencegah penularan tersebut, itu pun jika protokol kesehatan betul-betul diterapkan dengan ketat," ujar anggota Tim Pakar untuk Percepatan Penanganan Covid-19 ULM ini.

Lantas kapan sebaiknya PTM dilaksanakan?

Ia meminta menunggu hingga tren penularan Covid-19 terkendali, dan pemerintah mempunyai metode, instrumen, dan sumber daya untuk mendeteksi virus dengan cepat.

Termasuk penanganan cepat jika ada warga yang terinfeksi Covid-19 melalui tracing kontak erat dan tes PCR.

"Sehingga jika terdapat penduduk yang terinfeksi dapat dengan cepat dipisahkan dengan penduduk yang tidak terinfeksi," pungkasnya.

Lantas bagaimana ukuran pandemi terkendali?

Menurut standar WHO, pandemi mulai terkendali jika dalam waktu 2 pekan berturut-turut angka positive rate berada pada level 5% ke bawah di mana jumlah tes PCR mingguan minimal sebanyak 1/1000 penduduk setiap minggunya.

Jika jumlah warga yang dites di bawah standar WHO, maka data kasus konfirmasi menjadi bias.

“Ada fenomena di Indonesia di mana kasus banyak daerah mengalami penurunan kasus karena tes PCR-nya menurun,” ujarnya.

Karena itu penurunan kasus tersebut tidak merefleksikan kondisi riil sebagai akibat minimnya jumlah tes.

"Jadi Pemkot Banjarmasin harus betul-betul serius dalam penanganan pandemi ini demi keselamatan warga Banjar. Jangan memaksakan diri membuka sekolah saat wabah," tegasnya kembali.

Dilengkapi oleh Musnita Sari