Nasional

Jokowi Pastikan Ibu Kota Pindah ke Luar Jawa, Nama Tanbu Disebut?

apahabar.com, JAKARTA – Sinyal pemindahan ibu kota negara ke luar pulau Jawa menguat, seiring Rapat Terbatas…

Secara geografis dan geopolitik, Tanah Bumbu dianggap sangat strategis untuk menjadi Ibu Kota Baru. Foto-Net

apahabar.com, JAKARTA – Sinyal pemindahan ibu kota negara ke luar pulau Jawa menguat, seiring Rapat Terbatas Pemindahan Ibu Kota digelar di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (29/4).

Informasi dihimpun, mengerucut tiga nama cikal bakal ibu kota baru. Yakni, Palangkaraya di Kalteng, Tanah Bumbu di Kalsel, serta Panajam di Kaltim. Jokowi optimistis pemindahan ibu kota negara akan terwujud bila dipersiapkan dengan matang.

Seusai rapat, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro membenarkan ibu kota Jakarta akan pindah ke luar Pulau Jawa.

“Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan ibu kota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini dan tentunya akan dilanjutkan dengan rapat terbatas berikutnya,” ungkap Bambang, dikutip apahabar.com, dari CNN Indonesia.

Keputusan memindahkan ibu kota ini didasari oleh berbagai pertimbangan yang sudah dikaji oleh Bappenas. Pertama, ibu kota baru harus memiliki lokasi strategis secara geografis, yaitu berada di tengah wilayah Indonesia.

“Tengah ini adalah memperhitungkan barat ke timur atau utara ke selatan. Untuk merepresentasikan keadilan dan mendorong percepatan khususnya wilayah timur Indonesia. Jadi kita dorong ibukota yang Indonesia sentris.” katanya.

Kedua, luas lahan daerah yang akan menjadi calon ibu kota mencukupi. Baik lahan milik pemerintah maupun milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab, pembangunan ibu kota membutuhkan lahan yang luas. Estimasinya sekitar 30-40 ribu hektare (ha).

“Kami ingin yang sudah tersedia yang bisa dibangun, yang tidak lagi memerlukan biaya pembebasan,” jelas Bambang.

Ketiga, wilayah harus bebas bencana alam atau setidaknya paling minim risiko. Mulai dari gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi, maupun kebakaran hutan dan lahan gambut. Selain itu, harus tersedia sumber daya air yang cukup dan bebas dari pencemaran lingkungan.

Keempat, untuk meminimalkan kebutuhan pembangunan infrastruktur baru, pemerintah ingin ibu kota baru berada di kota yang sudah cukup berkembang.

“Kami ingin kota kelas menengah yang sudah existing. Maksudnya kota yang sudah punya akses mobilitas atau logistik. Misalnya kita tidak perlu membangun bandara baru di kota tersebut, begitu juga pelabuhan dan jalan koneksi,” katanya.

Kelima, dekat dengan pantai. Menurutnya, hal ini harus ada karena identitas Indonesia merupakan negara maritim, sehingga sebaiknya ibu kota lokasinya tidak jauh dari pantai tapi tidak harus di tepi pantai itu sendiri.

Keenam, ada akses dan layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi yang memadai. Ketujuh, memiliki risiko konflik sosial yang minim dan masyarakatnya memiliki budaya terbuka terhadap pendatang.

Sebab, nanti akan banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berdatangan ke kota tersebut untuk bekerja di pemerintahan.

Kedelapan, tidak dekat dengan perbatasan dengan negara tetangga. Tujuannya, untuk menjaga keutuhan wilayah teritorial negara secara menyeluruh. Sayangnya, Bambang belum ingin menyebut kota mana atau pulau apa yang akan dijadikan lokasi ibu kota baru.

Meski begitu, Bambang enggan berkomentar ketika disinggung soal Kota Palangkaraya, Tanbu, atau Penajam, sebagai salah satu wacana yang pernah disampaikan pemerintah.

“Tadi tidak membicarakan lokasi sama sekali dan spesifik, dan ini beneran, bukan hanya ke wartawan, tadi beneran tidak dibahas soal lokasi, jadi jangan buat cerita,” tekannya.

Selain ketiga daerah itu, sejumlah daerah juga menjadi alternatif calon ibu kota baru. Sebut saja, daerah sekitaran Monas, Jakarta, atau di kota-kota sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Untup alternatif pertama, pemerintah bermaksud membuat satu distrik tersendiri di kawasan Monas, Jakarta Pusat sebagai pusat pemerintahan.

Bambang tak menampik soal adanya opsi memindahkan ke luar Pulau Jawa. Namun, dari tiga alternatif itu, sebut dia, pemerintah belum juga mengambil keputusan.

Bambang Brodjonegoro memproyeksi pemindahan ibu kota dari Jakarta ke kota lain setidaknya membutuhkan dana sebesar US$23-33 miliar atau setara Rp323 triliun-Rp466 triliun. Kebutuhan yang lebih tinggi dibandingkan pemindahan ibu kota yang pernah dilakukan oleh negara-negara lain.

Kepada awak media, Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan beban Jakarta untuk menjadi ibu kota sudah terlampau berat. Demikian dengan Pulau Jawa. Sesak akan pertumbuhan penduduk. Sama seperti Jakarta, tingkat kemacetan di Jawa juga sudah cukup kronis.

“Pemandangan kemacetan sudah kita lihat, utamanya di sejumlah titik di Pantura (Pantai Utara) Pulau Jawa,” kata Jokowi.

Agaknya, Jokowi lebih memilih peluang pemindahan ibu kota ke Kalimantan. “Di Kalimantan 6 persen. Nah ini masih 6 persen, baru 6 persen. Pertanyaannya, apakah di Jawa mau ditambah? Sudah 57 persen. Ada yang 6 persen, 7 persen, dan 3 persen,” ujarnya,kepada sejumlah awak media.

Data yang ada menyebut jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 57 persen dari total populasi di Indonesia. Sedangkan jumlah penduduk di Sumatera menembus 21 persen.

Padahal, sebut Jokowi tadi, jumlah penduduk di Pulau Kalimantan cuma sekitar 6 persen, Sulawesi 7 persen, dan Maluku serta Papua hanya tiga persen.

“Kalau masih berpikir tiga alternatif tadi, saya sih alternatif satu dan dua sudah tidak,” tegas Jokowi.

Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan sejatinya bukanlah hal yang baru. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Selatan kala itu, yakni Achmad Sofiani mengaku telah mengusulkan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru menjadi alternatif selain Kota Palangka Raya.

Menurut Sofiani, dikutip apahabar.com dari Tempo, kondisi geografis kedua kabupaten tersebut layak dijadikan ibu kota ketimbang di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

"Laut dan daratnya sudah siap (untuk pemindahan ibu kota). Ada pelabuhan dengan laut kedalaman minus 15 meter sehingga kapal besar bisa merapat langsung. Bandar udara di Batulicin panjang runway-nya sudah 2.500 meter, tinggal pengembangan," katanya, Kamis, 13 Juli 2017.

Sofiani juga menuturkan struktur lahan mayoritas tanah di Kalsel terbilang cukup padat. Sofiani menyiapkan tanah seluas 300 ribu hektare, yang mayoritas berstatus hak guna usaha (HGU) milik perkebunan sawit di Tanah Bumbu dan Kotabaru.

Saat itu, dia mengatakan tim Sekretariat Negara sejatinya berencana melakukan survei lokasi, tapi tiba-tiba batal turun ke Tanah Bumbu.

Menurut Sofiani, tim survei akan mengkonsultasikan ke Bappenas untuk membuat kajian di antara Kalsel, Kalteng, dan Kaltim.

"Keuntungannya, Kalimantan Selatan menjadi maju, wilayah tersebut pasti berkembang. Kalau soal dampak sosial, saya enggak bisa komentar, yang pasti ada dampak positif dan negatifnya," ucapnya.

Baca Juga:Jokowi Kirim Sinyal Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan

Baca Juga:Kemenko Polhukam akan Tinjau Palangkaraya Sebagai Ibu Kota Pemerintahan

Editor: Fariz Fadhillah