Johannes Van Der Steur

Johannes Van Der Steur, Pejuang Kemanusiaan Masa Penjajahan Magelang

Johannes van der Steur adalah pejuang kemanusiaan di masa kolonial. Ia merawat 7.000 anak yatim dari berbagai suku dan kalangan.

Van Der Steur (DOK. Kitlv Leiden)

Apahabar.com, MAGELANG - Johannes van der Steur adalah pejuang kemanusiaan di masa kolonial. Ia merawat 7.000 anak yatim dari berbagai suku dan kalangan. 

Makam yang usianya hampir seabad itu terlihat masih terawat, catnya bersih, halamannya pun tertata rapi. Letaknya berada di pusat Kota Magelang, namun tak banyak yang mengetahui ada makam yang berjajar di Jalan Iklas itu.

Pada makam itu, terbaring seorang tokoh kemanusiaan asal Belanda, Johannes van der Steur yang merawat 7.000 anak yatim dari berbagai suku dan status sosial saat masa kolonial.

Keluarga Protestan yang Taat

Kisah Van de Steur dituturkan seorang pakar sejarah Chandra Gusta Wisuwardana Sabtu, (15/7).

Sejarawan yang akrab disapa Gusta itu menuturkan, Johannes Van de Steur adalah pejuang kemanusiaan yang lahir di Rozenprieel, Haarlem, Belanda 10 Juli 1865 di Barendse-Straat, Rozenprieel, Haarlem.

Baca Juga: Sejarah Candi Pringapus, Penjaga Mata Air Lereng Gunung Sindoro

"Johannes Van Der Steur menghabiskan masa kecil dengan cukup berat. Ia harus harus membantu ekonomi keluarga dengan bekerja di kedai roti. Ibunya adalah pemintal kain di toko kaus kaki, dan ayahnya pelukis sekaligus penjaga makam," kata Gusta.

Bersama 10 saudaranya, Johanes Van De Steur dan hidup dengan pas - pasan namun dibesarkan bersama keluarga Kristen Protestan yang sangat taat.

Menurut Gusta, ketaatan keluarga tersebut pada agama membuat Johannes van der Steur sejak kecil bercita - cita menjadi seorang penginjil. 

Nilai - nilai protestanisme dan kemanusiaan  ini tumbuh di lingkungan tempat tinggalnya yang banyak dihuni oleh kelas pekerja

"Berangkat dari keinginannya menjadi penginjil dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan, Johanes mulai berderma dan melakukan khotbah dibeberapa kota," ujarnya.

Perlu diketahui, upaya penguasaan wilayah Nusantara oleh Belanda mengalami peningkatan pasca Parlemen Belanda dikuasi oleh orang - orang liberal & humanis.

Baca Juga: Blak-blakan Pangeran Cevi soal Pemulangan Kepala Demang Lehman 

Sembari membuka lembar foto lawas, Gusta mengatakan, Johannes bertemu seorang serdadu yang baru saja kembali dari Hindia Timur di kota Harderwijk.

Alih - alih kisah kejayaan yang ia dengar saat ia mendengarkan kisah serdadu tersebut, melainkan narasi - narasi tragis nasib para serdadu.

TKR Indonesia saat hendak melawan Sekutu di Magelang (Dok. KITLV Leiden)

"Johanes kala itu juga mendengar ambisi Belanda yang tengah gencar melakukan ekspansi militer sebagai upaya meningkatkan eksistensi kerajaan," ujarnya.

Mendengar ironi kisah masyarakat Hindia Belanda tersebut, Johannes van der Steur bertekad untuk mengunjunginya secara langsung.

Berkat bantuan pejabat dan politikus humanis di Belanda, Johannes berlayar ke Hindia dari kota Ijmuiden pada 10 September 1892.

Pada tahun yang sama, Johanes akhirnya tiba di ke Garnisun Magelang. Johannes van der Steur dengan misi membimbing para serdadu untuk mengenal dan kembali kepada jalan Tuhan. 

Johanes mengawali misinya dengan bekerja sebagai pembantu di dalam tangsi militer yang bertugas membagikan kertas yang berisi renungan nukilan ayat - ayat injil (tractaat) di atas tempat tidur. 

Perlawanan Van de Steur atas Pergundikan

Gusta menuturkan, ada catatan sejarah yang menyebut Johannes van der Steur pernah berkirim surat kepada Directur Onderwijes, Eredienst, en Nijverheid (Direktur Pendidikan, Agama dan Industri) tentang ketidaksetujuannya pada praktik pergundikan yang kala itu marak terjadi di Hindia Belanda.

Baca Juga: Menelusuri Histori ‘Terlahir Kembali’ Lewat Setoples Nastar

"Surat tersebut isinya mendesak pemerintah untuk warga Eropa melangsungkan pernikahan sebanyak mungkin agar praktik pergundikan yang banyak merugikan anak itu bisa ditekan," ujarnya.

Meski demikian, menurut Gusta, perlawanan terhadap pergundikan sejatinya sudah berulangkali dilakukan dari 1889 hingga 1904 oleh Van de Steur.

Suara Johanes juga didukung Raad van Indie dan Gubernur Jendral Rooseboomyang juga terus melakukan berbagai cara agar serdadu terhindar dari penyakit kelamin menular.

Sampai dengan tahun 1912, kalangan pro-pergundikan masih bisa terus melobby politisi di Den Haag untuk terus melanggengkan "praktik buruk yang menguntungkan / diperlukan" ini.  

Sikap bersebarangan mulai terlihat pada 1913 ketika Gubernur Jendral Idenburg berbeda pendapat dengan panglima militer  mengenai pergundikan. Ia menyatakan akan menghapuskan pergundikan tangsi secara perlahan.