Jelang Tampil di Synchronize Fest 2023, Primitive Monkey Noose Bicara Peran Penting Media

Primitive Monkey Noose menjadi kelompok musik paling mencuri perhatian dari Kalimantan Selatan dalam beberapa tahun terakhir. 

Primitive Monkey Noose saat tampil di panggung Mappanre Ri Tasie Pagatan. Foto-Dok PMN

apahabar.com, BANJARMASIN - Primitive Monkey Noose menjadi kelompok musik paling mencuri perhatian dari Kalimantan Selatan. Lagu-lagu yang berkarakter dan otentik serta visi musik yang jelas menjadi daya tarik utama band ini.

Dipilihnya Primitive Monkey Noose menjadi salah satu dari ratusan penampil di Synchronize Festival 2023 juga menjadi prestasi yang patut diberikan aplaus meriah. 

Selain soal orisinalitas ide secara musikal dan kemampuan personel-personel Primitive Monkey Noose yang memang jempolan, Richie Petroza, sang frontman juga menilai dukungan media juga berperan penting terhadap kesuksesan band-nya.

"Sejak awal kami sudah menjadi band yang sadar media. Sadar kalau media itu penting. Setidaknya bagi Primitive Monkey Noose," ucap Richie kepada apahabar.com, Sabtu (12/8/2023).

Baca Juga: Primitive Monkey Noose, Punk Banjar Menginvasi Synchronize Festival 2023

Melihat besarnya kontribusi media selama perjalanan Primitive Monkey Noose, termasuk umumnya band-band lain di Indonesia, Richie menilai idealnya pelaku musik dan media memang bersinergi. Di satu sisi media akan mendapatkan materi dan di sisi lain karya musik bisa terpublikasi lebih luas. 

Sayangnya dia melihat musisi-musisi lokal tak jeli dalam melihat potensi ini. Di Batulicin, lanjut dia, sebenarnya banyak media, dari online hingga radio yang bisa diajak bekerja sama untuk mempromosikan karya, termasuk event-event musikal. "Namun, kadang itu tidak dimanfaatkan oleh pelaku musik," katanya.

Baca Juga: Kabar Baik Industri Musik, Pabrik Piringan Hitam Hadir Lagi di Indonesia

"Sadar media, dua kata yang perlu namun pelik, karena dibutuhkan kesadaran dan niat yang kuat untuk memperlakukan karya ke level berikutnya. Tapi ini tergantung ke si pemilik karya, mau karyanya dinikmati begitu saja, atau mau semua orang mengetahuinya. Atau, berharap keajaiban melalui tiba-tiba viral tanpa rencana. Seperti karya-karya trending di medsos," papar Richie. 

Sejauh ini dia melihat ada banyak musisi lokal yang tak sadar media dan tidak punya pengetahuan untuk memanfaatkan media yang ada. Parameter paling mudah, menurut Richie, adalah memperhatikan media sosial musisinya.

"Apakah dikelola dengan baik? Lalu gimana kategori baik itu? Setidaknya branding bandnya sesuai dengan apa yang ingin dicapai," katanya. 

Lalu parameter berikutnya, lanjut dia, ada berapa karya yang masuk di playlist radio?

"Nggak banyak. Iya, radio media konvensional, tapi setidaknya dari situ karya bisa didengarkan selain dari platform digital," sebutnya. 

Bagi Primitive Monkey Noose, bicara media berarti menggunakan semua platform yang ada. Menurut dia kesadaran akan media hanyalah satu di antara puluhan cara untuk mempublikasikan karya. Dari situ kemudian bisa dilihat seberapa banyak musisi itu dibicarakan dan dibahas di media online.

"Minimal bikin pers released-lah. Sebarkan ke semua media. Kan sekarang udah mudah untuk mengirimkan pers released ke semua media yang kita mau. Kontak dan email media tertera di platform mereka," katanya. 

"Atau setidaknya manfaatkan dengan baik media yg ada di daerah. Mereka semua butuh musisi yang punya tekad untuk mempublikasikan karya," tambahnya. 

Sebagai contoh, sejak album perdana, Primitive Monkey Noose getol mengirimkan pers rilis ke banyak media di Indonesia. Bahkan, dia membiarkan karya musiknya di-review oleh media-media tersebut, meskipun kadang-kadang tak semua ulasan bernada positif. 

"Tanpa media, PMN hanyalah paman-paman paruh baya yang menolak tua yang suka bikin karya," tandas Richie.