Jelang Satu Tahun Perang Rusia-Ukraina: Mereda atau Kian Membara?

Hampir setahun lamanya, wilayah Ukraina tak pernah sepi dari desingan senjata api. Rudal skala besar kiriman Rusia tak henti-henti menghujani Ukraina

Ilustrasi perang Rusa-Ukraina yang sudah berjalan hampir setahun (Foto: dok. IISIA)

apahabar.com, JAKARTA - Hampir satu tahun lamanya, wilayah Ukraina tak pernah sepi dari desingan senjata api. Rudal skala besar kiriman Rusia tak henti-henti menghujani instalasi energi, bahkan hunian penduduk di sana.

Serangan bertubi-tubi yang demikian sudah tentu melayangkan ribuan nyawa tak berdosa. Di pihak Ukraina saja, sedikitnya 17.831 penduduk sipil tewas sejak perang berkecamuk hingga Desember 2022 lalu. 

Senjata peledak, termasuk penembakan artileri berat, roket ganda, misil, dan serangan udara lah yang menjadi biang keroknya.

“Jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang tercatat, karena penerimaan informasi dari beberapa lokasi tertunda akibat pertempuran intens,” demikian paparan OHCHR dalam laporannya, dikutip Minggu (5/2).

Meski korban jiwa terus berjatuhan, Rusia tak segan-segan menggaungkan ancaman serangan. Salah satu ultimatum itu datang dari Mantan Presiden Negeri Beruang Putih, Dmitry Medvedev, yang mengatakan, “Semua wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kyiv akan terbakar.”

Hal itu dia sampaikan menyusul maraknya pasokan persenjataan canggih Amerika Serikat yang mengalir ke Ukraina. Alih-alih gentar, Medvedev menegaskan Rusia pasti membalas itu dengan mengirim serangan balasan yang lebih banyak, tak terkecuali ledakan nuklir.

Mimpi Buruk Ukraina dalam Setahun Terakhir

Ancaman demi ancaman, serangan demi serangan, agaknya kini menjadi ‘makanan sehari-hari’ bagi penduduk Ukraina. Mereka sudah terbiasa dengan hal itu semenjak setahun lalu, tepatnya pada 24 Februari 2022.

Kala itu, Presiden Vladimir Putin resmi mengumumkan operasi militer sekira pukul 5:00 EET atau 10:00 WIB. Beberapa menit kemudian, pasukan Rusia melancarkan serangan rudal di udara.

Mereka mulanya menyerang Ukraina dengan mengamankan Ukraina Timur, kawasan Donbass yang dikuasai milisi pemberontak. Lambat laun, serangan tersebut kian melebar; sejumlah kota turut dibidik, termasuk Odessa, Kharkiv, Mariupol, dan Kyiv.

Ukraina tentu tak tinggal diam melihat tanah airnya diinvasi ‘tetangga.’ Presiden Volodymyr Zelenskyy merespons serangan itu dengan memberlakukan darurat militer: penduduk lelaki Ukraina yang berusia 18–60 tidak diperbolehkan meninggalkan negara.

Perlawanan yang demikian nyatanya sempat berhasil memukul mundur Rusia. Pada 3 April 2022, serangan Rusia ke Kyiv terhenti lantaran banyak prajurit tewas dan perlawanan oleh Ukraina kian menguat. 

Sayangnya, gencatan senjata itu tak berlangsung lama. Selang dua minggu kemudian, atau pada 19 April, Rusia kembali meluncurkan serangan rudal ke Kyiv di bagian utara sekaligus Lviv di bagian barat, secara bersamaan.

Putin Tak Ingin Kehilangan Kuasa

Invasi yang demikian dipicu keinginan Putin untuk menguatkan pengaruh di Ukraina. Jatuhnya pemerintahan Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, membuat dia ‘naik pitam’ karena kehilangan pengaruh di negara tersebut.

Sejak saat itulah, Rusia tak segan-segan meluncurkan serangan. Mulai dari mempersenjatai kelompok separatis untuk merebut provinsi Donetsk dan Luhansk, hingga menginvasi wilayah Ukraina.

Tak cuma itu, tindakan invasi ini juga bertujuan untuk mencegah Ukraina bergabung menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO. Sebab, jika Ukraina berhasil menjadi anggota aliansi tersebut, ancaman militer atau politik bisa saja menyerang Rusia.

Alasan lain yang membuat Putin tak gentar menginvasi meski dikecam dunia ialah ingin membebaskan warga Ukraina. Presiden Rusia itu mengeklaim, orang-orang tersebut hidup di bawah penindasan pemerintah Ukraina yang dijalankan oleh kaum fasis sejak 2014.

Bahkan, Putin juga meyakini bahwa Ukraina tengah menjadi negara boneka yang dikontrol dunia barat. Maka dari itu, dia berusaha menjauhkan pengaruh tersebut dari negaranya.

‘Lagu Lama’ yang Terulang Kembali

Perseteruan antarnegara sesama pecahan Uni Soviet itu bukan yang kali pertama. Tercatat, Rusia pernah menginvasi Ukraina pada 2014 dengan motif menguasai semenanjung Krimea dan mendukung pemberontakan yang dipimpin separatis pro-Rusia di wilayah Donbas Timur.

Semua rangkaian peristiwa ini bermula saat Uni Soviet bubar pada awal tahun 1990-an. Akibat keruntuhan itu, terbentuklah negara-negara baru, salah satunya Ukraina yang sempat menjadi lokasi penyimpanan persenjataan atom atau nuklir terbesar ketiga di dunia.

Berkaca dari peristiwa pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki, sejumlah negara melakukan upaya diplomatik guna menghilangkan senjata nuklir. Alhasil, diadakanlah Memorandum Budapest pada 1994.

Perjanjian ini dibentuk dengan tujuan utama melakukan pelucutan senjata nuklir yang dimiliki Ukraina, Kazakhstan, dan Belarusia. Namun, ketiga negara tersebut tidak serta merta setuju lantaran merasa terancam oleh negara tetangga yang superpower, yakni Rusia.

Melalui Memorandum Budapest, ketiga negara berharap mendapat jaminan keamanan. Ukraina, Kazakhstan, dan Belarusia bersedia melucuti senjata nuklirnya, asalkan dijamin aman dari ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial, alias diberi kemerdekaan politik.

Namun, Rusia mengingkari perjanjian tersebut. Negeri Beruang Putih itu menginvasi Ukraina pada 2014 lantaran ingin mencaplok semenanjung Krimea dan mendukung pemberontakan separatis pro-Rusia di wilayah Donbas Timur. Akibat kejadian ini, 14.000 orang kehilangan nyawa.