Jelajah Waktu dan Peristiwa di Balik Palagan Ambarawa

Kemerdekaan Indonesia pada 1945 tak membuat bangsa ini bebas. Pasalnya, kala itu bangsa kita harus kembali menghadapi kekuatan asing di bawah pimpinan Pasukan

TKR Indonesia saat hendak melawan Sekutu di Magelang (Dok. KITLV Leiden)

apahabar.com, MAGELANG - Kemerdekaan Indonesia pada 1945 tak membuat bangsa ini bebas. Pasalnya, kala itu bangsa kita harus kembali menghadapi kekuatan asing di bawah pimpinan Pasukan Sekutu.

Situasi makin rumit saat 19 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di pelabuhan
Tanjung Emas Semarang di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethell.

Pasukan Sekutu yang terdiri dari satu kompi Infatri Yon 2 Kumon, Satu Yon//Gurkha Rifless, dua kompi cadangan dan satu Kompi Tank Pavo sebagai pasukan Senba (Senjata Bantuan) itu datang saat Semarang masih memanas.

Saat itu di Semarang yang baru saja terjadi bentrokan antara pemuda Indonesia melawan Pasukan Jepang yang disebut sebagai pertempuran 5 hari di Semarang, tidak memperhatikan kedatangan Sekutu.

"Kedatangan Sekutu kala itu justru disambut baik Wongsonegoro yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Semarang," kata Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Program Studi Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS), Sutanto saat dikonfirmasi apahabar.com, Rabu (17/5).

Meski demikian, lanjut dia, kala itu an masyarakat Semarang memiliki kecurigaan terhadap maksud kedatangan Sekutu.

"Sesuai dengan kebijakan Pemerintah Indonesia, Wongsonegoro membantu maksud kedatangan pasukan Sekutu yang hendak melaksanakan tugasnya menangani tahanan Perang atau Interniran Jepang," tuturnya.

Hingga akhirnya, terjadi kesepakatan yang isinya Wongsonegoro memberi akses kepada Pasukan Sekutu untuk menuju Magelang dan Ambarawa guna melaksanakan tugasnya.

"Pada 26 Oktober 1945, Sekutu tiba di Magelang. Mereka langsung
menduduki tempat-tempat penting di Utara Magelang seperti kompleks Kader
School (kini Resimen Induk Kodam VII Diponegoro), Hotel Nitaka (kini Komtarres
Polri 96 Kedu), Gedung Susteran dan Kompleks perumahan “Jenderalan” di Sekitar
taman Badaan," paparnya.

Ia menceritakan, kompleks kader tersebut kemudian, oleh sekutu, dijadikan Sekutu sebagai markas pertahan untuk kota Magelang.

"Situasi panas makin berlanjut saat 28 Oktober 1945, pasukan Gurka sebagai bagian dari Sekutu bertindak provokatif yakni melakukan penggeledahan pada rumah-rumah penduduk," paparnya.

Kemudian, lanjut dia, dalam penggeledahan yang dilakukan pasukan Gurka di Desa Ngentak mereka telah menembak dan melukai dua orang pemuda Indonesia.

"Insiden tersebut menyulut amarah masyarakat Indonesia dan menjadi awal terjadinya Pertempuran Magelang," jelasnya.

Sebagai informasi, waktu itu di Magelang TKR masih dalam proses pembentukan, meski sebelumnya pada 5 Oktober 1945 sudah diikrarkan.

Akan tetapi, menurut Sutanto, kala itu di Magelang sudah terbentuk berbagai badan perjuangan kelaskaran seperti Badan Keamanan Rakyat (BKR), Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), Laskar Hisbullah, Laskar Rakyat Mataran dan lainnya.

"Kabar pertempuran Magelang terdengar Pasukan PRI Mataram yang waktu itu dibentuk dan dipimpin Soetardjo dan bermarkas di Yogyakarta," tuturnya.

Soetardjo yang akrab disapa Bung Tardjo lantas memerintahkan Pasukan PRI Mataram untuk turut serta berjuang di Magelang dalam upaya mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia.

Pasukan PRI Mataram Berangkat ke Magelang

Dengan menggunakan persenjataan hasil sitaan pasukan Jepang (dari Kotagede
Yogyakarta) berupa arisaka dan senapan bren MK II buatan Inggris.

Menurut dia, kala itu Bung Tardjo membawa sebuah pistol mauser C96, sebuah keris di pinggang, sebuah cemethi di tangan kiri sebagai penganti tongkat komando. 

Pada malam harinya, Bung Tardjo berpidato melalui perangkat radio yang
selalu dibawa oleh pasukan PRI Mataram.

Tujuan pidatonya adalah memberikan semangat kepada rakyat dan pasukan yang akan bertempur.

Pidato Bung Tardjo pun lantas menguatkan semangat penduduk Magelang terutama para pasukan pejuang yang mengepung markas pasukan Sekutu.

"Selama tiga hari seluruh pasukan pejuang Magelang melakukan serangan gerilya
melawan pasukan Sekutu yang memliki persenjataan lebih lengkap," tuturnya.

Meskipun demikian, lanjut Sutanto, tidak menciutkan keberanian para pasukan pejuang dalam melakukan serangan terhadap Sekutu.

"Pasukan Sekutu yang semakin terdesak oleh serangan pasukan TKR dan badan-badan kelaskaran tak terkecuali PRI Mataram akhirnya meminta Soekarno untuk datang Magelang guna mengumumkan perintah gencatan senjata," tuturnya.

Kemudian, perundingan untuk menghentikan pertempuran di Magelang dilakukan oleh TKR diwakili Letjen Urip Sumohardjo, pihak Sekutu diwakili oleh Kolonel Edward dan Brigjed Bethell, dan barisan kelaskaran diwakili oleh Bung Tardjo.

"Hasil perundingan memutuskan gencatan senjata antara Indonesia dengan
pihak Sekutu di Magelang," tuturnya.

Namun, menurut Sutanto, pertempuran hanya berhenti sejenak sebab gencatan
senjata yang dilakukan hanya sebuah siasat Pasukan Sekutu untuk memperkuat
kedudukan di Magelang.

"Justru saat gencatan, dari Semarang Pasukan Sekutu mengirimkan kesatuan kesatuan tempur dan meriam-meriam sebagai bala bantuan untuk Magelang," tuturnya,

Kecurangan Sekutu tersebut diketahui oleh Pasukan pejuang, Bung Tardjo kembali menyerukan kepada seluruh pasukan pejuang agar tetap melakukan perlawanan.

"Perlawanan dilakukan oleh kesatuan TKR dan badan perjuangan lainnya
untuk memotong bala bantuan yang ditujukan kepada Pasukan Sekutu di Magelang," ujarnya.

Sutanto mengatakan, perlawanan tersebut membuat pasukan Sekutu kewalahan sehingga menarik mundur pasukannya hingga ke Ambarawa.

"Larinya para pasukan Sekutu dari Magelang itu menjadi awalmula munculnya Palagan Ambarawa," pungkasnya.