Relax

Jejak Sang Proklamator Bangsa: Kumandangkan Merdeka, Berakhir dalam Hampa

apahabar.com, JAKARTA – Air susu dibalas air tuba. Begitulah kiranya kisah hidup Bapak Bangsa, yang mempertaruhkan…

apahabar.com, JAKARTAAir susu dibalas air tuba. Begitulah kiranya kisah hidup Bapak Bangsa, yang mempertaruhkan nyawanya selama puluhan tahun, demi membebaskan ibu pertiwi dari cengkraman penjajah. Alih-alih mendapat perlakuan istimewa, di penghujung usianya, dia justru terasingkan dalam hampa.

Peristiwa G30S PKI menjadi awal runtuhnya gelanggang kekuasaan Bung Karno. Usai partai komunis dan semua onderbouw-nya dilibas habis, Soeharto perlahan-lahan mengambil alih panggung politik dan menyingkirkan Soekarno.

Kekuasaan presiden pertama Indonesia itu makin lemah setelah dirinya menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966, atau lebih dikenal Supersemar. Sejak saat itu, Soekarno diperlakukan tak lebih sebagai tukang teken dokumen.

"Saya diam dalam seribu bahasa," ujar Bung Karno, tatkala kekuasaannya berangsur-angsur dirampas dari genggamannya, seperti dilansir dari buku Sukarno: Sebuah Biografi Politik karya John D. Legge.

Pada 12 Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut mandat Soekarno sebagai presiden, lalu menunjuk Soeharto sebagai orang nomor satu di Indonesia. Kendati tampuk kepresidenan belum secara resmi beralih kuasa, namun selama masa transisi itu, pengaruh Bung Karno sudah tak ada apa-apanya lagi.

Terusir dalam Keterasingan yang Mencekam

Setelah benar-benar lengser dari dunia perpolitikan, Bung Karno menjadi tahanan rumah. Pada Mei 1967, Bapak Bangsa itu tak lagi diizinkan menetap di Jakarta. Dia hanya diperkenankan menempati salah satu paviliun Istana Bogor.

"Bapak sangat kesepian. Pengasingan atas diri bapak merupakan beban mental dalam dirinya," ungkap putri ketiga Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, dikutip dari buku Bapakku Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi.

Beberapa bulan tinggal di paviliun, Bung Karno kembali menerima pil pahit. Dia 'diusir' secara halus, yakni melalui surat yang menyatakan haknya untuk tinggal di lingkungan kepresidenan resmi dicabut.

Bahkan, pria dengan predikat Singa Podium tersebut meninggakan istana dalam 2×24 jam. Sedihnya lagi, ia sama sekali tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang miliknya.

Soekarno lantas pindah ke ke rumah peristirahatan Hing Puri Bima Sakti di Batutulis, Bogor. Namun, suhu udara yang dingin rupanya memperparah kesehatan sang mantan presiden: rematik menambah deretan penyakit yang diderita Bung Karno.

Sejak 1969, Soekarno pindah ke Wisma Yaso yang berlokasi di Jakarta Selatan. Tempat itu merupakan kediaman salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi. Kendati begitu, Bung Karno tak tinggal bersama sang istri.

Atas perintah Soekarno sendiri, Dewi angkat kaki dari kediamannya itu dan menetap di Prancis. Lagi-lagi, pria kelahiran 6 Juni 1901 ini terperangkap sepi yang tak terperi.

'Apa Salah Saya?'

Hari-hari terakhir Soekarno di Wisma Yaso bak siksaan baginya. Betapa tidak, ketika berbagai penyakit menggerogoti tubuhnya yang renta, Bung Karno kian tertekan dengan kehadiran tentara yang mengorek keterangan terkait keterlibatannya dalam peristiwa G30S PKI.

Terlebih lagi, waktu untuk mengunjungi Soekarno dibatasi, yakni hanya mulai pukul 10.00 sampai 13.00 WIB. Kalau fisiknya tak terlalu lemah, dia suka mengajak siapa saja yang membesuknya untuk bermain kartu remi dengan taruhan batang-batang korek api.

Hari demi hari, tim dokter yang merawatnya menyaksikan raut sedih Soekarno. Kalut dalam kepalanya tak bisa diobati. Bahkan, tak jarang sang proklamator itu mengeluarkan keluh kesahnya.

"Apa salah saya, kok saya diperlakukan begini?" demikianlah sepenggal curahan hati Bung Karno yang membuat para dokter trenyuh, sebagaimana dikisahkan dalam biografi Mahar: Penjuang, Pendidik, dan Pendidik Pejuang.

Masih bersumber dari buku yang sama, dituturkan bahwa ketua tim dokter yang merawat Soekarno, Mahar Mardjono, sering mendatangi mantan orang nomor satu itu pada tengah malam.

Katanya, Bung Karno kerap mengeluhkan nyeri kepala. Hal ini ternyata disebabkan stres berat, lantaran keinginannya untuk sekadar jalan-jalan keliling kota diacuhkan.

Meski terdengar sepele, penolakan tersebut terasa berat bagi Bung Karno, mengingat dirinya adalah sosok yang suka keramaian dan senang dikelilingi banyak orang.

Putra sang Fajar Kembali ke Keabadian

Mahar menuturkan bahwasanya Bung Karno mengidap penyakit batu ginjal, gangguan peredaran darah pada otak dan jantung, serta tekanan darah tinggi. Akibat komplikasi itu, pada 16 Juni 1970, Soekarno mengalami kritis dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.

Hari demi hari, kesadaran Bung Karno menurun drastis. Lima hari usai mendapatkan perawatan intensif, Putra sang Fajar itu akhirnya berpulang ke pangkuan Tuhan, tepat ketika matahari menyinari bumi pada 21 Juni 1970. Kemudian ia pun dimakamkan di Blitar, dekat dengan makam ibunya (Nurisma)