Sejarah Transmigrasi

Jejak Pemerataan Penduduk di Indonesia dalam Hari Bhakti Transmigrasi

Tepat tertanggal 12 Desember 1950, pemerataan penduduk di Indonesia pertama kali dilakukan. Riwayat ini tercatat sebagai Hari Bhakti Transmigrasi

Transmigrasi dimulai sejak 12 Desember 1950. Foto; Dok. Harapan Rakyat.

apahabar.com, JAKARTA – Tujuh puluh dua tahun silam, tepat tertanggal 12 Desember 1950, pemerataan penduduk di Indonesia pertama kali dilakukan. Riwayat ini tercatat sebagai Hari Bhakti Transmigrasi.

Kendati baru direalisasikan pascakemerdekaan, istilah transmigrasi kali pertama dikemukakan Presiden Soekarno pada 1927 dalam Harian Soeloeh Indonesia. Program pemerataan serupa bahkan sudah eksis sejak zaman kolonial.

Tepatnya pada 1905, Pemerintah Belanda kala itu menyebutnya sebagai kolonisasi. Program tersebut, mulanya, ditujukan bagi 155 keluarga dari Bagelan, Karesidenan Kedu untuk dikirim ke Gedongtataan, Lampung. 

Sebanyak 815 orang itu menumpangi kapal uap yang bersandar di Tanjung Priok. Setibanya di Tanah Sumatra, mereka berjalan kaki selama dua hari, mengingat tak ada kendaraan bermotor untuk mengangkut ratusan orang ini.

Tak berselang lama usai menginjakkan kaki di Gedongtataan, mereka mulai membuka lahan. Setengah hari bekerja mengurus lahan untuk kepentingan kolonial, lalu setengah harinya lagi mengurusi kebun karet milik sendiri.

Orang-orang Jawa yang disebut kolonisten itu lantas membangun kampung dinamai Bagelen pada 1912. Sampai dengan 1930-an, upaya untuk melakukan perpindahan yang disponsori Pemerintah Belanda terus berlangsung.

Program tersebut sempat dihentikan ketika Jepang menguasai Indonesia pada 1942. Namun selepas merdeka, program ini kembali dilanjutkan, dimulai dengan rencana Bung Karno yang ingin memindahkan 31 juta orang dalam jangka waktu 35 tahun.

Sempat Jadi Program ‘Gagal’

Pada 1951, target yang mengakar dari pemikiran Soekarno itu ditambah menjadi 49 juta orang. Namun, skema demikian sempat jadi angan-angan semata; kondisi politik dan ekonomi saat itu yang tengah gonjang-ganjing membuat program transmigrasi tidak memungkinkan.

Kegagalan program transmigrasi pada 1950-an ini menyadarkan pemerintah untuk menentukan target lebih realistis. Sekira satu dekade setelahnya, atau mulai 1961 sampai 1969, pemerintah menargetkan 1,56 juta orang.

Lagi-lagi, target itu tak terealisasi. Pada kenyataannya, hanya 174 ribu orang yang mengikuti program transmigrasi. Rohani dalam jurnal Revitalisasi Program Transmigrasi (2013) bahkan menilai hal tersebut sebagai sebuah ‘kegagalan.’

Meskipun mengalami banyak kegagalan, program transmigrasi yang dicanangkan Soekarno itu diwariskan ke rezim Orde Baru. Pemerintahan Soeharto melanjutkan kembali program ini dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun yang Pertama (Repelita I). 

Bak deja vu – kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang tengah bergejolak membuat transmigrasi seolah dikesampingkan. Terlebih saat krisis ekonomi melanda, program pemerataan penduduk ini juga ikut tersendat. 

‘Imbalan’ bagi Transmigran

Pemerintah Indonesia, dari rezim ke rezim, terus berupaya menggenjot transmigrasi dengan berbagai cara. Salah satunya, memberikan ‘imbalan’ bagi transmigran, seperti yang tertuang dalam target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

Mantan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, sempat membuat kebijakan revitalisasi kawasan transmigrasi. Ini berarti, wilayah transmigrasi dan sekitarnya harus sama-sama tumbuh dan sejahtera.

Warga yang mengikuti program transmigrasi akan diberikan fasilitas berupa rumah hunian, tanah dua hektare, serta sarana pascapanen. Barangkali berkat segudang ‘iming-iming’ itu, transmigrasi sukses mendorong pertumbuhan ekonomi luar Jawa.