Kisah Penghayat Kepercayaan

Jejak Para Penghayat Kepercayaan di tengah Pemilu dan Kesenian

Cerita para penghayat kepercayaan di Magelang jelang Pemilu 2024. Satu hal yang menyatukan mereka adalah kesenian.

Prosesi Umbul Donga peribadahan Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa se Kabupaten Magelang, 7 Januari 2023. Foto: Apahabar.com/Arimbi

Para penghayat kepercayaan kini telah diberi keleluasaan dalam mengisi kolom agama di KTP. Namun, kekhawatiran kembali muncul jelang Pilpres 2024. Mereka bingung memilih pemimpin yang mau memperhatikan nasib para penghayat selanjutnya. Kesenian rakyatlah yang bisa mengambil hati para penghayat dan menyatukan semuanya.

Arimbi Haryas, MAGELANG

Gerak rampak para penari diiringi sorai para penonton meramaikan suasana lereng Gunung Merbabu. Musiknya menggema ke seluruh penjuru, memanggil para penikmat seni yang siap hadir dengan menggebu.

Tanah lapang yang biasanya sepi, kini penuh. Dibalut pakaian megah dan nuansa warna merah, mereka berjalan searah.

Tari dan musik kesenian rakyat, masih menjadi pemersatu umat yang melekat di hati masyarakat. Sebab, kesenian rakyat bisa dinikmati semua kalangan tanpa melihat suku, agama, ras, dan golongan.

Hal itu jugalah yang dirasakan Joko (30). Dia merupakan seorang warga di Dusun Gratan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.

Sebagai warga penganut penghayat kepercayaan yang tinggal di tengah kaum Muslim, Joko merasa bahwa perbedaan bisa melebur dalam pertunjukan kesenian rakyat. Sebab, kesenian rakyat seperti Soreng, Jathilan, hingga ketoprak tak menuntutnya untuk percaya pada suatu ajaran.

Kesenian hanya memintanya melihat pertunjukan dan keseharian masyarakat yang dituangkan dalam panggung pementasan. Sama halnya ketika membaur di tengah penonton kesenian rakyat, tak ada yang berbicara tentang dunia dan akhirat.

Baca Juga: Kisah Tri Suseno, Penghayat Kepercayaan asal Solo

Kehidupan Keluarga Penghayat Kepercayaan

Ayah, Ibu, dan adik-adik Joko juga memeluk penghayat kepercayaan secara turun-temurun. Mereka telah terbiasa hidup di lingkungan mayoritas agama Islam.

Tak jauh dari rumahnya, berdiri beberapa pondok pesantren yang mencetak santri-santri terkenal di Indonesia.

Kendati demikian, Joko dan keluarganya pernah mendapat sindiran kecil dari masyarakat sekitar terkait keyakinannya.

"Pernah dibilang ra ndue agama (tidak punya agama), kafir, tapi lama-lama kebal juga," kata Joko saat ditemui apahabar.com, Senin (1/1).

Joko kecil pernah kebingungan mengisi kolom agama pada lembar pendaftaran sekolah. Tak jarang dia terpaksa mengikuti pelajaran agama mayoritas lantaran tak ada guru tang bisa mengajarkan penghayat kepercayaan.

Joko pun teringat akan ucapan temannya yang  menyebutnya "wong ra cetho, ra nggenah, kampungan (orang tidak jelas asal usulnya),” kata Joko meniru kata-kata temannya dulu.

Kini, Joko pun tak mempermasalahkan hal itu. Sebab, sebagian orang masih belum memahami penghayat kepercayaan. Terlebih anak-anak.

"Masih kecil, jadi belum tahu kalau seperti itu termasuk bullying. Ayah saya juga selalu meyakinkan kalau tidak apa-apa menjadi berbeda dengan yang lain," bebernya.

Menurut Joko, semakin ia menyembunyikan identitasnya, maka semakin besar tekanan dari masyarakat untuk 'bergabung' dengan agama mayoritas.

Karenanya, alih-alih menjadi kaum Islam abangan atau kejawen, Joko dan keluarganya terang-terangan mengaku menganut agama penghayat kepercayaan dan menuliskannya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Bagi Joko, penghayat kepercayaan bukan berarti meyakini tidak adanya Tuhan.

"Kami percaya bahwa hidup ada yang menciptakan, ada yang membuat, ada zat yang 'mengadakan' kehidupan. Itu dari Tuhan, manusia hanya sebatas menjalankan saja," kata Joko.

Bupati Magelang saat menghadiri acara penghayat Kepercayaan di Kabupaten Magelang, 7 Januari 2023. Foto: apahabar.com/Arimbi

Joko juga mengatakan bahwa dia tak kehilangan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dia tetap mendapat Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan berbagai bantuan lain.

“Bahkan saat Idul Adha, kami mendapat daging. Terutama sejak era Presiden Jokowi," kata dia.

Di luar rasa aman itu, Joko terkadang masih takut jika harus berbaur dengan dunia luar. Dia khawatir sebagian masyarakat belum bisa menerimanya.

Meski demikian, ketakutan tersebut tak membuat Joko dan keluarganya menarik diri. Mereka tetap datang dan berinteraksi untuk kepentingan tertentu.

"Kalau untuk nonton seni sorengan, jathilan, topeng ireng, kami datang. Karenq tidak ada tujuan lain, hanya mencari hiburan saja," bebernya.

Berbeda dengan Joko, warga lainnya bernama Warji (45) memilih untuk mengosongi kolom agama di KTP. Sebab, dia tidak menganut kepercayaan apapun.

"Alasannya dikosongi karena saya masih di tahap pencarian," kata Warji.

Meski berbeda dengan keluarga Joko yang mengisi kolom KTP, Warji punya kesamaan pendapat soal peran pemerintah era ini. Keduanya menilai bahwa semua keyakinan memiliki kedudukan yang sama.

Memasuki tahun politik, keduanya merasa partai politik (parpol) saat ini sudah dewasa. Sebagian parpol menarik simpati masyarakat dengan kegiatan yang general, seperti kesenian.

Sebagai penikmat seni, Warji dan Joko sempat bertemu dengan 2 pasangan calon presiden (capres) yang melakukan kunjungan ke Magelang. Capres itu memberi hiburan kesenian Soreng dan Topeng Ireng.

"Saya dan masyarakat sini selalu datang kalau ada tontonan seni seperti itu, jadi tidak lihat tamunya siapa. Niatnya cari hiburan saja," beber Warji.

Kesenian rakyat saat kunjungan Anies Baswedan bersama Muhaimin Iskandar di Magelang dalam rangkaian perayaan hari santri 23 Oktober 2023. Foto: apahabar.com/Arimbi

Melalui acara tersebut, Warji dan Joko juga mendapat berbagai informasi tentang latar belakang calon presiden. Serta visi misi hingga sederet janji yang diucapkan jika terpilih.

Sayangnya, Warji dan Joko menilai tidak ada satupun paslon yang menyebut tentang keberlangsungan dan perlindungan terhadap agama kepercayaan. Kondisi ini membawa kekhawatiran bagi Warji dan Joko.

"Narasi yang disebut banyak condong ke kaum mayoritas. Malah ada paslon yang punya riwayat otoriter, ada juga yang lekat dengan agama tertentu," jelas Warji.

Oleh karena itu, Warji mengaku tak menaruh banyak harapan pada 'Pesta Rakyat' Pemilu 2024. Saat ini, dia hanya ingin keyakinannya tetap terjaga dan tetap hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.

Baca Juga: Pertemukan Penghayat Kepercayaan, Festival Budaya Spiritual Bakal Digelar di Solo

Pemerintah Buka Suara

Keresahan itu ditanggapi oleh perangkat desa setempat. Salah satunya, Camat Pakis, Rahmat Pambudi yang berkomitmen untuk mengakomodasi setiap warga dengan keberagamanya. Termasuk warga dengan penghayat kepercayaan.

"Di daerah Pakis dan Sawangan ada lebih dari 100 orang penghayat kepercayaan, sebagian sudah mengajukan pembaharuan KTP,” tutur Rahmat.

Dia juga menyebut bahwa pemerintah juga terus melakukan evaluasi terkait fasilitas pendidikan. Khususnya guru untuk siswa-siswi penganut agama kepercayaan.

“Sekarang sudah diakomodir dari pemangku agamanya dan relawan. Untuk pengangkatan guru juga harus menunggu instruksi dari pusat dan dinas terkait,” papar dia.

Kesenian rakyat topeng ireng pada kunjungan Ganjar Pranowo dalam rangkaian safari politik di Magelang 17 Desember 2023. Foto: apahabar.com/Arimbihp

Antusias Penghayat Kepercayaan pada Pemilu 2024

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Magelang Waluyo (35) memastikan bahwa sebagian penganut agama kepercayaan sudah menggunakan hak pilihnya.

"Mereka diperlakukan sama,” ucap Waluyo.

Menanggapi kasus tersebut, sosiolog Mokhamad Zainal Anwar memahami bahwa kekhawatiran penghayat kepercayaan. Namun, dia optimis bahwa kekhawatiran itu bisa diminimalisir.

Menurut Zainal, respon negatif seperti persekusi dan diskriminasi hanya terjadi apabila ada gesekan dari kaum marginal dan minoritas. Gesekan tersebut bisa memanas jika tokoh masyarakat dan pemerintah membiarkan.

"Kalau untuk saat ini bisa dipastikan keberpihakan akan lebih besar kepada kaum mayoritas. Saat pemilu, mereka (caleg dan capres) sedang mencari suara," kata dia.

Misalnya Jawa Tengah (Jateng) yang menjadi battle ground para paslon. Karenanya, hampir semua daerah di Jateng dikunjungi.

Namun, dia menilai bahwa kecil kemungkinan para politisi menyusup untuk mencari suara melalui kelompok penghayat  kepercayaan maupun kaum marginal. Sebab, jumlahnya sangat kecil.

"Sekali lagi karena fokusnya masih cari suara, sementara kaum marginal ini tidak memiliki masa atau pengaruh yang besar," imbuhnya.

Berkaca dari banyak kasus, pemimpin baru bisa mengadaptasi kebijakan dari tokoh sebelumnya. Terlebih yang dinilai relevan atau memiliki dampak positif.

"Kuncinya menekan adanya gesekan dari masing-masing pihak, selama tidak saling mengusik, risiko untuk saling mendominasi atau terjadi konflik lebih kecil," pungkasnya.

Liputan ini bagian dari fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berkolaborasi dengan apahabar.com untuk tema Verifikasi Disinformasi Isu Minoritas Jelang Pemilu