Jejak Kematian Mahatma Gandhi yang Sisakan Hari Kusta Sedunia

Kematian Mahatma Gandhi mengetuk pintu hati Raoul Follereau untuk menggagas Hari Kusta Sedunia

Ghandi merawat kawannya, Parchure Shastri, yang terjangkit penyakit kusta (Foto: dok. Ekspedisi Difabel)

apahabar.com, JAKARTA - Mahatma Gandhi begitu diagungkan oleh masyarakat India, bahkan dunia, atas kegigihannya menentang penindasan. Sampai ajal menjemput pun, sosoknya terus memprakarsai peringatan untuk melawan ketidakadilan, sebut saja Hari Kusta Sedunia.

World Leprosy Day, begitu nama lainnya, bertujuan menyerukan perlawanan atas stigma serta diskriminasi terhadap penyintas penyakit kusta. Momen itu diperingati setiap minggu terakhir di bulan Januari, di mana tahun ini jatuh pada Minggu (29/1).

Kampanye tersebut bermula dari gagasan seorang aktivis kemanusiaan asal Prancis, Raoul Follereau. Pintu hatinya terketuk kala mengingat kisah Mahatma Gandhi yang berbelas kasih kepada penderita kusta.

Sang pencetus gerakan Satyagraha itu, boleh jadi, hanyalah satu dari segelintir orang yang peduli dengan penyintas kusta. Sebagian besar masyarakat lainnya kerap mendiskriminasi mereka.

Penderita kusta dilarang menunjukkan eksistensinya di tempat umum, seperti pabrik, rumah ibadah, dan sebagainya. Mereka pun harus berjarak dengan orang yang sehat, bahkan saat makan bersama keluarga sendiri. 

Tak berhenti di situ, masih ada sederet larangan lain yang ditujukan bagi penderita kusta kala itu. Di antaranya, tidak boleh mendekati sumber air sekaligus diharamkan melewati jalan-jalan sempit.

Persahabatan Gandhi dan Penderita Kusta

Gandhi memiliki belas kasih yang tak terbatas di sepanjang hidupnya untuk orang-orang yang terkena penyakit kulit ini. Dia bahkan sudah mengenal orang-orang yang terinfeksi kusta sejak masih kecil. 

Salah satu kawan dekatnya, Parchure Shastri, adalah pengidap kusta. Ketika keduanya dipenjara karena alasan politik, Gandhi tak pernah kehilangan akal untuk berkomunikasi dengan sosok terpelajar itu.

Dalam sebuah suratnya kepada Shastri, Gandhi bahkan mengingatkan sahabatnya untuk memintal benang wol. Benang ini nantinya digunakan untuk membersihkan luka-luka kusta yang dialami Shastri.

Persahabatan mereka masih berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Shastri, suatu ketika, mengunjungi Gandhi di biaranya (ashram) di Sevagram. Gandhi dilema, apakah dia harus membiarkannya tinggal, mengingat saat itu tidak ada obat kusta yang tersedia.

Dia khawatir penyakit yang diidap sahabatnya itu bisa menular ke penghuni biara lainnya, termasuk anak-anak. Gandhi lantas menyampaikan kerisauan ini pada temannya di biara: mereka ternyata bersedia menerima Shastri.

Sebuah pondok untuk Shastri pun dibangun. Pondok ini sekaligus menjadi tempat Gandhi akan merawat luka-luka dan memperhatikan kualitas makanan juga pola makannya. Dia juga tertarik mempelajari sebab-sebab terjadinya kusta.

Berkat kegigihannya merawat Shastri, sahabatnya itu pun pulih dari penyakit kusta dengan baik. Semenjak itu, Gandhi terus merawat dan menjamu orang-orang yang terkena kusta di rumahnya.

Mengingat kebaikan Mahatma Gandhi yang amat berharga bagi penyintas kusta, sosoknya menginspirasi Follereau. Si pegiat kemanusiaan ini lantas menjadikan hari Minggu di pekan terakhir bulan Januari sebagai Hari Kusta Sedunia. 

Peringatan tersebut mulanya bertepatan dengan hari kematian Gandhi, yakni pada 30 Januari 198. Tujuan Hari Kusta Sedunia pada masa itu dan kini masih sama: sebagai bentuk gerakan meniadakan diskriminasi untuk penderita kusta.

Serba-Serbi Penyakit Kusta

Penyakit kusta sendiri rupanya sudah eksis sejak awal tahun 1400 SM di India. Melansir laman Medindia, penyakit kuno ini diketahui juga menyerang penduduk di China dan Mesir. 

Kusta di Mesir muncul sejak tahun 4000 SM, sedangkan di Tiongkok mulai ada sejak tahun 600 SM. Kemungkinan, bibit penyakitnya menyebar melalui Sungai Nil serta kebiasaan makan yang tidak higienis.

Penularan kusta kian menyebar sampai Eropa. Pada abad ke-13, Inggris Raya terjangkit. Saking banyaknya jumlah penderitanya, kusta telah memenuhi persyaratan untuk disebut pandemi pada masa itu.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penderita kusta seringkali menjadi bulan-bulanan. Sebab, tak sedikit yang menganggap gangguan ini sebagai penyakit keturunan, bahkan kutukan.

Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Dali Amiruddin, dalam Penyakit Kusta: Sebuah Pendekatan Klinis menyebut kusta menyerang susunan saraf tepi. Kemudian, penyakit ini menyerang kulit, mukosa, saluran napas, saluran retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta tergantung jumlah atau virulensi M.leprae, serta daya tahan tubuh manusia. Di samping itu, juga berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, kesadaran sosial, dan lingkungan.