Jejak Adani Di Indonesia

JATAM: Pulau Bunyu Seperti 'Toilet' Tambang

Kepala Divisi Hukum Nasional Jatam Muhammad Jamil menyebut Pulau bunyu kini menjadi toliet tambang.

situasi Pulau Bunyu di Kaltara. (Foto: apahabar.com/dok. Jatam untuk apahabar)

apahabar.com, JAKARTA - Kepala Divisi Hukum Nasional JATAM Muhammad Jamil menyebut Pulau Bunyu kini menjadi toliet tambang. Hal itu karena aktivitas tambang telah mengakibatkan gagal panen dan krisis air bersih.

"Setiap hari sungai dan lautnya dicemari limbah beracun dari tambang yang tidak bertanggung jawab termasuk Lamindo yang terafiliasi dengan Adani," ungkap Jamil saat dihubungi apahabar.com, Kamis (23/2).

Sebagai informasi, Pulau Bunyu merupakan bagian dari salah satu kecamatan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara). Pulau itu ramai menjadi sorotan pasca jejak Adani diketahui publik ada di pulau kecil tersebut. Pulau kecil yang memiliki luas 198,32 kilometer persegi itu dikelilingi oleh tambang batu bara.

Padahal, sesuai ketentuan, pulau kecil seperti Bunyu tidak diizinkan untuk kegiatan pertambangan. Saat ini, berdasarkan data JATAM, terdapat sedikitnya enam perusahaan tambang batu bara yang masih beroperasi di Bunyu, salah satunya milik PT Lamindo atau partner lokal Adani Global.

Baca Juga: Pulau Bunyu Terancam, Jatam: Imbas Ketamakan Pemerintah

Terbaru, menurut JATAM, tanggul limbah milik salah satu perusahaan pertambangan batu bara di Bunyu, tepatnya di Desa Bunyu Barat jebol. Akibatnya, air limbah beracun bercampur lumpur dan pasir mengalir keluar.

Limbah telah menenggelamkan permukiman warga. Sebanyak100-an Kepala Keluarga (KK) petani dan nelayan menjadi korban atas peristiwa tersebut.

"Berdasarkan data yang dihimpun pihak kami (Jatam) hingga kini, 06 februari 2023, limbah masih terus mengalir dari lubang tambang perusahaan batu bara tersebut," terang Jamil kepada reporter apahabar.com.

Selain itu, puluhan hektar lahan kebun warga rusak, 45 rumah rusak, tanaman hancur, termasuk bangunan 6 (enam) buah sarang burung walet warga dan tanah kebun tertimbun air bercampur lumpur, yang sebagian berpasir.

Baca Juga: Kongkalikong Polisi di Balik Tambang Ilegal, JATAM: Bukan Barang Baru!

Di kawasan pesisir pantai hingga laut juga sama. Limbah beracun milik PT. SPP telah mencemari kawasan tersebut. Menurut kesaksian warga, sepanjang garis pantai sejauh 6 Km di Desa Bunyu Barat merasakan dampaknya.

"Secara kasat mata terlihat dari warna air laut yang berubah mencapai jarak 1-2 Mil kelaut," pungkas Jamil.

Salah Pemerintah

Kepala Divisi Hukum Nasional Jatam Muhammad Jamil menyebut hal itu akibat kesalahan masa lalu dan kecerobohan pemerintah yang memberi izin serampangan tanpa pernah dikoreksi.

"Kerakusan pengurus negara bersama pelaku bisnis pertambangan, seolah tak pernah puas menumpuk kekayaan dengan cara mengeruk cadangan tambang dari yang tersisa dari perut bumi," ujar Jamil kepada apahabar.com saat dihubungi, Rabu (22/2) Sore.

Baca Juga: Tambang Adani di Bunyu Sebabkan Trauma Kolektif dan Berkurangnya Batas Negara

Lebih lanjut, terang Jamil, pelaku bisnis pertambangan selalu difasilitasi melakukan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil Indonesia. Akibatnya, banyak pulau kecil yang tenggelam.

"Seolah pulau kecil yang telah tengelam hanya deretan angka statistik belaka, sebagaimana catatan Departemen Kelautan dan Perikanan pada 2005- 2007, setidaknya 24 pulau kecil Indonesia telah tenggelam," terangnya.

Mayoritas pulau yang tenggelam disebabkan oleh abrasi, bencana tsunami dan diperburuk oleh ulah manusia yang membiarkan kegiatan pertambangan terus berlangsung.

Berkurangnya Batas Negara

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai aktivitas pertambangan Adani Group di Bunyu telah menyebabkan trauma kolektif terhadap seluruh kehidupan di pulau tersebut.

Baca Juga: Gurita Adani, Praktik Short Selling dan Aksi Serangan Balik

Tidak hanya menyebabkan trauma kolektif, aktivitas tambang juga berdampak terhadap batas luas negara.

"Selain trauma kolektif, kerusakan lingkungan yang meluas mengalir ke laut tanpa batas," ujarnya di Jakarta, Rabu (22/2).

Hal itu, menurut Jamil, turut mempengaruhi titik batas luas negara. "Titik batas akan bergeser karena yang dihitung adalah letak atau lokasi daratan terluar," terangnya. 

Akibatnya, batas negara ikut berubah oleh aktivitas pertambangan, utamanya PT Lamindo Multikon yang merupakan perpanjangan tangan Adani Group.