Kalsel

Jalan Panjang Trauma Healing Korban Pencabulan Ponpes Limpasu HST

apahabar.com, BANJARMASIN – Pemulihan trauma para korban pencabulan di Pondok Pesantren (Ponpes) Limpasu, Kabupaten Hulu Sungai…

AJM, terdakwa pencabulan sejumlah santriwati meninggalkan ruang sidang Pengadilan Negeri Barabai, Kamis siang. Foto-apahabar.com/HN Lazuardi

apahabar.com, BANJARMASIN – Pemulihan trauma para korban pencabulan di Pondok Pesantren (Ponpes) Limpasu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), menemui jalan terjal.

Sempat menjalani pendampingan, sejumlah korban dikabarkan berhenti mengikuti program trauma healing yang diberikan Pemkab HST.

Walhasil, Pemprov Kalsel bakal meminta Pemkab HST untuk menjemput korban. Itu demi pemulihan kondisi psikis dan masa depan korban.

Ada sembilan santriwati di pondok pesantren Limpasu diduga jadi korban asusila oknum Pengasuh Ponpes Limpasu bernama Ahmad Junaidi Mukti (AJM)

Sejatinya mereka harus minimal delapan kali mengikuti pertemuan konseling. Namun sejauh ini ada saja beberapa yang berhenti datang. Tepatnya setelah pertemuan kedua.

“Jadi ini nanti perlu dilakukan penjemputan, kenapa jadi tidak datang lagi, alasannya apa. Nah itu perlu diketahui lebih lanjut,” ujar Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kalimantan Selatan (DP3A Kalsel), Husnul Khatimah kepada apahabar.com, usai Seminar Nasional di Universitas Lambung Mangkurat, Rabu (02/10) siang.

DP3A belum mengetahui pasti alasan para korban tak mengikuti program pemulihan.

DP3A turut menyangkan mengingat proses pemulihan psikis para korban memerlukan proses yang tidak mudah dan memakan waktu lama.

Trauma akibat pencabulan jelas memengaruhi psikologis korban. Terlebih menimpa anak di bawah umur.

“Memang anak-anak yang langsung melihat dan mengalami kejadian kekerasan secara langsung akan berpengaruh terhadap psikologis anak tersebut,” ungkap Husnul.

AJM sendiri kini mendekam di balik jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan bejatnya.

Sementara proses hukum masih bergulir, para korban harus merasakan trauma mendalam.

Rata-rata mereka tak memilih melanjutkan pendidikan di ponpes itu. Pantauan apahabar.com, dua dari sembilan korban memilih pindah ke Ponpes di Kabupaten Hulu Sungai Utara.

“Ini perlu diberikan trauma healing oleh psikolog yang ada di sana. Dalam prosesnya tidak bisa instan, perlu tahapan yang panjang,” paparnya.

Menurut Husnul, petugas yang melakukan proses trauma healing juga harus orang-orang yang teruji. Yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada anak.

“Supaya anak-anak tidak ada rasa takut terhadap trauma healing tadi,” kata dia.

Pihaknya akan terus melakukan pemantauan melalui laporan yang diterima dari DP3A HST.

Namun, dia sedikit menyangsikan proses trauma healing akan memberikan pengaruh yang efektif terhadap anak.

“Apakah trauma healingnya itu bisa tuntas atau ibaratnya selesai sampai sembuh? Kita tidak tahu,karena yang namanya pendampingan itu harus berulang-ulang,” pungkasnya

Dirinya meminta petugas konseling untuk bertindak proaktif dalam mendampingi korban agar mereka lebih semangat dan tidak berhenti untuk dilakukan trauma healing.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kalimantan Selatan (DP3A Kalsel), Husnul Khatimah. Foto-apahabar.com/Musnita Sari

Baca Juga: Pengasuh Ponpes Limpasu HST Bantah Cabuli Para Santriwati

Baca Juga: Terdakwa Pencabulan 9 Santriwati di Limpasu Sempat Dikeluarkan dari Ruang Sidang

Baca Juga: Sidang Kasus Limpasu HST, Ortu Korban Ingin Terdakwa Dikebiri!

Baca Juga: Sidang Perdana, Ortu Korban Pencabulan Limpasu HST Tak Dikabari?

Baca Juga: Sidang Perdana, Oknum Pengasuh Cabul Ponpes Limpasu Didampingi 2 Istri

Reporter: Musnita SariEditor: Fariz Fadhillah