22 Desember

Jalan Kelabu Anna Jarvis Perjuangkan Hari Ibu

Hari Ibu seringkali identik dengan memberikan hadiah berupa bunga atau kartu ucapan. Sebenarnya, bukan selebrasi seperti itu yang diharapkan Anna Jarvis

Sosok Anna Jarvis di balik perjuangan Hari Ibu. Foto: CNN.

apahabar.com, JAKARTA - Hari Ibu seringkali identik dengan memberikan hadiah berupa bunga atau kartu ucapan. Sebenarnya, bukan selebrasi seperti itu yang diharapkan Anna Jarvis kala mencetuskan peringatan untuk ibu.

Wanita kelahiran 1 Mei 1964 di West Virginia itu merupakan sosok yang memperjuangkan Hari Ibu sebagai bentuk dedikasi kepada sosok yang melahirkannya. Komitmen tersebut, boleh dibilang, bermula dari rasa ‘penyesalan.’ 

Di penghujung usia sang ibu, keduanya bertengkar dan belum sempat berdamai. Dia lantas berjanji di depan nisan sosok yang melahirkannya untuk mendedikasikan hidup bagi ibu-ibu lain di seluruh dunia.

Upaya demi upaya terus dia lakukan agar gagasan Hari Ibu bisa terealisasi. Salah satunya, menyumbangkan 500 tangkai Anyelir Putih pada 1907 untuk jemaat kaum ibu di Gereja St. Andrew Methodist Episcopal di Grafton, West Virginia – tempat ibunya dulu beribadah.

Selang setahun kemudian, Anna mencoba langkah yang makin berani; dirinya menyurati media massa, politisi, dan tokoh berpengaruh untuk meminta dukungan agar peringatan tersebut bisa diadopsi ke kalender nasional Amerika Serikat.

Beberapa tokoh yang dia surati adalah Presiden Teddy Roosevelt, politisi Nebraska William Jennings Bryan, penulis novel tersohor Mark Twain, dan mantan General Postmaster John Wanamaker.

Surat-surat itu pun berbuah manis. Wanamaker kembali menuliskan, “Mungkin kita dapat memberikan segenap hati untuk Hari Ibu, karena itu bakal jadi salah satu hari yang paling indah di dalam hidup kita.”

Twain turut memberi respons serupa. Dia bahkan menulis pendapatnya soal Hari Ibu di koran-koran Philadelphia dan New York. Alhasil, pada Mei 1908, peringatan itu pertama resmi dirayakan di gereja Metodis di Grafton, Virginia Barat.

Empat tahun selanjutnya, atau pada 1912, sejumlah kota, negara bagian, dan gereja mulai mengadopsi Hari Ibu sebagai acara tahunan. Anna pun membentuk Asosiasi Internasional Hari Ibu untuk memperkuat gaung gerakannya.

Dua tahun kemudian, kegigihan Anna terbayarkan. Presiden Amerika Serikat kala itu, Woodrow Wilson, meresmikan Senin kedua tiap Mei sebagai Hari Ibu di negaranya.

Anna, mulanya, berharap orang-orang bakal memperingati Hari Ibu dengan memakai anyelir bunga putih di bajunya dan mengunjungi ibunda tercinta. Atau, pergi ke tempat ibadah untuk mendoakan sang ibunda apabila dia sudah tiada.

Aji Mumpung Kapitalis

Sayangnya, ekspektasi Anna yang demikian tak kesampaian. Seiring berjalannya waktu, makna Hari Ibu kian bergeser; dari yang semula kaya intimasi batin antara ibu dan anak, malah beralih jadi konsumerisme massal.

Hari Ibu tak lagi sakral. Peringatan ini menjadi ‘aji mumpung’ bagi para pelaku bisnis untuk mengais pundi-pundi dengan menjual kartu ucapan, bunga, permen, atau berbagai macam hadiah lain.

Sang pencetus Hari Ibu pun kecewa bukan kepalang. “Kalian menggunakan ide Hari Ibu untuk mencari keuntungan," kata Anna kecele, seperti dikutip dari New York Times, Rabu (22/12).

Perasaan Anna yang demikian memang bisa dimaklumi. Bagaimana tidak, pada masanya, pemilik toko bunga, toko permen, dan kartu ucapan menjajakan barang dengan gimik Hari Ibu.

Usaha tersebut laku keras, sekaligus menciptakan pandangan bahwa barang-barang itu wajib dibeli tiap orang yang ingin merayakan Hari Ibu. Anna pun tak segan meminta para pelaku bisnis itu untuk menghentikan aji mumpungnya.

Dia bahkan menyerukan ajakan untuk memboikot toko bunga yang menaikan harga anyelir. Kritik demi kritik dia lancarkan kepada para pelaku bisnis, tak terkecuali Wanamaker, orang yang pertama kali membantu terwujudnya Hari Ibu.

Sayang, usaha Anna tak membuahkan hasil. Dia tidak dapat menghentikan perayaan Hari Ibu yang kadung menjadi ‘sapi perah’ keuntungan para pelaku bisnis – yang bahkan masih melanggeng hingga kini.