Politik

Jadi Gubernur Butuh Rp100 Miliar, Rosehan: Saya Tak Punya Uang

apahabar.com, BANJARMASIN – Tingginya ongkos politik untuk menjadi kepala daerah ditanggapi dingin bakal calon gubernur di…

Mantan wakil gubernur Kalimantan Selatan Rosehan NB (dua dari kiri). Foto-Dok. apahabar.com

apahabar.com, BANJARMASIN – Tingginya ongkos politik untuk menjadi kepala daerah ditanggapi dingin bakal calon gubernur di Kalimantan Selatan (Kalsel), Rosehan Noor Bachri.

Menurut eks Wakil Gubernur Kalsel itu, mahal atau murahnnya cost politics bergantung dari bakal calon bersangkutan.

"Saya ini pernah menjadi pemain, pemenang, dan pihak yang dikalahkan. Jadi lebih tahu seluk-beluknya," ucap Rosehan kepada apahabar.com, Rabu (14/7).

Sebenarnya, kata dia, tidak ada ongkos politik yang mahal, kecuali jika dipaksa untuk membayar.
Modalnya hanya komitmen awal untuk bersama-sama membangun daerah.

"Cukup itu saja, tidak ada biaya lebih. Buat apa banyak keluar duit? Artinya ada niat jahat di belakangnya untuk mengembalikan uang yang telah dipakai," beber Rosehan.

Ongkos Politik Mahal, Paman Birin-Muhidin Terancam Melawan Kotak Kosong

Dari berstatus sebagai kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hingga PDI Perjuangan, Rosehan mengklaim tidak pernah membayar. Pun, pada ajang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 kemarin.

Sebagai kader, anggota aktif DPRD Kalsel itu lebih memperhatikan tingkat kredibilitas dan keterpilihan. Sehingga masyarakat melihat dari bobot dan bibitnya sebagai pemimpin.

"Mungkin ada sebagian orang atau oknum yang membeli partai. Kalau kader, buat apa membeli partai. PDI Perjuangan tidak ada seperti itu," cetusnya.

Terkait biaya pemenangan, sambung dia, PDIP sendiri berkomitmen untuk keroyokan sesuai dengan moto gotong-royong.

"Masyarakat jangan memilih saya jika harus membayar. Berapa kali jadi kepala daerah dan anggota DPRD Kalsel, saya tidak pernah bayar. Ngapain bayar? Kalau senang pilih, kalau tidak, ya enggak papa. Berarti masyarakat lebih senang duit," cetusnya.

Ke depan, Rosehan hanya mengikuti irama dari parpol. Mengingat, ia telah melamar ke sejumlah parpol seperti PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Gerindra.

"Mereka telah melakukan pemanggilan. Intinya kalau mereka meminta saya membayar, saya tidak punya uang," pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berencana mengevaluasi pemilihan kepala daerah secara langsung.

Salah satu alasan adalah tingginya ongkos yang dibutuhkan kandidat untuk menjadi kepala daerah.

“Untuk jadi kepala daerah, untuk jadi bupati, kalau enggak punya Rp30 miliar, enggak berani. Gubernur lebih lagi. Kalau ada yang mengatakan enggak bayar, nol persen, saya pengen ketemu orangnya,” ujarnya Tito kala rapat bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, akhir tahun kemarin, dilansir CNBC Indonesia.

Sementara dilihat pemasukan dari gaji menjadi kepala daerah, kata dia, tentu tak sebanding.

“Rp 200 juta kali 12 (bulan), Rp 2,4 (miliar), lima tahun Rp 12 miliar, keluar Rp 30 miliar. Mana mau tekor? Kalau dia mau tekor saya hormat sekali. Itu berarti betul-betul mau mengabdi buat nusa-bangsa. Tapi dari 1.001 mungkin ya ada,” jelas mantan kapolri itu.

Khusus untuk gubernur, survei yang digelar Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri selepas pilkada tahun 2015 menyebut untuk menjadi gubernur membutuhkan dana berkisar antara Rp20 miliar hingga Rp100 miliar.

Jadi Gubernur Butuh Rp100 Miliar, Rosehan: Saya Tak Punya Uang

Editor: Fariz Fadhillah