Penembakan Kantor MUI

Istri Penembak Kantor MUI Akui Miliki Harta Hampir Rp1 Miliar

Istri pelaku penembakan Kantor Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI), Laila Dewi mengaku sumber kekaayaan senilai hampir Rp1 miliar didapatkan dari pemberian anak

Pria dengan inisial M (60) Pelaku Penembakan di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Menteng, Jakarta Pusat, mengirim surat ke ketua MUI, Selasa 2 Mei 2023. Foto: apahabar.com/Andrew Tito

apahabar.com, JAKARTA - Istri pelaku penembakan Kantor Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI), Laila Dewi mengaku sumber kekaayaan senilai hampir Rp1 miliar didapatkan dari pemberian anak-anaknya.

"Menerangkan bahwa dana yang ada di rekening suami saya atas nama Mustopa NR dengan nomor rekening 579701006816532. Dana di rekening tersebut berasal dari anak saya," kata Laila, Jumat (5/5).

Baca Juga: Sssttt.. Harta Penembak Kantor MUI Nyaris Miliaran

Laila menerangkan ketiga anaknya yang bekerja di luar negeri kerap mengirimkan sejumlah uang secara rutin medio 2014 hingga 2023.

"Yang pertama Hediansyah yang bekerja di Korea Selatan. Kedua Fauziah yang bekerja di Taiwan. Ketiga Lidya Sartika yang bekerja di Hongkong," ujarnya.

"Pengiriman uang tersebut dimulai dari tahun 2014 sampai sekarang," tambahnya.

Baca Juga: 19 Saksi Diperikasi Polisi Terkait Penembakan di Kantor MUI

Diketahui, meski berstatus petani, pelaku penembakan di kantor pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI), Mustopa NR memiliki harta kekayaan mencapai Rp800 juta.

Hal tersebut diungkap oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dilihat juga dari penerimaan transfernya mencapai Rp200 juta. 

Mendapati temuan tersebut, penyidik langsung menelusuri kebenaran rekening tersebut. Termasuk berkoordinasi dengan instansi terkait, baik itu bank maupun PPATK.

"Penyidik harus melalui mekanisme peraturan Undang-Undang untuk melakukan proses penyidikan ini," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, Kamis (4/5).

Baca Juga: Penyebab Kematian Penembak Kantor MUI Tunggu Hasil Lab!

Namun, dikatakan Trunoyudo, dalam menyelidiki aliran dana, penyidik tidak bisa sembarangan. Apalagi ada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

"Ada proses waktu, ada instansi lain, tentunya ini juga harus melalui mekanisme sesuai dengan prosedur, mekanisme. Baik itu SOP dalam proses penyidikan, maupun mekanisme Undang-Undang yang berlaku," pungkasnya.