Kekerasan Aparat

IPW Kecam Tindakan Represif Polri Tangani Konflik Pulau Rempang

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso mengecam tindakan represif Polri dalam seteru konflik di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Sejumlah warga terlibat aksi saling dorong saat berunjuk rasa terkait rencana pengembangan Pulau Rempang dan Galang menjadi kawasan ekonomi baru di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (23/8/2023). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/Spt.

apahabar.com, JAKARTA - Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso mengecam tindakan represif Polri dalam seteru konflik di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Ia menyebut warga berhadapan dengan aparat lantaran menolak rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), Rempang Eco City.

"IPW merasa miris melihatnya," kata Sugeng, Jumat (8/9).

Baca Juga: ISESS Desak Pemerintah Usut Kekerasan Aparat ke Warga Pulau Rempang

Menurut Sugeng, sikap para aparat penegak hukum dalam peristiwa itu menunjukkan keberpihakan terhadap pengusaha. Dengan begitu, citra Korps Bhayangkara semakin tergerus di mata publik.

Pasalnya, tindakan dari aparat setempat dinilai sangat merugikan masyarakat yang mempertahankan tempat tinggal mereka. Terlebih anak-anak di bawah umur pun menjadi korban.

"Polisi akan mendapatkan dampak penilaian buruk oleh masyarakat bahwa polisi hanya berpihak kepada pengusaha atau pemodal," kata Sugeng menegaskan.

Baca Juga: Polisi Tangkap 8 Orang Usai Bentrok Pecah di Pulau Rempang Batam

"Apalagi kemudian timbul korban dari anak-anak sekolah yang terkena gas air mata karena upaya pemaksaan secara fisik," sambung dia.

Sebelumnya bentrokan antara polisi dengan warga Pulau Rempang, Batam, pecah pada Kamis (7/9) kemarin. Masyarakat setempat menolak rencana pembangunan proyek nasional Rempang Eco City.

Bentrok itu terjadi ketika petugas gabungan dari Polri, TNI, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP akan melakukan proses pengukuran untuk pengembangan kawasan tersebut oleh BP Batam.

Sebagian masyarakat adat menolak direlokasi imbas proyek ini karena khawatir akan kehilangan ruang hidup mereka.

Total ada 10.000 warga dari 16 kampung adat dilaporkan terdampak Rempang Eco City.