kendaraan listrik

Industri Baterai Belum Siap, Kendaraan Listrik Tingkatkan Nilai Impor

Presiden Joko Widodo sangat serius merealisasikan kebijakan pemberian insentif kendaraan listrik.

PLN menyiapkan infrastruktur kendaraan listrik di seluruh pelosok negeri. Foto-PLN

apahabar.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat serius merealisasikan kebijakan pemberian insentif kendaraan listrik. Namun, sejumlah ekonom mengkritisi kebijakan tersebut karena dikhawatirkan menyedot anggaran namun tidak memberikan manfaat karena berpotensi meningkatkan nilai impor.

Presiden Jokowi mengatakan, insentif itu masih dalam tahap pengkajian dan penghitungan di Kementerian Keuangan. Namun, ia memastikan yang akan diberikan terlebih dahulu adalah insentif untuk pembelian motor listrik sebab pembelian mobil listrik antreannya masih panjang.

Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai kendaraan listrik justru berpotensi meningkatkan nilai impor. Hal itu terjadi ketika linkage atau industri sektor hulu dan pendukungnya seperti industri baterai di Indonesia masih belum siap.

"Subsidi kendaraan listrik untuk mendorong masyarakat membelinya sudah bagus, tetapi apakah kesiapan industri pendukungnya sudah terjamin siap? " katanya saat dihubungi apahabar.com, di Jakarta, Sabtu (18/3).

Baca Juga: Ekonom Soroti Kelompok Ini yang Paling Diuntungkan dari Subsidi Kendaraan Listrik

Menurut Faisal, jika minat konsumsi masyarakat terhadap kendaraan listrik meningkat. Tetapi jika dari sektor hulu, tengah dan hilirnya masih belum sepenuhnya siap. Hal itu justru berpotensi meningkatkan nilai impor negara.

"Nah jadi hanya mendorong orang beli saja, tapi dengan pembelian yang lebih besar itu tidak mendorong industri dalam negerinya terutama komponen untuk industri baterai," katanya.

Lebih jauh, kata Faisal, "Hulunya itu bergerak karena itu tadi belum lengkap industri pendukungnya banyak yang masih butuh diimpor. Jadi multiplier effect-nya (pendapatan negara) banyak diterima dari luar negeri bukan justru dalam negeri."

Potensi dampak ekonomi berlipat atau multiplier effect dari kegiatan industri baterai listrik belum optimal terserap di dalam negeri. Misalnya, serapan modal dan juga tenaga kerja justru terjadi di negara asal impor. 

Baca Juga: Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik, Butuh Dukungan Lintas Sektor

"Selain itu, nilai produk atau barang input impor itu juga relatif mahal yang belakangan ikut mengerek biaya produksi," ujarnya.

Tantangan produksi massal

Mohammad Faisal menegaskan potensi nilai tambah dari rencana pembangunan industri baterai kendaraan listrik terintegrasi di dalam negeri bakal terkontraksi dari sebagian ongkos komponen pembentuk baterai yang belum dapat diproduksi di dalam negeri.

Ini terbukti dari ketergantungan pada produk impor dari sebagian komponen pembentuk seperti anode, elektrolit, selubung (casing) dan separator bakal menyebabkan potensi nilai tambah industri baterai listrik itu justru lari ke luar negeri.

Peningkatan nilai tambah baru bisa maksimal, kata Faisal, jika industrinya tersambung dari hulu sampai hilir. "Dari penambangan, pengolahan di smelter lalu input lanjutan seperti katoda. Tetapi untuk anode, elektrolit dan casingnnya belum," ungkapnya.

Baca Juga: Penuhi Kebutuhan Kendaraan Listrik, PLN Perbanyak SPKLU dan SPBKLU

Ini membuktikan, keadaan industri baterai dalam negeri masih memunculkan tantangan terkait produksi massal. Di sisi lain, popularitas kendaraan listrik mengalami peningkatan, terlihat dari penjualan dari tahun ke tahun yang menunjukkan pertumbuhan eksponensial.

Data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia membenarkan adanya permintaan tahunan sebesar 50,57 juta ton saprolit dan 1,2 juta ton bijih limonit untuk pabrik berteknologi HPAL.

HPAL adalah teknologi High Pressure Acid Leaching merupakan pengolahan dan pemurnian nikel limonit dengan melarutkannya dalam wadah bertekanan atau suhu tinggi (autoclave) dan selanjutnya dilakukan proses ekstraksi dari larutan konsentrat untuk mendapat mineral yang lebih murni, yaitu nikel dan kobalt.

Saat ini, industri dalam negeri diperkirakan mampu memproduksi hampir 1 juta MHP/MSP dan 316.000 ton produk turunan termasuk 140.000 ton Cr konsentrat, 136.000 ton Nikel Sulfat, dan 19,5 ton Cobalt Sulfat.

Baca Juga: Mau Dapat Subsidi Kendaraan Listrik, Ini yang Harus Diperhatikan!

Salah satu pengembang bahkan telah memperkenalkan teknologi pemurniannya sendiri, yakni proses Step Temperature Acid Leaching (STAL), yang dirancang untuk memurnikan bijih limonit dengan kandungan nikel kurang dari 1,6%, menghasilkan MHP sebagai produk akhir di pabrik prototipenya.

Pertumbuhan lambat baterai lithium

Secara umum, sektor baterai berbasis lithium mengalami pertumbuhan yang lambat karena kebutuhan investasi yang tinggi dan pengalaman yang terbatas. 

Untuk mendukung pertumbuhan industri kendaraan listrik dalam negeri dan menarik investasi, pemerintah telah menerapkan berbagai inisiatif, termasuk Instruksi Presiden 7/2022 tentang pengadaan publik dan rencana subsidi untuk pembelian kendaraan listrik yang sesuai dengan TKDN.

Bobot persentase baterai dalam industri kendaraan listrik yang mencapai 35% membuat penggunaan baterai yang diproduksi di dalam negeri penting untuk meningkatkan TKDN secara keseluruhan.

Baca Juga: Gesits Sebut Subsidi Kendaraan Listrik Dukung Percepatan Ekosistem EV

Hanya saja, keadaan industri baterai saat ini menimbulkan tantangan untuk produksi massal. Tim Institute for Essential Services Reform (IESR) berupaya memahami kesenjangan kemampuan teknologi dalam industri baterai dalam negeri.

Menurut IESR, untuk menyelaraskan baterai lithium Nickel Cobalt Aluminum Oxide (NCM) atau katoda berbasis nikel NCA, proses produksi prekursor baterai sektor hulu perlu dilanjutkan di dalam negeri. Hal yang sama juga terjadi untuk lithium NMC singkatan dari baterai lithium Nickel Manganese Cobalt Oxide. 

Namun sejauh ini, perusahaan baterai lokal masih menggunakan Lithium Iron Phosphate (LFP) atau dikenal sebagai baterai lithium besi fosfat. Alasan pertimbangan keselamatan dan siklus hidup yang panjang menjadi pilihan, meskipun memiliki densitas energi yang lebih rendah dibandingkan opsi berbasis nikel.

Akibatnya, produksi nikel kelas 1 di sektor hulu Indonesia belum mencukupi kebutuhan industri katoda atau sel baterai di dalam negeri.

Baca Juga: Kendaraan Listrik Domestik Terdaftar di IKN, Bebas PPN

Kesiapan sektor hilir
Sebagai salah satu produsen sepeda motor terbesar di dunia, Indonesia tidak memiliki kendala berarti dalam merakit kendaraan listrik. Hanya saja, hal-hal terkait dengan hilirisasi perlu diperhatikan.

Seperti diberitakan sebelumnya, PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) memperkirakan permintaan mobil dan motor listrik masing-masing bakal tembus di angka 400 ribu unit dan 1,2 juta unit atau tumbuh sampai 4 kali lipat pada 2025 mendatang.

IBC kemudian aktif mencari investor prospektif untuk membangun industri pembentuk komponen sel baterai yang belum dapat diproduksi di dalam negeri seperti anoda, elektrolit, selubung dan separator.

Sementara itu, rangka merupakan komponen yang paling mapan untuk diproduksi di dalam negeri. Beberapa perusahaan bahkan telah memproduksi motor listrik (powertrain) dan memasok produksi motor listrik untuk BUMN.

Baca Juga: Kunci agar Subsidi Kendaraan Listrik Bisa Percepat Ekosistem Elektrifikasi

Hanya saja, daur ulang atau penggunaan kembali limbah sel baterai belum sepenuhnya dikembangkan. Para peneliti di UGM mengambil inisiatif itu dengan memulai pengembangan dalam skala laboratorium.

Meskipun penggunaan kendaraan listrik masih terbatas, sektor ini diharapkan mampu menunjukkan performanya, termasuk menggali potensi untuk mengekstrak bahan langka seperti litium. Kemudian, akses mudah ke logam yang diperlukan untuk produksi baterai.