Kalsel

Hutan Kalsel Berkurang, Banjir Menerjang

apahabar.com, BANJARMASIN – Greenpeace Indonesia menduga banjir bandang yang melanda Kalimantan Selatan lantaran Daerah Aliran Sungai (DAS)…

Keluarga wakil bupati HST terpaksa mengungsi secara mandiri akibat banjir yang merendam Barabai, pusat Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kamis, 14 Januari 2021. Foto: Ist

apahabar.com, BANJARMASIN – Greenpeace Indonesia menduga banjir bandang yang melanda Kalimantan Selatanlantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) telah kehilangan sekitar 304.225 hektar tutupan hutan sepanjang 2001-2019.

Sebagian besar sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit

"DAS merupakan wilayah yang seharusnya menampung air hujan di Kalimantan Selatan. Namun karena tutupan hutan berkurang drastis, kemampuan menampung air jadi berkurang. Kalau dari pantauan kita, 2001 sampai 2019 sekitar 304.225 hektar kehilangan tutupan hutan di situ. Itu yang menunjukkan daya tampung pendukung hutan di daerah itu sudah menurun drastis," ucap Juru Bicara Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Ari Kompas dilansir CNNIndonesia.com, Senin (18/1) siang.

Ia menerangkan, Kalimantan Selatan memiliki dua DAS yang menjadi penampung air hujan guna menghindari banjir, yakni DAS Barito dan DAS Maluka. Keduanya berada di area Pegunungan Meratus.

Namun, kata dia, kian tahun deforestasi di wilayah tersebut semakin masif. Ini tak lain karena konsesi kelapa sawit sampai lubang tambang yang terus menjarah tutupan hutan di sana.

"Itu di bawah kaki Gunung Meratus dihajar sama sawit. Di sisi lain memang Banjarmasin masih terpengaruh pasang surut juga. Ketika air pasang akan memperparah banjir," terangnya.

Masifnya angka deforestasi, kata dia, masih menjadi permasalahan lingkungan yang sarat ditemukan.

Mengutip data Forest Watch Indonesia dalam laporan "Angka Deforestasi Sebagai Alarm Memburuknya Hutan Indonesia", rasio hutan di Kalimantan hanya memenuhi 47 persen dari total daratan per 2017.

Angka deforestasi terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2000, tutupan hutan alam di Kalimantan mencapai 33,2 juta hektar. Kemudian turun menjadi 28,3 juta hektar tahun 2009, 26,8 juta hektar pada 2013 dan 24,8 juta hektar pada 2017.

Salah satu faktor dari penurunan luas tutupan hutan adalah masifnya jumlah konsesi yang memanfaatkan kawasan hutan dan lahan.

FWI mencatat hingga 2017 terdapat 32 juta hektar hutan alam yang sudah dibebani izin berusaha.

Khusus untuk Kalimantan, besaran paling luas yakni 12,8 juta hektar hutan yang dilepas untuk izin usaha.

Angka itu terdiri dari 5,2 juta hektar untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 756 ribu untuk Hak Tanaman Industri (HTI), 642 ribu untuk perkebunan kelapa sawit dan 1,5 juta untuk tambang.

Juga ada 4,6 juta lahan hutan yang masih tumpang tindih antara izin untuk HPH, HTI, perkebunan kepala sawit dan tambang. Data ini belum termasuk area yang dikuasai oleh Perhutani.

Dampak

Selain karena daya tampung air yang berkurang, deforestasi juga mendorong terjadinya krisis iklim yang bisa berpengaruh besar pada curah hujan ekstrem di musim penghujan. Dengan curah hujan tinggi dan kurangnya tampungan air, potensi banjir jadi semakin besar.

Tak hanya di Kalimantan, dampaknya juga terasa dalam skala nasional lantaran penurunan luasan tutupan hutan konsisten terjadi di berbagai daerah.

Pada tahun 2000 tutupan hutan mencapai 106,4 juta hektar. Lalu menurun menjadi 93 juta hektar di tahun 2009, 88,5 juta hektar tahun 2013 dan 82,8 juta hektar tahun 2017.

"Krisis iklim sudah terjadi. Itu ramalan NPCC (New York Citiy Panel on Climate Change) yang memproyeksi apa yang terjadi 50 tahun ke depan sudah di depan mata. Curah hujan semakin tinggi, itu faktor perubahan iklim," kata Arie.

Meskipun ada banyak faktor yang bisa mendorong krisis iklim, seperti pengolahan sumber daya fosil dan pemanasan global, Ia mengatakan penebangan hutan juga menciptakan karbon yang memperparah perubahan iklim.

KLHK sendiri pernah mengungkap potensi bencana banjir sebagai salah satu dampak dari krisis iklim jika tidak ditangani dengan baik. Itu disampaikan melalui "Studi Perubahan Iklim di Indonesia" yang diterbitkan 2017 lalu.

"Perubahan iklim di masa depan dapat memperluas daerah rawan banjir, khususnya pada skenario periode curah hujan berulang 5-10 tahun dan meningkatkan frekuensi banjir besar untuk periode ulang sekali dalam 10-25 tahun," tulis studi tersebut.

Analisis LAPAN

Lembaga Penerbangan, dan Antariksa Nasional atau LAPAN, menemukan luasan genangan banjir tertinggi mencapai 60 ribu hektare di Barito Kuala, Kabupaen Banjar 40 ribu hektare, Tanah Laut 29 ribu hektare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 12 ribu hektare, Hulu Sungai Selatan 11 ribu hektare, Tapin 11 ribu hektare, dan Tabalong sekitar 10 ribu hektare.

Sementara luas genangan air di Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Kota Banjarmasin, hingga Kabupaten Murung Raya antara 8 sampai 10 ribu hektare.

Ratusan Ribu Warga Terdampak

Badan Penanggulangan Bencana Daerah melaporkan, hingga Minggu 17 Januari, terdapat 210.320 warga di 10 kabupaten/kota terdampak banjir di Kalsel.

Mereka berasal dari 63.454 kepala keluarga. Rinciannya, jumlah korban banjir tertinggi berada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dengan 64.400 jiwa, Kabupaten Banjar 53.865 jiwa, Barito Kuala 28.400 jiwa, Tanah Laut 27.815 jiwa, Balangan 17.501 jiwa, Banjarbaru 8.671 jiwa, Hulu Sungai Selatan 6.690 jiwa, Tapin 1.492 jiwa, Tabalong 770 jiwa, dan Banjarmasin 716 jiwa.

BPBD Kalsel juga mencatat 22.543 rumah terendam, dan sebagian rusak akibat terjangan banjir. Air bah juga meluluhlantakkan 68 jalan, 14 jembatan, 8 rumah ibadah, dan 11 sekolah.

Setidaknya, 37.756 jiwa terpaksa mengungsi dari kediamannya. Ironisnya, bencana ekologis ini juga telah menelan 15 korban jiwa. Mereka berasal dari Tanah Laut 7 orang, masing-masing 3 orang dari Banjar, dan HST, serta 1 orang masing-masing dari Banjarbaru, dan Tapin.