Hujan Deras Masih Melanda Indonesia, Ternyata Disebabkan Fenomena Langka

BMKG memprediksi musim hujan di Indonesia mencapai puncaknya pada Januari 2023. Namun, memasuki Maret, hujan disertai angin kencang masih mengguyur Indonesia

Hujan deras masih mengguyur sejumlah wilayah Indonesia (Foto: Antara)

apahabar.com, JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim hujan di Indonesia mencapai puncaknya pada Januari 2023. Perkiraan itu sebagaimana dituliskan dalam buku Prakiraan Musim Hujan 2022/23 di Indonesia.

“Puncak musim hujan 2022-2023 di sebagian besar wilayah zona musim (ZOM), diperkirakan terjadi pada Desember 2022 dan Januari 2023,” demikian tertulis dalam buku keluaran BMKG pada Agustus 2022 lalu.

Namun, memasuki awal Maret, hujan disertai angin kencang masih mengguyur sejumlah wilayah Indonesia. Malahan, BMKG kembali memperingatkan bahwa beberapa daerah berpotensi mengalami hujan lebat hari ini, Kamis (2/3).

Lantas, sebenarnya apa yang membuat hujan masih ‘betah’ mengguyur Indonesia meski sudah tak lagi masanya? 

Fenomena Langka yang Terjadi Ratusan Tahun Sekali

Peneliti Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menyebut rupanya ada dua faktor penting yang memicu hujan di awal Maret. Keduanya ialah fenomena langka yang terjadi tiap 100 sampai 400 tahun sekali.

Fenomena tersebut berkaitan dengan apa yang sedang terjadi di Laut Cina Selatan. Keduanya adalah Lonjakan Lintas Utara Khatulistiwa atau Cross Equatorial Northly Surges (CENS), serta Vorteks Borneo atau badai.

CENS merupakan penguatan angin dari utara, di mana mempunyai kecepatan rata-rata di atas 5 meter/detik di Laut China Selatan bagian selatan dekat Laut Jawa. Inilah yang menyebabkan terjadinya angin kencang di Indonesia.

“Angin dari utara yang kuat ini telah berperan memperkuat angin monsun hingga 2 - 3 kali lipat semula, sehingga memengaruhi angin kencang yang marak terjadi saat ini,” beber Erma lewat akun Twitter pribadinya, dikutip Kamis (2/3).

Faktor selanjutnya adalah Vorteks Borneo. Fenomena tersebut merupakan pusaran angin yang memiliki radius putaran pada skala meso, yaitu antara puluhan hingga ratusan kilometer. Erma menyebut saat ini Vorteks Borneo mulai terbentuk dekat ekuator di atas Laut Cina Selatan.

Kedua fenomena tersebut, lanjut Erma, terus berinteraksi pada lokasi yang sama hingga makin membesar lagi kuat. Hal ini sejalan dengan hasil studi Chang dkk (2003) tentang pembentukan Taifun (siklon tropis) Vamei di ekuator dekat Singapura-Batam pada 27 Desember 2001.

Erma mengungkap Taifun Vamei itu terbentuk 12 tahun yang lalu. Kini, kedua fenomena yang menjadi syarat bagi siklon tropis itu terjadi. Alhasil, wilayah dalam pusaran vorteks: Singapura, Batam, Pangkal Pinang, Babel, Kalbar, mengalami dampak langsung.

Adapun efek tidak langsung dari fenomena itu, angin kencang melanda bagian barat Indonesia, serta menciptakan daerah konvergensi luas di darat Jawa dan Sumatra. Sehingga, hujan turun persisten dengan intensitas tinggi.

Masih merujuk pada peristiwa tersebut, Erma mengatakan itu adalah kejadian langka. Potensi terbentuknya kembali diperkirakan memerlukan waktu satu sampai empat dekade. 

“Kejadian ini sangat langka, oleh karena itu probabilitasnya terbentuk kembali sekitar 100-400 tahun sekali. Sebab belum tentu syarat-syarat bisa terpenuhi semuanya,” tandasnya.