kerusakan lingkungan

Hujan Deras di Kawasan Tambang Andesit, Wadas Terancam Banjir

Hujan deras yang mengguyur Desa Wadas, Kabupaten Purworejo pada Minggu siang (25/3) telah menyebabkan banjir yang menggenangi rumah warga dan akses desa.

Apa yang dikhawatirkan warga penolak tambang andesit di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, termasuk saat bersaksi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta beberapa waktu lalu bahwa tambang andesit berpotensi membawa bencana bagi warga, benar-benar terjadi. Foto: Gempadewa

apahabar.com, JAKARTA - Hujan deras yang mengguyur Desa Wadas, di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Minggu siang (25/3) telah menyebabkan banjir yang menggenangi rumah warga dan akses desa. Banjir itu terjadi akibat petak hutan di perbukitan mulai dibuka untuk akses jalan yang menghubungkan lokasi tambang batu andesit di Wadas dan lokasi Waduk Bener di Desa Bener yang berjarak kurang lebih 12 kilometer.

Kepada apahabar.com, perwakilan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) Siswanto menjelaskan banjir terjadi akibat air hujan tidak lagi mampu meresap ke dalam tanah, tetapi langsung mengalir ke kawasan permukiman warga.

“Air berwarna coklat itu meluncur deras sambil membawa tanah dan bebatuan. Banjir ini melewati Desa wadas sehingga warga tidak berani melintas,” ungkapnya.

Siswanto menilai, bencana banjir memang sempat dikhawatirkan warga, sehubungan dengan aktivitas tambang andesit di desa mereka. “Dan itu, benar-benar terjadi,” katanya.

Karena itu, Siswanto berharap rencana tambang andesit segera dihentikan karena berpotensi membahayakan warga. Dia bahkan pernah mengingatkan soal ini kepada para pejabat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo sebagai Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dan Balai Besar Sungai Wilayah Serayu Opak (BBWSSO) sebagai lembaga pemerintah yang menjadi pemrakarsa proyek Bendungan Bener dan tambang andesit di Wadas, Senin (20/3).

“Untuk apa mendapatkan ganti rugi Rp10 milyar (setelah menyerahkan tanah untuk tambang) jika kemudian mati kena tanah longsor,” ujarnya.

Warga Menolak

Banjir terjadi akibat petak hutan di perbukitan mulai dibuka untuk akses jalan yang menghubungkan lokasi tambang batu andesit di Wadas dan lokasi Waduk Bener di Desa Bener yang berjarak sekira 12 kilometer. Foto: Gempadewa

Sejak awal, kata Siswanto, warga Wadas sudah menolak rencana tambang tersebut karena khawatir lingkungan jadi rusak dan ancaman bencana meningkat. Namun pemerintah tetap dengan rencananya untuk menambang batu andesit di Wadas.

Batu andesit rencananya akan digunakan untuk membangun Waduk Bener yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo dan dilaksanakan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

“Pemerintah telah menggunakan cara-cara represif untuk mematikan perlawanan warga. Segala daya upaya melalui jalur hukum yang dilakukan warga juga selalu dikalahkan,” terangnya sebagaimana ia utarakan saat bersaksi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta beberapa waktu lalu.

Senada, anggota Wadon Wadas (kelompok perempuan yang menolak Wadas) Priyan Susyie sangat sedih melihat banjir mulai melanda desanya.

“Baru akses jalan saja sudah menyebabkan banjir apa lagi kalau ada tambang, mau jadi apa Wadas,” ujarnya.

Dia berharap warga Wadas tetap berjuang semaksimal mungkin agar tidak menjadi lokasi tambang.  “Jika Wadas sampai ditambang maka akan terjadi banjir bandang yang lebih besar lagi,” imbuhnya.

Wadas kawasan rentan

Waduk Bener yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo dan dilaksanakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Foto: KRKP

Dhanil Al Ghifary dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menilai apa yang diutarakan Susyie sangat beralasan. Apalagi saat ini Bumi sedang mengalami krisis iklim yang salah satu wujudnya adalah hujan dengan intensitas sangat tinggi.

Hal itu tentu saja bisa mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor, dan kawasan permukiman di menanggung akibatnya. Hal yang sama juga terjadi jika tambang di perbukitan Wadas terus dibiarkan.

“Seperti diketahui, warga Wadas tinggal di lereng dan kaki perbukitan,” ungkap Dhanil yang merupakan kuasa hukum warga Wadas yang menolak tambang.

Banjir di Wadas, menurut Dhanil, seharusnya membuat pemerintah berpikir ulang tentang rencana membuka tambang andesit di desa itu. Keberadaan tambang justru meningkatkan risiko bencana di lokasi yang sejak dahulu sudah dinyatakan sebagai kawasan rawan bencana longsor.

“Sejak semula seharusnya Pemprov Jateng tidak memasukkan Wadas (lokasi tambang untuk suplai material dalam pembangunan Bendungan Bener) dalam Izin Penetapan Lokasi untuk Pembangunan Bendungan Bener,” paparnya kepada apahabar.com.

Hal itu, menurut Dhanil, didasarkan pada Perda RTRW Purworejo sebelum Revisi (Perda Purworejo No. 27 th. 2011). Di Perda tersebut, Kecamatan Bener dinyatakan sebagai kawasan rawan longsor.

“Ini diperkuat dengan fakta bahwa Wadas merupakan kawasan dengan kerentanan longsor tingkat tinggi sebagaimana tertuang Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Bendungan Bener,” ujar Dhanil.

Sementara itu, secara faktual di Desa Wadas memang sering terjadi longsor. Tentu, kedepannya apabila pertambangan tetap dilakukan, maka kerentanan longsor di Wadas akan semakin meningkat. Bahkan sebelum pertambangan dimulai, kejadian banjir lumpur sudah kerap terjadi.

“Itu baru land clearing akses untuk tambang. Kita nggak bisa bayangkan bagaimana kedepannya kalau tambang bakal dilakukan,” ungkapnya.

Alasan ini yang kemudian mendorong warga untuk terus melakukan penolakan. “Tapi sialnya penolakan warga tidak pernah didengar oleh pemerintah, utamanya Pemprov Jateng yang notabenenya pelaksana dan penanggung jawab PSN di daerah,” kata Dhanil.

Karena itu, LBH Yogyakarta mengingatkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan BBWSSO sebagai wakil pemerintahan agar berkomitmen untuk menyejahterakan rakyat dan tidak sebaliknya membuat sengsara.

"Menurut kami, kejadian banjir lumpur kemarin memperlihatkan bahwa pemerintah tidak matang dalam perencanaan pembangunan. Ketika ada masalah baru direspon. Ini bahaya sekali,” tandasnya.