Kalsel

Hipotesis Saranjana, ‘Kota Gaib’ di Kotabaru: Berawal dari Dayak Maanyan yang Dihancurkan

apahabar.com, BANJARMASIN – Bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Begitulah analogi dari mitos wilayah Saranjana, sebuah…

Saranjana diyakini berbentuk kerajaan Ethnic State dari sebuah sub-suku Dayak. Wilayahnya diyakini berada di sebelah timur laut Provinsi Kalimantan Selatan. Foto ilustrasi Saranjana: Istimewa

apahabar.com, BANJARMASIN – Bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Begitulah analogi dari mitos wilayah Saranjana, sebuah kota gaib yang diyakini berada di Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Namun semakin dekat, jalan semakin gelap. Sisi gaib, metafisika yang justru banyak menyeruak ke permukaan pada ranah ini. Walaupun demikian, sisi ilmiah bukan penggambaran hal yang kasat mata. Pasalnya, penelitian ilmiah tidak percaya hal-hal gaib.

Penelitian ilmiah didasarkan dengan metode ilmiah. Metode Sejarah atau Historical Method. Satu di antara tahapannya adalah interpretasi.

Pada tahap ini, memang memunculkan banyak hipotesis atau dugaan sementara.

"Hal ini akibat kurangnya data tertulis sehingga dasar utama meneliti Saranjana hanya bertumpu pada sumber lisan," ucap Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Mansyur kepada apahabar.com.

Meski demikian, secara metodologis tetap bisa menjangkaunya. Dalam artian, dengan metode sejarah tetap berupaya mengungkap keberadaan Saranjana. Walaupun hanya sampai tataran dugaan bersifat sementara.

"Tentunya, data baru yang mungkin bisa untuk mengubahnya," katanya.

Menelusuri keberadaan wilayah Saranjana dalam persfektif ilmiah, kata Mansyur, memunculkan beberapa dugaan sementara. Berikutnya, bisa meningkat statusnya menjadi teori.

Hipotesa pertama, Saranjana adalah wilayah kekuasaan dari Suku Dayak yang bermukim di Pulau Laut. Suku Dayak dengan kehidupan semi nomaden.

Suku Dayak yang dimaksud adalah Dayak Samihim sub etnis suku Dayak yang mendiami daerah timur laut Kalimantan Selatan (Kalsel). Noerid Haloei Radam, sambung Mansyur, berpendapat orang Dayak Samihim diperkirakan termasuk rumpun Maanyan.

Dugaan bercerai berainya sub suku Maanyan sampai ke Pulau Laut disebabkan penaklukan daerah-daerah sekitar saat pembentukan kerajaan Negara Dipa. Dalam sumber lisan, nyanyian atau wadian Orang Maanyan, kerajaan mereka yang dikenal dengan Nan Sarunai dirusak oleh pasukan Jawa (disebut dari Marajampahit atau Majapahit).

Kemungkinan besar Empu Jatmika memerintahkan hulubalangnya, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa dengan pasukannya menaklukkan orang Maanyan yang tidak mau menjadi rakyat Kerajaan Negara Dipa.

Sebagian kelompok Orang Maanyan terusir. Kemudian mereka melakukan pengusian ke berbagai penjuru di Kalimantan. Termasuk orang Dayak Samihim yang menetap di kawasan Pamukan, Cengal, Manunggul, Bangkalaan hingga Pulau Laut yang nantinya menjadi bagian wilayah Kerajaan Tanah Bumbu (Tanbu).

Pendapat lain seperti tertulis dalam buku Sejarah Kotabaru bahwa sebelum masuknya agama Islam, daerah Kotabaru didiami penduduk dari suku Dayak yang menganut kepercayaan Animisme.

"Baik di Kotabaru (Pulau Laut), Cengal, Cantung, Sampanahan dan lainnya masih hidup berkelompok," bebernya.

Kapan kurun waktu keberadaan wilayah Saranjana yang diperkirakan wilayah dari Suku Dayak Samihim?

Itu diduga sebelum 1660-an Masehi. Dengan kata lain sebelum abad 17. Alasannya, pada 1660 berdasarkan catatan Goh Yoon Fong, Pulau Laut sudah menjadi tanah apanage/apanaze Pangeran Purabaya dari Kesultanan Banjar.

Lengkapnya Goh Yoon Fong menuliskan permufakatan bangsawan Banjar memutuskan Raden Bagus diangkat sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Amarullah Bagus Kusuma (1660-1663).

"Kemudian sebagai penghormatan dan imbalan perdamaian, Pangeran Purabaya diberikan daerah Pulau Laut sebagai tanah apanagenya," cetusnya.

Saranjana masa awal, adalah suatu ethnic state atau negara suku. Hal ini sesuai Teori Kulke yang membagi formasi negara di Asia Tenggara terjadi dalam tiga fase, yaitu negara suku, negara awal, dan negara kerajaan.

Saranjana berbentuk pemerintahan Negara Suku (Ethnic State) di fase pertama. Ethnic State ini "mati" tanpa sempat mengalami masa transisi.

Alasan penggolongan ini, karena dalam upaya untuk mengungkapkan dan menjelaskan Saranjana sangat bertumpu kepada historiografi tradisional yakni legenda kerajaan Pulau Halimun.

Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu: (1) etnosentrisme, (2) rajasentrisme, (3) antroposentrisme. Demikian pula dalam melacak latar belakang keberadaan Saranjana masih sangat tergantung kepada cerita rakyat berbentuk legenda turun temurun ini.

Informasi yang diperoleh dari cerita Legenda Pulau Halimun ditandai sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada kronologis unsur waktu dalam urutan ceritanya. Menurut Kulke dalam Vida, negara suku atau negara etnik hanya terdiri dari satu etnik dan tatanannya diatur oleh tradisi yang ditransformasikan dari nenek moyang ke generasi berikutnya.

Keberadaan Saranjana memang tidak didukung sumber tertulis yang memadai. Posisi kepala suku sudah dikenal dalam masyarakat Saranjana saat itu. Dalam hal ini, apabila bertumpu pada sumber lisan Legenda Pulau Halimun, selaku kepala suku adalah tokoh bernama Sambu Ranjana.

Sebagai Ethnic state, tentunya Kerajaan Saranjana belum memiliki pengaturan atau birokrasi seperti kerajaan yang berada dalam fase negara awal dan negara kerajaan.

Mengutip pendapat Vida Kusmartono yang memotret Kerajaan Nan Sarunai dengan teori yang sama yakni Teori dari Kulke, negara atau kerajaan ethnic state tidak bersifat tirani bagi yang diperintahnya.

"Masyarakat Saranjana adalah masyarakat yang homogen. Mereka menata kehidupan komunitasnya dengan sangat harmonis sesuai dengan aturan adat yang berisi hukum tradisional, termasuk larangan-larangan dalam hukum adat. Hubungan fundamental di dalam lingkungan Kerajaan tercipta berdasarkan genealogis atau hubungan kekerabatan," tegasnya.

Dalam perkembangannya, kehidupan suku pendukung "Negara Suku" Saranjana berlangsung hingga berabad-abad. Pemerintahan yang berlaku masih dijalankan secara sederhana. Mereka mendirikan tempat tinggal sementara sebelum pindah ke lokasi lainnya seperti digambarkan H. Ling Roth pada pertengahan abad ke-19.

Daerah-daerah yang menjadi wilayah Kerajaan Saranjana meliputi Pulau Halimun (wilayah Pulau Laut) bagian selatan. Dengan status Kerajaan Suku, Kerajaan Saranjana tidak pernah tercatat melakukan ekspansi atau perluasan wiayah, baik dengan peperangan maupun klaim wilayah kekuasaan.

Dalam perkembangannya, Kepala suku Dayak Samihim di wilayah "ethnic state" Saranjana, kemungkinan besar tokoh Sambu Ranjana sudah mulai mendapat pengaruh unsur Hindu lama.

Sesuai dengan pendapat Faisal Batennie. Ia mengungkapkan agama yang pertama kali berkembang di Pulau Laut adalah agama Hindu. Selain itu, hal ini dapat ditinjau dari aspek bahasa, linguistik yang berhubungan dengan nama.

Nama "Sambu" (Shambu) tidak terlepas dari kepercayaan Hindu. Misalnya dalam Reg Veda (Reg Weda). Nama Sambu adalah bagian dari 11 rudra atau rudra prana. Sambu memiliki makna bertemu atau bergabung.

Versi lain Sambu berarti artinya kuat, berani, dan bijaksana. Sementara arti kata "Ranjana" dalam Bahasa Kawi adalah bergembira. Mengenai pindahnya Suku Dayak Samihim dari lokasi Kerajaan Saranjana, bisa dihubungkan dengan tulisan Schwaner: "Historische, Geograpische en Statistieke Aanteekeningen Betreffende Tanah Boemboe", tahun 1851.

"Memang belum bisa dipastikan apakah tulisan Schwaner tersebut menggambarkan Kerajaan Saranjana atau bukan," tambah Mansyur.

Menurut Schwaber, ungkap dia, kisah-kisah tertua beredar sampai penduduk asli di tempat itu yang disebut Suku Dayak menjadi kaya dan kuat, serta hidup di kampung-kampung yang dikelilingi oleh kebun-kebun yang luas dan indah, di bawah raja-raja yang berasal dari mereka dan keturunannya.

Sejarah kerajaan itu tercampur dengan kisah berbagai peristiwa alam gaib, tindakan legendaris dan adat barbar serta berakhir dengan kehancuran daerah itu akibat perang dengan kekuatan asing yang datang dengan perahu, menyerang penduduk dan menghancurkan wilayahnya.

Ribuan orang terbunuh dan sisanya dipukul mundur sampai pegunungan tinggi, di mana karena tekanan sampai sekarang mereka menjadi ketakutan dan bersembunyi, tinggal dalam beberapa keluarga dan tersebar di kampung-kampung kecil.

Kesimpulan, sebut Mansyur, berdasarkan hipotesa ini, Kerajaan Saranjana muncul sebelum tahun 1660-an atau pra abad ke 17 Masehi.

Saranjana berbentuk Kerajaan Ethnic State (Negara Suku) dari Suku Dayak Samihim.Kepala Suku pertama adalah Sambu Ranjana. Awalnya menganut kepercayaan animisme.

Tetapi seiring perkembangannya, mulai mendapat pengaruh Hindu lama.

Hal ini dibuktikan dengan nama Sambu Ranjana yang dipengaruhi unsur Hindu.

Suku Dayak yang nomaden sempat mengalami kejayaan. Pada akhirnya, kelompok Suku Dayak Samihim tersebut meninggalkan wilayah Saranjana akibat perang dengan kekuatan asing yang datang dengan perahu, menyerang penduduk dan menghancurkan wilayahnya.

"Walaupun sudah meninggalkan wilayahnya, nama pusat kekuasaan Suku Dayak Samihim di Pulau Laut, sampai sekarang tetap dinamakan dengan Saranjana," pungkasnya.

Saranjana diyakini berbentuk kerajaan Ethnic State dari sebuah subsuku Dayak. Wilayahnya diyakini berada di sebelah timur laut Provinsi Kalimantan Selatan. Foto ilustrasi Saranjana: Istimewa

Editor: Fariz Fadhillah