Kalsel

Hindari Sengketa Lahan, BPN Batola Geber Reforma Agraria

apahabar.com, MARABAHAN – Tidak sekali dua terjadi sengketa lahan di Indonesia. Menghindari kejadian serupa, Badan Pertanahan…

Kepala BPN Batola, Ahmad Suhaimi, memaparkan Program Reforma Agraria dalam Rakor Gugus Tugas Reforma Agraria, Senin (29/07/2019). Foto-apahabar.com/Bastian Alkaf

apahabar.com, MARABAHAN – Tidak sekali dua terjadi sengketa lahan di Indonesia. Menghindari kejadian serupa, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Barito Kuala menggeber Program Reforma Agraria.

Program tersebut dicetuskan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Namun di Kalimantan Selatan, baru BPN Batola yang ditugasi melakukan Reforma Agraria.

“Inti Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui penataan aset dan penataan akses,” papar Ahmad Suhaimi, Kepala BPN Batola dalam Rakor Gugus Tugas Reforma Agraria, Senin (29/07/2019) sore.

“Sedangkan konsep Reforma Agraria adalah dengan melakukan legalisasi aset dan redistribusi lahan atau disebut Tanah Objek Reforma Agraria (TORA),” imbuhnya.

Melalui program tersebut, BPN berusaha meningkatkan kepastian hukum atas hak tanah melalui pemberian sertifikat.

Kemudian mengupayakan ketersediaan tanah untuk kepentingan umum. Sedangkan target terakhir adalah memperbaiki porsi kepemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

TORA sendiri bersumber dari tanah transmigrasi yang sudah atau belum bersertifikat, Hak Guna Usaha (HGU) tak diperbaharui, tanah terlantar, tanah dari pelepasan kawasan hutan dan tanah hasil perubahan tata batas kawasan hutan.

Legalisasi aset menyasar ribuan hektar tanah transmigrasi yang tersebar di 11 kecamatan. Mulai dari Alalak, Barambai, Belawang, Cerbon, Jejangkit, Mandastana, Marabahan, Rantau Badauh, Tabunganen, Tamban dan Wanaraya.

“Dalam melegalisasi lahan transmigrasi, kami menginventarisasi tanah-tanah yang mungkin masih memiliki sertifikat Hak Pengelolaan (HPL), bukan Sertifikat Hak Milik (SHM) transmigran,” jelas Suhaimi.

“Masalahnya sekarang tanah-tanah transmigrasi tidak lagi dikuasai pemilik pertama. Banyak terjadi peralihan hak dan domisili pemilik pertama tak lagi diketahui,” imbuhnya.

Sembari melakukan inventarisasi, BPN yang menjadi bagian Gugus Tugas Reforma Agraria bersama Pemkab Batola mengecek ulang tanah-tanah plasma sawit dari HGU.

“Demi kesejahteraan bersama dan sesuai Undang-Undang, kewajiban HGU adalah ikut membangun plasma masyarakat minimal 20 persen dari luas HGU,” papar Suhaimi.

“Persoalan di Batola adalah pengusulan Calon Petani Calon Lahan (CPCL). Belakangan diketahui 20 persen lahan yang digarap bukan atas nama CPCL. Kasus ini terjadi di Desa Muara Pulau,” tegasnya.

Seandainya 20 persen lahan tersebut bukan tanah penduduk, berarti kewajiban mensejahterakan masyarakat sekitar tidak tepat sasaran.

“Akibatnya masyarakat sekitar HGU hanya menjadi penonton. Tentu saja situasi ini berpeluang memicu konflik sosial,” tukas Suhaimi.

Sementara lahan yang diperoleh dari pelepasan kawasan hutan, BPN Batola memiliki lahan seluas 1.542,20 hektare di tiga desa di Mekarsari.

“Sesuai Surat Rekomendasi Gubernur Kalsel Nomor 522.13/02029/PPH/Dishut/2018 tertanggal 30 Nopember 2018, lahan tersebut tercantum dalam Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan,” jelas Suhaimi.

“Rinciannya 402,35 hektare di Desa Mekarsari, 945,22 hektare di Desa Tinggiran Darat dan 194,63 hektare di Desa Jelapat II,” sambungnya.

Terkait redistribusi lahan, Reforma Agraria menjamin berlaku fair lantaran bagi-bagi tanah ini mempertimbangkan pemanfaatan lahan dan menghindari monopoli.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, terdapat beberapa sasaran masyarakat yang dijadikan subjek penerima Program Reforma Agraria.

Subjek pertama adalah petani yang memiliki tanah hanya seluas 0,25 hektar atau lebih kecil dari petani penyewa tanah seluas tidak lebih dari 2 hektar.

Selanjutnya petani yang menggarap tanah bukan milik sendiri. Sementara subjek ketiga, buruh tanah yang mengerjakan atau mengusahakan tanah orang lain dengan mendapatkan upah.

Guru honorer juga termasuk subjek penerima, selain pekerja harian lepas, pegawai swasta dengan pendapatan di bawah penghasilan tidak kena pajak.

Kemudian PNS paling tinggi golongan IIIA yang tidak memiliki tanah, serta anggota TNI/Polri berpangkat paling tinggi letnan dua.

“Ketika TORA sudah ditetapkan Kementerian ATR/BPN, Gugus Tugas Reforma Agraria yang berkewenangan menentukan subjek pembagian lahan. Tentu berbahaya kalau lahan itu diredistribusi kepada tuan tanah,” tandas Suhaimi.

Baca Juga: Siaga Darurat Pencegahan Karhutla, Paman Birin: Laporkan dan Padamkan!

Baca Juga: Kepala BPBD Banjar: Jika Ingin Bakar Lahan Lapor ke Kepolisian

Baca Juga: Kabupaten Banjar Kantongi 3 Penghargaan Nasional Selama Guru Khalil Menjabat

Baca Juga: Terungkap, Motif Juru Parkir HBI Aniaya Pengunjung hingga Tewas

Reporter: Bastian Alkaf
Editor: Muhammad Bulkini