Kalsel

Hari Pers, AJI dan IJTI Kalsel Desak Kaji Ulang Penetapan HPN

apahabar.com, BANJARMASIN – Penetapan Hari Pers Nasional (HPN) dianggap hanya mengakomodir salah satu organisasi kewartawanan. HPN…

Selain menanggalkan historis perjalanan pers nasional Indonesia, perayaan HPN tahun ini dinilai AJI dan IJTI jauh dari isu pers yang tengah menjadi sorotan, yakni kekerasan pers dan upah murah jurnalis di Kalsel. Foto-apahabar.com via AJI

apahabar.com, BANJARMASIN – Penetapan Hari Pers Nasional (HPN) dianggap hanya mengakomodir salah satu organisasi kewartawanan. HPN menjadi kurang dimiliki oleh organisasi selain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

“Jurnalis memiliki semangat untuk menghapus sikap diskriminasi, tetapi ada kesan HPN malah diskriminatif pada organisasi kewartawanan,” ujar Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kalimantan Selatan, Budi Ismanto, Jumat (8/2).

Sebagaimana Kita ketahui, ada tiga organisasi kewartawanan tanah air yang diakui oleh Dewan Pers, antara lain PWI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan IJTI sendiri.

Usulan penetapan HPN oleh PWI disetujui oleh Presiden Soeharto dalam keputusan Presiden RI nomor 5 tahun 1985. 9 Februari yang ditetapkan sebagai HPN merupakan hari jadi PWI yang dibentuk pada 1946.

“HPN selanjutnya ada baiknya digelar dengan melibatkan panitia gabungan dari semua unsur organisasi kewartawanan, biar yang lain ikut merayakan,” jelas Budi.

Seirama dengan IJTI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepakat bilamana penetapan HPN dengan cara demikian tak punya pijakan sejarah yang kokoh.

Jika ingin lebih adil, harusnya momentum pengesahan Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers lah yang dijadikan sebagai tanggal bersejarah. Regulasi ini disahkan pada 23 September 1999 oleh Presiden BJ Habibie.

Secara nasional, AJI dan IJTI telah meminta pemerintah melalui Dewan Pers Nasional untuk mengkaji ulang penetapan HPN yang tidak berkorelasi dengan orde baru.

Pertimbangan besarnya, usai pengesahan UU Pers, sejumlah perubahan penting pada praktik jurnalisme juga terjadi. Media massa terus bertumbuh. Tak lagi terkekang penyensoran dan pembredelan seperti era Orde Baru

Pasca-reformasi, sejumlah regulasi Orde Baru di bidang pers telah mengalami penyesuaian. Termasuk di antaranya pencabutan SK Menpen Nomor 47/1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.

Perlu diketahui PWI bukanlah organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia. Jauh sebelum PWI didirikan pada 9 Februari 1946, sejumlah organisasi wartawan telah berdiri. Dan menjadi wadah organisasi para wartawan di zaman Belanda.

Organisasi wartawan yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini berdiri pada 1914 di Surakarta. Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara.

Selain IJB, organisasi wartawan lainnya adalah Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), serta Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Sayang, berbagai organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang akibat tekanan dari pemerintahan kolonial.

“Sejarah ini yang perlu diluruskan,” jelas Ketua AJI Balikpapan, Devi Alamsyah.

Selain menanggalkan historis perjalanan pers nasional Indonesia, perayaan HPN tahun ini dinilai AJI dan IJTI jauh dari isu pers yang tengah menjadi sorotan, yakni kekerasan pers dan upah murah jurnalis di Kalsel. Foto-apahabar.com via AJI

Isu Kekerasan dan Upah Layak

Pada 2020, Kalimantan Selatan dipilih menjadi tuan rumah peringatan HPN dengan mengangkat tema "Pers Menggelorakan Kalimantan Selatan Gerbang Ibu Kota Negara”.

Ketimbang memilih topik krusial tersebut, pemerintah dan penyelenggara HPN justru dinilai masih berkutat dengan pembahasan isu-isu umum kewartawanan.

“Paling mentok isu kemerdekaan pers,” jelas Devi.

Kekerasan terhadap jurnalis dan upah layak harusnya menjadi pekerjaan besar. Yang mesti diselesaikan segera oleh para pegiat pers, pemangku kebijakan, serta aparat penegak hukum.

“Dua problem itu masih menjadi topik yang amat jauh dibahas secara spesifik pada HPN kali ini,” sambung Devi.

HPN kali ini bertabur acara-acara yang bersifat pada sebagian sisi juga hanyalah seremoni belaka.

Tak ada pernyataan dari para petinggi negara yang menyentil komitmen untuk dua persoalan itu.

Padahal, dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terdapat 53 kasus kekerasan jurnalis yang terjadi sepanjang 2019 lalu.

Dalam catatan tersebut, kasus kekerasan masih didominasi olehkekerasan fisik sebanyak 20 kasus.

Setelah itu, diikuti oleh perusakan alat atau data hasil liputan (14 kasus), ancaman kekerasan atau teror (6 kasus), pemidanaan atau kriminalisasi (5 kasus), pelarangan liputan (4 kasus).

Hasil monitoring AJI, polisi mendominasi dengan angka mencapai 30 kasus. Pelaku kekerasan terbanyak kedua adalah warga (7 kasus), organisasi massa atau organisasi kemasyarakatan (6 kasus), orang tak dikenal (5 kasus).

Sebagian besar kasus kekerasan itu terjadi selama demonstrasi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu 20-21 Mei 2019 dan demonstrasi mahasiswa 23-30 September 2019 lalu.

Menurut identifikasi yang dilakukan AJI, serta verifikasi yang dilakukan oleh Komite Keselamatan Jurnalis, pola dari kasus kekerasan itu sama: pelakunya polisi, penyebabnya adalah karena jurnalis mendokumentasikan kekerasan yang dilakukan mereka.

Di Kalimantan Selatan, intimidasi terhadap pers masih terjadi sepanjang satu dekade terakhir. Paling baru, ada kasus Diananta Putra Sumedi, pimpinan banjarhits.id -partner resmi kumparan 1001 media- yang dipolisikan karena pemberitaan konflik lahan sawit dan masyarakat adat.

Nanta dilaporkan karena muatan berita itu dinilai berpotensi memicu konflik antarsuku agama, atau ras (SARA). Mundur ke belakang, ada juga kasus kekerasan lain berupa fisik yang melibatkan jurnalis RadarBanjarmasin, Zalyan S. Abdi. Zal, sapaannya, menerima pukulan dari politikus Tanah Bumbu yang tak terima atas beritanya yang terkait bisnis tambang batu bara, pada 2016 silam.

Lebih jauh, ada M Yusuf, jurnalis Kemajuan Rakyat yang dipolisikan oleh korporasi hingga meninggal dunia dalam tahanan, medio Juni 2018 silam.

Tiga kasus ini hanya secuil dari pengalaman para jurnalis mengalami represi selama di lapangan. Untuk menyelesaikan persoalan sedemikian itu, harusnya mereka yang tak terima dengan pemberitaan cukup memakai mekanisme yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Dewan Pers. Bukan malah menyeret wartawan pada pusaran kekerasan.

Selain isu kekerasan terhadap jurnalis, AJI Balikpapan dan IJTI Kalsel tidak melihat ada pembahasan spesifik mengenai problem upah murah yang masih diterima para jurnalis.

Berdasarkan pantauan AJI di Kalsel, tercatat ada perusahaan pers yang masih menggaji wartawan dengan rentang Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta. Upah Minimum Provinsi Kalsel sendiri kini mencapai Rp. 2.877.448.

Jauh dari standar, hanya secuil perusahaan pers yang menggaji setara UMP atau lebih dari upah minimum.

Padahal, kebutuhan jurnalis sangatlah kompleks. Selain untuk kebutuhan rumah tangga, pakaian, dan hiburan, mereka juga harus memenuhi ongkos teknis seperti biaya transportasi lapangan, perawatanlaptop, ponsel berikut pulsa dan paket data.

Dengan upah di rentang tersebut, AJI meyakini wartawan tak bisa memenuhi kebutuhannya secara utuh.

“Alih-alih berlaku profesional, mereka harus putar otak untuk mencari tambahan penghasilan di luar kerja-kerja jurnalistik,” tutur Devi.

Karenanya, AJI Balikpapan, dan IJTI Kalsel mengusulkan setiap 23 September diperingati sebagai HPN karena memiliki historis. Serta lebih netral terhadap seluruh konsituen kewartawanan di Indonesia.

“HPN mestinya menjadi momentum bersejarah bagi Pers Nasional yang dipikirkan benar berdasar latar belakang historis perjalanan pers nasional Indonesia,” ujar Devi.

Editor: Fariz Fadhillah