Opini

Habib Rizieq Syihab dalam Pusaran Kebencian dan Kerinduan

Oleh: Muhammad Uhaib As’ad TAMPILNYA Habib Rizieq Syihab (HRS) di tengah etalase perpolitikan nasional telah menjadi…

Massa Aksi Damai 212 memadati Kawasan Monas, Jakarta, Desember 2016 silam. Foto-Wartakota

Oleh: Muhammad Uhaib As’ad

Foto-istimewa

TAMPILNYA Habib Rizieq Syihab (HRS) di tengah etalase perpolitikan nasional telah menjadi perhatian publik di negeri.

Nama HRS telah menjadi simbol perlawanan dan magnitute di tengah dominasi negara di era demokratisasi pada saat institusi kekuasaan atau lembaga demokrasi sudah mengalami domistifikasi dalam jangkar dominasi dan oligarki.

Jangkar dominasi dan oligarki adalah suatu pola yang didesain oleh negara (state) untuk menguatkan struktur kleptocracy state.

Kleptocracy state adalah suatu konsep yang bisa dijadilkan pisau analisa untuk memahami perilaku suatu pemerintahan.

Suatu pemerintahan bisa dikategorikan sebagai kleptoctacy state apabila para pejabat publik, aktor politik atau elite politik yang berada dalam struktur kekuasaan telah menjadi institusi kekuasaan dan lembaga demokrasi sebagai instrumen untuk mengakumulasi sumber daya politik (political resources) dan sumber daya ekonomi (economy resouces) untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya serta orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Oleh karena itu, para aktor politik berusaha mereposisi diri masuk dalam jaringan patronase kekuasaan.

Untuk menjadi bagian patronase kekuasaan tentu saja harus menjadi layolitas penguasa dan ikut melembagakan budaya patron – klien.

Menguatnya budaya patron – klien ini, tidak saja pada era kekuasaan Orde Baru, justru perilaku ini semakin bersemayam di era demokratisasi.

Di era demokratisasi ini lah perilaku patron – klien itu telah berdampak pada sistem birokrasi, politik, ekonomi dan hukum di negeri ini.

Budaya patron – klien merambah jauh masuk ke dalam jantung pemerintahan melalui struktur dominasi dan hegemoni.

Ruang-ruang publik pun semakin sempit dan bahkan cara beragama pun sudah diitervensi oleh negara, misalnya setiap mesjid diawasi oleh aparatur negara jangan sampai masjid menjadi arena provokatif, arena lahan subur munculnya pikiran-pikiran radikalisme dan saparatisme.

Bayang-bayang narasi radikalisme, terorisme dan saparatisme telah menghantui sebagian warga.

Negara telah mengkapitalisasi secara legalitas diksi radikalisme, terorisme dan saparatisme menjadi dagangan politik dan kepentingan lain dengan cara merepresi untuk melumpuhkan struktur logika publik sembari menginjeksi dengan virus ketakutan.

Ketika struktur kekuasaan di desain menjadi kleptocracy, lembaga-lembaga demokrasi seperti DPR dan partai politik (Parpol) sudah menjadi kartel atau arena kekuasaan transaksional, lembaga eksekutif dan lembaga penegakan hukum sudah menjadi lembaga oligarki, lalu apa yang bisa diharapakan untuk masa depan rakyat dan negara ini?

Di tengah kegamangan praktik demokrasi saat ini, saya ingin mengutip buku yang menarik dari peneliti politik, Prof Edward Aspinall, Democracy for Sale, Prof Mary Mc Coy, Mafia Democracy, Prof Tom Pipensky, Black Sliding of Democracy.

Ketiga pakar politik dan peneliti itu secara getir bercerita mengenai perkembangan demoktasi pasca-Orde Baru.

Sepintas melihat ketiga judul buku itu secara imajinatif sudah dapat mengambarkan hal ihwal dinamika politik di negeri ini yang sebatas menghadirkan demokrasi prosedural/formaslisme yang jauh dari demokrasi substantive. Yaitu, suatu praktik demokrasi yang sarat perilaku mafia, persekongkolan, mobilisasi melalui kekuatan uang (politik).

Sementara itu, perilaku partai politik sudah menjadi kartelisasi dan pelembagaan politik dinasti.

Kehampaan harapan publik ini merindukan sosok figur yang bisa menjadi broker culture (penyambung lidah rakyat) di tengah lembaga demokrasi semakin jauh dari pengharapan rakyat.

Pada saat ini, rakyat sedang merindukan sosok atau figur yang bisa menjadi katalisator di tengah menguatnya hegemoni negara dan memarjinalkan peran-peran sosial masyarakat sipil (civil society).

Seperti halnya di era kekuasaan Orde Baru, negara tampil sebagai monster yang menakutkan dan negara tanpil secara hegemonik.Tidak boleh muncul kekuatan di luar kekuatan negara. Negara merepresi rakyat dengan menggunakan aparatur negara dan menggiring para kelompok kritis ke pojok etalase dalam kebisuan.

Budaya semu itu (silent culture) diproduksi untuk melanggengkan kekuasaan di atas tulang belulang demokrasi yang mati suri selama 32 tahun.

HRS saat ini menjadi fenomenal di tengah silent culture itu. Gerakan Reuni 212 tidak bisa dipisahkan dengan eksiatensi Habib Rizieq Syihab.

Gerakan 212 sangat kental nuansa politiknya walaun dikemas dalam selebrasi keagamaan. Publik sudah paham itu. Lahirnya 212 tidak dalam ruang hampa politik dan dinamika politik.

Moralitas 212 patut diperhitungkan dalam landscape politik negeri saat ini.

HRS dan 212 telah menjasi ikon dan simbol perlawanan di tengah banalitas demokrasi.

Di tengah banalitas demokrasi ini tentu saja mengundang pro-kontra dan perdebatan yang perlu dipahami secara arif.

HRS dan 212 telah menjadi lahir sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan (balancing of power) di saat semua ornamen kekuasaan sudah terkoptasi secara legal oleh negara.

HRS dan 212 telah menjadi counter culture tidak bisa dipandang remeh. Lahir di tengah situasi politik transisional dan konsolidasi demokrasi yang belum tuntas.

Oleh karena itu, sebagai negara yang berpaham demokrasi, pemerintah tidak perlu overacting dan menghukum HRS bersama 212 secara berlebihan ibarat pelaku kriminal.

Masih banyak masalah yang lebih urgen di negeri ini yang harus diperangi secara bersama seperti penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sulitnya mencara lapangan kerja, panjangnya antrean sarjana pengangguran, there are many more.

Tulisan ini tidak berpretensi menyamakan HRS dengan Ayatullah Ruhullah Khimaeni, Pemimpin Revolusi Iran itu.

Khomaeni yang diasingkan ke Prancis oleh pemimpin Iran diktator, Shah Iran (Reza Palevi), bagi rakyat Iran saat itu, menjadi ikon, simbol perlawanan dan menjadi inspirator menuju Revolusi Iran.

Khomaeni menjadi kekuatan moral di saat rakyat Iran merindukan sosok figur di tengah keputusasaan secara politik bagi rakyat Iran.

HRS adalah Habib yang hidup di negara yang menganut budaya state family di mana hubungan personal, kekerabatan, dan solidaritas sosial lebih penting dari pada pendekatan administrative – legalitas formal. (*)

Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Kalimanan Banjarmasin

==========Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tags
Opini