Opini

Guru dan Nilai-Nilai

Oleh: Roni Aryanto Konon, beberapa saat setelah Amerika Serikat dan sekutunya menjatuhkan bom atom di kota…

Foto: freepick.com

Oleh: Roni Aryanto

Konon, beberapa saat setelah Amerika Serikat dan sekutunya menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang Hirohito langsung meminta laporan pada para jenderalnya.

Pertanyaan pertama yang meluncur dari mulutnya bukan berapa kerugian yang Jepang derita, bukan pula berapa jiwa yang menjadi korban karenanya. Kaisar Hirohito diluar dugaan bertanya, berapa guru yang tersisa? Sang Kaisar kemudian menitahkan penyelamatan dan rehabilitasi guru untuk menjadi prioritas utama. Pendidikan dan pelatihan guru baru menjadi prioritas berikutnya.

Cerita di atas mungkin hanya sepertiganya yang bernilai sejarah, tetapi fakta-fakta zaman now menunjukkan bahwa pemimpin Jepang zaman old telah mengambil keputusan yang terbukti tepat. Jepang modern telah menjadi salah satu negara paling maju di dunia. Mereka sangat kompetitif untuk bisa bersaing dengan negara-negara maju lain dalam berbagai bidang. Semuanya tentu berhulu pada sistem pendidikan yang tepat dengan guru sebagai ujung tombaknya.

Guru memegang peran utama, dianggap sebagai profesi yang mulia dan mendapat penghargaan yang tinggi baik secara sosial, legal, maupun finansial.

Dalam tulisan ini kita tidak akan membahas tentang guru sebagai profesi formal dalam sistem pendidikan kita, apalagi sampai memperdebatkan ihwal kesejahteraan guru. Sungguh perdebatan tak berujung soal itu hanya akan mendegradasi marwah guru itu sendiri. Kita hanya akan berbicara tentang apa yang telah kita (guru) lakukan. Sudahkah kita menanamkan nilai-nilai?
Kenapa harus nilai-nilai? Karena kita hanya teringat dengan nilai yang satu, dan sering lupa akan nilai yang lain. Kita hanya pandai memberi predikat nilai dalam skala angka maupun aksara, tapi kita alpa memberi nilai (baca: teladan) dalam rupa karakter dan akhlak mulia.

Salahkah kita? Ruang debat untuk saling mencari kesalahan akan masalah ini akan selalu terbuka, tentu kita tidak mau itu terus terjadi. Jadi, mari menyalahkan diri sendiri.

Dalam terjemahan bebas dari Oxford Learner's Pocket Dictionary, nilai (score) berarti "predikat yang diperoleh dari hasil tes atau ujian". Sedangkan nilai (value) berarti "kualitas yang menjadikan sesuatu menjadi berguna dan penting".

Selama ini, disadari atau tidak, kita menjual sebagian besar waktu kita "hanya" untuk memformulasikan nilai (score) anak didik kita. Sedangkan kepentingan nilai (value) mereka hanya sebatas dalam pemikiran, atau bahkan hanya dalam angan. Pastinya tidak semua dari kita, tapi tidak terbantahkan bahwa fakta tersebut benar-benar terjadi dalam ruang-ruang pendidikan kita.

Untuk menghindari ambigu lebih jauh dengan istilah nilai (score), nilai (value) bisa kita padankan dengan "karakter atau akhlak mulia". Karakter inilah yang sesungguhnya akan membentuk manusia (anak didik) menjadi manusia seutuhnya. Tanpa karakter dan akhlak mulia, manusia yang mempunyai nilai (score) tinggi hanyalah akan menjadi manusia rendah, baik itu dimata manusia lain atau dimata Tuhan. Karena itu tidaklah berlebihan kalau kita bersepakat bahwa nilai karakter dan akhlak mulia lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan hanya sekedar nilai akademis berupa huruf dan angka.

Tentu saja nilai (score) tetap menjadi hal yang penting, terlebih sistem kurikulum pendidikan kita menegaskan hal itu. Dunia usaha pun sebagai output user juga masih mempersyaratkan kemampuan akademis tersebut. Tetapi sudah saatnya bagi kita para guru, dan tentu saja bagi pemangku kepentingan lainnya, untuk memberi perhatian lebih pada pendidikan karakter dan akhlak mulia.

Dalam Kilasan Kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2016, pemerintah melalui Kemendikbud setidaknya menjabarkan 2 poin utama program penguatan karakter, yaitu (1) penguatan pendidikan karakter dan (2) penguatan karakter bangsa lewat kebudayaan. Hal tersebut jelas memperlihatkan peran yang diambil pemerintah dalam usaha untuk fokus pada masalah ini.

Mari mendengar cerita dari negara maju, kembali Jepang kita jadikan contoh. Mayoritas penduduk Jepang sangat disiplin. Mereka akan rela berjalan puluhan meter hanya untuk mencari zebra cross, padahal mereka bisa saja menyeberang di sembarang tempat. Sungguh suatu contoh kecil kesuksesan guru-guru Jepang dalam menanamkan nilai disiplin. Bisa saja cerita di atas tidak benar, tapi tidak ada salahnya jika kita berbaik sangka dengan mempercayainya. Faktanya, Jepang adalah negara maju karena karakter kuat penduduknya.

Seorang praktisi pendidikan pernah bercerita bahwa di Finlandia pendidikan karakter kejujuran sudah tuntas saat peserta didik masih duduk di tingkat yang setara dengan sekolah dasar. Kita bisa saja skeptis dan tidak percaya, tapi melihat kemajuan negara dan rendahnya kriminalitas di sana, sungguh bisa saja itu benar-benar terjadi. Dan masih banyak cerita lain tentang suksesnya guru-guru di negara maju yang sering terdengar di telinga kita. Jadi, kapan kita seperti mereka?

Mengutip istilah dari seorang pemuka agama Islam terkenal, mari kita mulai lagi semuanya dengan 3M. Yang pertama, "Mulailah dari diri sendiri", karena tidak ada gunanya berargumentasi saling menyalahkan sedangkan akhlak kita belum tentu lebih baik. Tak elok menyuruh anak didik jujur sedangkan lidah kita tak ragu berkata bohong. Yang kedua, "Mulailah dari hal yang kecil", karena semua yang besar selalu berawal dari yang kecil. Kebiasaan baik selalu dimulai dari hal yang kecil.

Yang terakhir, "Mulailah dari sekarang". Kapan lagi? Sekarang. Penundaan hanya akan mengerdilkan masa depan anak-anak kita. Ataukah kita sudah terlalu nyaman dengan keadaan ini? Dengan cukup menuliskan nilai dalam huruf dan angka, sambil menghitung tunjangan sertifikasi?

Selamat Hari Guru

*
Penulis adalah guru Bahasa Inggris di SMPN 2 Kusan Hulu