Jejak Kejahatan Lingkungan

Gurita Harita Group, Jatam: Hentikan Investasi dan Tegakkan Hukum

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar mendesak pemerintah agar segera mengevaluasi seluruh operasional Harita group.

Aksi sejumlah Masyarkat pulau Wawoni menghalau penerobosan lahan oleh salah satu gurita bisnis Harita group. (Foto: dok. Jatam)

apahabar.com, JAKARTA - Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi kegiatan operasi Harita Group. Alasannya, ekstraksi nikel yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di bawah gurita Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang dan tak terpulihkan.

"Segera hentikan investasi, kemudian lakukan penegakan hukum dan pemulihan kerusakan akibat gurita bisnis Harita Group," ujar Melky dalam diskusi Laporan Jatam: Jejak Kejahatan Lingkungan dan Kemanusiaan di Balik Gurita Bisnis Harita Group pada Jumat (23/3).

Menurutnya, industri ekstraktif seperti pertambangan nikel telah menuntut pembukaan lahan skala besar. Selain itu, aktivitas pertambangan juga mencemari air, udara, dan laut sehingga berdampak terhadap kesehatan warga.

Hal lainnya, kegiatan pertambangan berdampak buruk terhadap ekosistem. Membongkar kawasan hutan alam yang memicu deforestasi, hingga memunculkan aksi kekerasan beruntun terhadap warga lokal.

Baca Juga: Melanggar Aturan, KKP Hentikan Reklamasi Tambang Nikel di Morowali

Kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan seharusnya dianggap sebagai bagian dari kerugian negara. Namun faktanya, semua itu dibebankan kepada warga lokal.

"Sebaliknya, ragam insentif melalui kebijakan dan regulasi, termasuk jaminan keamanan investasi terus diberikan pemerintah kepada para pelaku industri ini," ungkap Melky.

Berdasarkan penelitian Jatam, rentetan tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan Harita Group sudah semestinya dihentikan dan diproses hukum. Itu diperlukan demi rasa keadilan terhadap para korban.

"Salah satu yang mendesak adalah keberadaan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, Konawe," ujarnya.

Baca Juga: PTUN Batalkan Izin Tambang Nikel Konawe, Kemenangan Bersejarah

Sebagai informasi, Setelah bertahun-tahun menolak aktivitas tambang PT GKP, warga Wawonii akhirnya memenangi gugatan terkait IUP dan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan di Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari.

Kendati demikian, PT GKP justru membangkang dengan terus beroperasi. Bahkan pada 9 Maret 2023 lalu mereka kembali menerobos lahan milik warga di Mosolo Raya.

"Menurut warga, PT GKP terus beroperasi dan mengangkut ore nikel untuk dibawa ke pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara," ungkap Melky.

Sepak terjang Harita Group lainnya adalah terkait aksi korporasi yang terus memperluas wilayah operasional. Bahkan mereka berupaya memindah-paksakan warga Kawasi, Pulau Obi ke Ecovillage. Menurut Jatam, hal itu merupakan kejahatan lingkungan dan HAM karena melakukan pemiskinkan dan mencerabut warga asli dari kampung dan ruang hidupnya yang penuh sejarah.

Baca Juga: Kado Akhir Tahun Warga Wawonii, Perda Nikel Konawe Dibatalkan!

"Langkah PT Trimegah Bangun Persada milik keluarga Lim Hariyanto Sarwono yang melakukan penawaran umum perdana atau IPO pada April mendatang berlangsung di tengah derita warga dan lingkungan yang dibiarkan, tanpa penegekan hukum dan pemulihan," jelasnya.

Karena itu Melky menegaskan, "Sebaliknya, ragam insentif melalui kebijakan dan regulasi, termasuk jaminan keamanan investasi tidak diberikan kepada para pelaku industri ini."

Melky juga khawatir, dana segar yang berhasil dikumpulkan dari penjualan saham perdana (IPO) akan digunakan untuk mempercepat proses produksi demi meraih keuntungan berlipat-lipat. Sementara bagi warga lokal, malapetaka yang terjadi ketika mereka bersikukuh mempertaruhkan masa depan dan ruang hidupnya.

"Seluruh sepak terjang Harita group beserta jejaring korporasi global/regionalnya, dan afiliasi simbiotiknya dengan aparat negara bersenjata. Itu adalah kejahatan kolaboratif negara bersama korporasi," pungkasnya.