Kalsel

Gubernur Sahbirin Mau Digugat karena Banjir Terparah, Walhi-Jatam Sepakat Class Action

apahabar.com, BANJARMASIN – Banjir hebat yang melanda Kalimantan Selatan dua pekan belakangan atau sejak pada 12…

Keluarga wakil bupati HST terpaksa mengungsi secara mandiri akibat banjir yang merendam Barabai, pusat Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kamis, 14 Januari 2021. Foto: Ist

apahabar.com, BANJARMASIN – Banjir hebat yang melanda Kalimantan Selatan dua pekan belakangan atau sejak pada 12 Januari lalu berbuntut panjang. Rencana gugatan warga atau class action terkait banjir mengemuka.

Sejumlah advokat di Banua mengendus keteledoran pemerintah. Mereka berencana membawa persoalan banjir ini ke pengadilan.

“Memang ada beberapa dasar yang kami buat kajian di internal, di antaranya tidak adanya warning sistem atau peringatan dini dari pemprov, pemkab/kota, dan BNPB berkaitan dengan kondisi saat ini. Ternyata tak ada persiapan, ini menjadi kelalaian bagi pemerintah,” beber Ketua Young Lawyer Comitte (YLC) DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Banjarmasin, Muhammad Fazri kepada apahabar.com, Senin (25/1).

Banjir Kalsel Berbuntut Panjang, Lawyer Banua Ancam Gugat Paman Birin

Belakangan, gugatan class action Peradi mendapat dukungan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional, dan Walhi Kalsel.

“Bisa jadi [class action]. Tapi kita pikirkan nanti pasca-tanggap darurat, dan pemulihan banjir,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono kepada apahabar.com.

Menurut Walhi, banjir dampak dari alih fungsi lahan menjadi pertambangan, dan perkebunan monokultur. Walhi melihat warga yang merugi akibat banjir sudah sepatutnya menggugat pemerintah.

“Kami sepakat karena ini sebagai wujud hak konstitusi warga negara yang meminta pelayanan kepada negara, dan negara memiliki kewajiban memastikan itu,” ujar Achmad Rozani, manajer Tata Ruang, dan GIS Walhi Nasional, dihubungi terpisah.

Terkait apa saja yang perlu disiapkan, Rozani mengatakan Walhi Nasional akan berkoordinasi lebih dulu dengan Walhi Kalsel.

Senada, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah melihat ada unsur kelalaian pemerintah dalam menghentikan deforestasi dan suburnya tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit di Bumi Lambung Mangkurat.

Merah, seperti dilansir dari Tirto.id, merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Semestinya sesuai dengan Pasal 71, pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penanggulangan bencana.

Meliputi kebijakan pembangunan yang bisa mengakibatkan bencana, kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana, kegiatan konservasi lingkungan, perencanaan penataan ruang, dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pemerintah, kata Merah, juga semestinya berani mengevaluasi izin-izin tambang dan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan.

Kemudian memberikan sanksi bagi korporasi sebagaimana amanah Pasal 79 dalan UU Kebencanaan; berupa pidana penjara dan denda hingga pencabutan izin usaha.

"Pemerintah bisa digugat dan disanksi karena menyebabkan bencana lewat kebijakannya menerbitkan izin tambang," ujar Merah.

Sebagai pengingat, gugatan class action pernah dilayangkan ratusan warga ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, awal 2020 lalu.

312 korban banjir itu meminta majelis hakim untuk menghukum Gubernur Anies dengan membayar ganti rugi materiil sebesar Rp60 miliar dan ganti rugi Rp1 triliun ke para penggugat.

Mereka menilai pemerintah abai karena tidak memberikan peringatan dini agar warga korban bisa bersiap diri menghadapi banjir yang melanda Jakarta, 1 Januari 2020 silam.

Tembus 100 Ribu Jiwa

Warga di Sungai Tabuk ramai mendirikan posko pengungsian darurat pasca-banjir menerjang. Foto: Dok.apahabar.com

Sampai hari ini, bencana banjir membuat 100.881 warga Kalsel mengungsi. Presiden Jokowi menyebut banjir yang melanda Kalsel menjadi yang terparah sejak 50 tahun terakhir.

“Ini saya meninjau banjir Provinsi Kalimantan Selatan yang terjadi di hampir 10 kabupaten dan kota. Ini adalah sebuah banjir besar lebih dari 50 tahun tidak terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan,” kata Jokowi saat mengunjungi Jembatan Sungai Salim, Jalan Ahmad Yani Km 55, Kabupaten Banjar, Senin 18 Januari kemarin.

Catatan Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam, 33 persen dari itu, setara 1,2 juta hektare, dikuasai pertambangan batu bara, dengan total perizinan mencapai 553 IUP Non-CnC (Izin Usaha Pertambangan non-Clean and Clear) dan 236 IUP CnC (Clean and Clear). Sementara luas perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen luas wilayah.

IUP CnC sendiri merupakan IUP yang memenuhi persyaratan administratif dan kewilayahan, sementara Non-CnC sebaliknya.

Sementara, Wahana Lingkungan Hidup mencatat sebanyak 234 ribu hektare atau 15 persen dari luas Kalsel sudah berisi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 567 ribu hektare atau 6 persen berisi izin IUPHHK Hutan Tanaman.

Walhi juga menemukan sebanyak 814 lubang di Kalimantan Selatan milik 157 perusahaan tambang batu bara. Sebagian lubang berstatus tambang aktif, dan sebagian lagi telah ditinggalkan tanpa reklamasi.

Sudah hampir dua pekan bencana banjir menerjang Kalimantan Selatan. Lembaga Penerbangan, dan Antariksa Nasional atau LAPAN menemukan luasan genangan banjir tertinggi mencapai 60 ribu hektare di Barito Kuala, Kabupaten Banjar 40 ribu hektare, Tanah Laut 29 ribu hektare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 12 ribu hektare, Hulu Sungai Selatan 11 ribu hektare, Tapin 11 ribu hektare, dan Tabalong sekitar 10 ribu hektare.

Sementara luas genangan air di Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Kota Banjarmasin, hingga Kabupaten Murung Raya antara 8 sampai 10 ribu hektare.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalsel mencatat, hingga Senin 25 Januari, jumlah korban banjir mencapai 584.279 warga dari total 171.329 kepala keluarga.

BPBD Kalsel mencatat 94.029 rumah terendam, dan sebagian rusak akibat terjangan banjir. Air bah juga meluluhlantakkan 68 jalan, 75 jembatan, 608 rumah ibadah, dan 735 sekolah.

Jumlah pengungsi akibat banjir sampai hari ini mencapai 100.881 jiwa, dengan total yang sudah keluar mencapai 17.004 jiwa. Banjir terparah merendam Kabupaten Banjar, dengan 235.076 jiwa dari 55.904 KK, 1.254 di antaranya mengungsi.

Ke mana Kebijakan Satu Peta?

Banjir yang melanda Kalsel dua pekan belakangan membuat ratusan ribu warga mengungsi. Foto: Dok.Humas Pemprov Kalsel

Walhi menyebut 41 persen wilayah Kalsel telah dikuasai izin tambang. Bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Walhi kini mengkritisi tidak adanya nomenklatur wilayah adat dalam Kebijakan Satu Peta di Kalsel.

Sejak awal 2021, Walhi mencatat 168 kejadian bencana hidrometeorologi berupa banjir dan tanah longsor. Adapun lokasinya seperti Sumedang, Bojonegoro, Tuban, Manado, Aceh Tamiang, Gayo.

“Dan yang terbesar diKalimantan Selatan dengan dampak luas dan melumpuhkan aktivitas sosial ekonomi di 11 kabupaten/kota,” ujarnya.

Walhi menyebut kejadian bencana di Kalsel dan di daerah lainnya ini merupakan satu potret fakta bencana hidrometeorologi yang terus berulang dan menghantui rakyat Indonesia.

Pendapat banyak pihak menyatakan bencana hidrometeorogis yang terjadi disebabkan oleh kegiatan ekstraktif manusia yang terus mengurangi kemampuan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan.

“Sehingga bencana inisebuah keadaan yang sebenarnya mampu untuk dicegah oleh para pengurus negara melalui kebijakan ruang dan pembangunan yang berpihak pada keselamatan sosial ekologi,” jelasnya.

Terparah dalam Sejarah, Jokowi Blakblakan Biang Kerok Banjir Kalsel

Namun faktanya, kata dia, hingga hari ini apa yang digaungkan pemerintah tentang corrective action terutama dari sisi tanggung jawab negara untuk upaya melindungi dan mencegah kerugian kerusakan dampak bencana masih menjadi hanya sekedar lipservice.

“Jika pun ada upaya namun masih sangat lambat dan sangat normative,” nilainya.

Banjir dan Ancaman Tim Paman Birin, “Sudah Jatuh Warga Tertimpa Tangga”

Rozani mengatakan yang harus dipahami oleh pengelola negara bahwa kejadian bencana yang terus berulang dan diikuti dengan kecenderungan kerugian dan kerusakan yang terus membesar tentu tidak terlepas dari hasil produk politik ekologi sosial yang telah dibuat negara melalui instrumen kebijakan dan aturan yang masih proinvestasi dan terus mengorbankan infrastruktur sosial ekologi yang ada.

“Bahkan ini diperparahlagi ada motif komodifikasi terhadap bencana yang selama ini terjadi,” ujar Rozani.

Senada, Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Imam Hanafi mengatakan sesuai dengan tujuannya, keberadaan kebijakan satu peta atau onemap policy bisa menjadi rujukan awal dalam pengelolaan ruang yang berwawasan lingkungan.

“Selain sebagai dasar bagi proses penyelesaian konflik ruang melalui proses sinkronisasinya,” ujarnya.

Saat ini kebijakan satu peta sudah sampai pada tahap sinkronisasi IGT (Informasi Geospasial Tematik) dan menetapkan Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI) yang ada di 17 Provinsi.

Yakni Riau, Sulawesi Selatan, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua Barat.

“Tapi dalam pelaksanaanya hanya sekadar untuk memfasilitasi kompromi tumpang tindih sektor IGT yang ada di kementerian dan lembaga,” jelasnya.

Tak adanya Informasi Geospasial dari masyarakat (lokal/adat) tentang ruang sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam wujud Peta Partisipatif dalam Kebijakan Satu Peta seperti hilangnya WalidataIGT Wilayah Adat dinilaiberdampak terhadap tidak adanya nomenklatur wilayah adat dalam Kebijakan Satu Peta.

Ketiadaan peta partisipatif yang dibuat oleh masyarakat (Lokal/Adat) inilah yang menjadi entry point timbulnya bencana ekologi dan social akibat lemahnya peran serta masyarakat untuk terlibat dalam mengontrol ruang dan lingkungan sekitarnya, khususnya jika berhadapan dengan klaim negara atau perizinan.

"Sehingga di tengah kehendak publik bagaimana upaya pencegahan dan pengurangan dampak negatif bencana yang lebih serius dalam kerangka kebijakan negarayang tepat guna dan tepat tempatmaka penting untuk pemerintah menyegerakan revisi perpres kebijakan satu peta ke depan,” jelasnya.

Termasuk juga bersikap lebih terbuka dan partisipatif terhadap data dan inisiatif yang rakyat lakukan. Perlu diingat, kata dia, juga penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan merupakan bagian Rencana Kerja Prioritas Pemerintah yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024.

“Khususnya dalam lampiran 1 narasi RPJMN serta lampiran 4 arah pembangunan wilayah RPJMN" lanjut Rozani.

Kembali ke Imam Hanafi, ia menambahkan, Perpres Kebijakan Satu Peta berikutnya harus dapat menjawab beberapa permasalahan seperti mengakomodir data spasial masyarakat yang tertuang dalam peta partisipatif, serta mengintegrasikan dalam Kebijakan Satu Peta.

Sehingga dapat menjadi salah satu data rujukan dalam proses sinkronisasi spasial dalam rangka penyelesaian konflik tumpang tindih ruang danpenegasan status ruang.

“Permasalahan berikutnya adalahmengembalikan keberadaan dan fungsi walidata bagi masyarakat adat bagi proses pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat di Indonesia, hilangnya nomenklatur wilayah adat akan berpotensi mengancam keberadaan mereka sebagai entitas utuh dari masyarakat hukum adat,” ujarnya.

Dan yang terakhir yaitu terbatasnya akses masyarakat untuk dapat mengakses Informasi Geospasial melalui JIGN (Jaringan Informasi Geospasial Nasional).

Hal ini kemudian berakibat pada ketidaktahuan publik tentang sejauh mana IGT itu dikompilasi, diintegrasi maupun disinkronisasi dalam Kebijakan Satu Peta.

“Kemudian kebijakan tersebut akanberjalan tanpa pengawasan dari publik,” paparnya.

Walhi, dan JKPP mendesak pemerintah:

1. Revisi Perpres Nomor 9 Tahun 2016, substansi dan targetnya harus mampu menerima produk geospasial yang dibuat oleh rakyat.

2.Peta Partisipatif harus menjadi dasar dalam melakukan proses verifikasi dalam tahapan sinkronisasi dan penyelesaian tumpang tindih IGT yang dibuat oleh Wali Data (Kementerian dan Lembaga) terhadap wilayah kelola masyarakat (adat/lokal).

3.Data dan Informasi atas status peta HGU, HPL, HGB, Peta Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan dalam bentuk IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, Peta Izin Usaha Pertambangan harus terbuka sebagai pengawasan dan kontrol publik.

4.Perlunya adanya walidata atas wilayah adat untuk melengkapi dan menegaskan keberadaan Hutan Adat dan Hak Komunal (tanah ulayat).

5.Kompilasi, integerasi dan sinkronisasikan peta masyarakat (masyarakat adat dan lokal) ke dalam Kebijakan Satu Peta sebagai salah satu data rujukan dalam melakukan proses verifikasi status dan fungsi ruang lintas kementerian.

6.Dalam rangka mewujudkan partisipasi masyarakat terhadap Kebijakan Satu Peta, diperlukan adanya kejelasan mekanisme adopsi, verifikasi, registrasi dan penetapan serta standarisasi oleh walidata (NSPK).