Kalteng

Greenpeace: Kalteng Terancam Karhutla dan Banjir Tiap Tahun

apahabar.com, JAKARTA – Kalimantan Tengah berpotensi terus terancam dengan Banjir dan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla)…

Ilustrasi banjir. Foto-Antara

apahabar.com, JAKARTA – Kalimantan Tengah berpotensi terus terancam dengan Banjir dan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di tiap tahunnya.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan, ketika musim hujan, Palangka Raya sering terkena banjir. Namun, saat musim kemarau, kota ini juga dikepung kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Itu terjadi karena deforestasi di wilayah gambut termasuk pengeringan,” kata Arie, dilansir CNNIndonesia.com, Jumat (19/11).

Arie menjelaskan, Palangka Raya seperti daerah di Indonesia pada umumnya, yaitu terdiri dari daerah aliran sungai (DAS). Namun, daerah ini juga mempunyai karakteristik yang berbeda.

Di bagian hulu, kata Arie, Palangka Raya didominasi oleh hutan alam primer. Lalu, di bawahnya terdapat ekosistem gambut. Jika pohon dibabat di hulu, maka dapat memicu terjadinya banjir.

Air itu akan mengalir ke kawasan gambut. Arie menjelaskan, air itu seharusnya dapat diserap oleh gambut. Sebab, gambut punya fungsi hidrologi yang bagus.

Namun, gambaran ideal itu tidak terjadi di Palangka Raya sehingga air yang tidak dapat diresap itu menjadi bencana banjir.

“Kalau musim banjir, jika deforestasi itu terjadi di wilayah hulu itu akan berdampak terhadap daya dukung dan daya tampung kapasitas DAS-nya itu sendiri sehingga banjir itu sering terjadi,” kata dia.

Arie menambahkan, di sisi lain, gambut mengandung emisi karbon yang tinggi. Sehingga, ketika musim kemarau tiba, tanaman itu mudah terbakar.

Namun, kondisi itu tak akan menjadi parah dan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dalam skala besar jika tak terjadi deforestasi dan rehabilitasi gambut dilakukan.

“Nah gambut itu yang kemudian semakin hari semakin terkikis. Ketika musim kemarau dia menjadi kering. Kalau dia kering sangat mudah terbakar itu akan terus berulang,” ucapnya.

Arie menjelaskan, deforestasi di Kalimantan umumnya didorong oleh permintaan global akan kayu, perluasan industri kelapa sawit dan karet, pertumbuhan pertanian skala kecil, dan kebakaran hutan yang berulang.

Berdasarkan data Greenpeace, hutan primer di Palangka Raya hilang sekitar 38 juta ha dalam kurun waktu 2001-2020.

Sementara itu, tutupan hutan di sekitar DAS yang ada di Palangka Raya, Kahayan juga menurun drastis. Ia mengungkapkan, tahun 1990 tutupan hutan masih 969.836 ha. Namun, pada 2020, tutupan hutan menjadi 570.847 ha.

“DAS Kahayan di ambang Kritis dengan tutupan hutan seluas 37 Persen,” ujarnya.

Lebih lanjut, Arie juga menyebut deforestasi di Palangka Raya juga dipengaruhi oleh proyek Food Estate, proyek lumbung pangan yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Berdasarkan catatan LBH Palangka Raya, sudah ada 634 hektare lahan yang telah diolah. Seluas 32 hektare di antaranya telah ditanami singkong. Target pembukaan lahan food estate di sana adalah 1 juta hektare.

“Ada proyek food estate. Dari di desa desa sekitar food estate itu udah terpengaruh langsung ya karena sungai sungai yang mengalir ke DAS Kahayan yang terhubung dengan proyek food estate itu sudah terjadi kebanjiran,” ujarnya.