Kalsel

Geramnya Jaksa KPK ke Adik Bupati HSU: Bapak Sekda Loh Pak!

apahabar.com, BANJARMASIN – Jaksa dari KPK dibuat geram oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Hulu Sungai Utara…

Jaksa KPK mencecar ragam pertanyaan umum mengenai fungsi sekretaris daerah di lingkup Pemkab HSU ke HM Taufik. apahabar.com/Syahbani

apahabar.com, BANJARMASIN – Jaksa dari KPK dibuat geram oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), HM Taufik. Bahkan saat dicecar beragam pertanyaan dasar sekalipun.

Kurang lebih satu jam adik bupati nonaktif HSU itu duduk di kursi panas ruang persidangan I Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Rabu (8/12).

Sederet pertanyaan dilontarkan kepadanya. Dari soal proses pengangkatan Maliki sebagai Plt Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP), kedekatan dengan Wahid, penggunaan anggaran, hingga kasus operasi tangkap tangan (OTT).

Namun tampaknya hasil kesaksian Taufik tak sesuai harapan jaksa KPK. Taufik tampak irit bicara. Jawabannya terkesan berbelit.

Taufik mengaku banyak tak tahu tentang apa saja pekerjaan Pemkab HSU meski ia seorang sekda.

Termasuk soal alur penganggaran walau ia menjabat sebagai ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).

“Bapak ini sekda loh pak,” ujar jaksa saat mencecar pertanyaan ketentuanPasal 22 terkait TAPD.

Taufik juga mengaku tak mengetahui kapan pengusulan proyek rehabilitasi irigasi Desa Kayakah dan Banjang yang menjadi pemicu terbongkarnya kasus suap di HSU.

“DIR di Desa Kayakah. Saya tidak tahu kapan diusulkan,” kata Taufik.

Selain itu, Taufik juga mengaku tak mengenal dua terdakwa, Fachriadi dan Marhaini. “Saya tidak kenal dengan terdakwa,” kata pria yang menjabat sekda sejak 2018 silam.

Bahkan paling parah, sebagai Sekda Taufik kesulitan mengingat saat ditanya jaksa KPK terkait kepanjangan Dinas PUPRP.

Alhasil, sikap Taufik di persidangan membuat jaksa KPK mempertanyakan kredibilitasnya sebagai pejabat nomor tiga di Pemkab HSU.

Ketua Majelis Hakim, Jamzer Simanjuntak sempat memberikan nasihat agar Taufik bisa memberikan keterangan apa adanya dalam memberikan kesaksiannya.

“Saksi itu kan yang dilihat, yang didengar dan dirasakan. Ungkap saja,” kata Jamser.

Sidang lanjutan kasus suap megaproyek irigasi di HSU sebelumnya memasuki babak baru. Sejumlah saksi kunci mulai dihadirkan jaksa dari KPK.

Sidang kasus suap yang menjerat Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) HSU, Maliki itu digelar di Pengadilan Tipikor Banjarmasin sejak Rabu (8/12) pagi.

Pantauan apahabar.com, terdakwa Fachriadi dan Marhaini hadir mengikuti sidang secara virtual dari Lapas Banjarmasin. Keduanya adalah kontraktor penyuap Maliki.

Sidang digelar secara terbuka di ruang sidang I Pengadilan Tipikor Banjarmasin pukul 10.00 atau molor satu jam dari jadwal sebelumnya.

Sidang yang digelar untuk kedua kalinya beragendakan pembuktian dari jaksa penuntut umum (JPU) KPK.

Kali ini, rencananya jaksa KPK bakal menghadirkan empat saksi sekaligus.

“Rencana ada empat saksi. Tapi hadir baru tiga,” ujar salah seorang jaksa.

Salah satu saksi merupakan Sekretaris Daerah Kabupaten HSU, HM Taufik. Taufik juga merupakan adik daripada Bupati nonaktif HSU, Abdul Wahid.

Taufik sendiri terpantau tiba di Pengadilan Tipikor Banjarmasin sekitar pukul 09.00.

Selain Taufik, dua saksi lain adalah Hj Hairiah, Kasi Pembangunan, Bidang Sumber Daya Air, Dinas PU HSU, dan Ratna Dewi Yanti, Konsultan Pengawas Proyek Irigasi Banjang, HSU.

“Satu masih di perjalanan,” ujar jaksa, pagi tadi.

Korupsi Bupati HSU: Satu Lagi Saksi KPK Tutup Usia

Sebagai pengingat, 18 November, KPK menetapkan Bupati HSU Abdul Wahid sebagai tersangka suap pengadaan barang dan jasa di proyek Irigasi Banjang dan Kayakah.

Penangkapan Wahid berawal dari operasi tangkap tangan tim KPK pada dua bulan sebelumnya atau 15 September 2021 di Amuntai.

Kala OTT, KPK menangkap Maliki, Pelaksana tugas Kepala Dinas PU HSU; Direktur CV Hanamas Marhaini (MRH); dan Direktur CV Kalpataru Fachriadi (FH) di lokasi yang berbeda.

Marhaini dan Fachriadi selaku pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor junto Pasal 65 KUHP.

Sedang Maliki selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor junto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Sementara, Wahid yang ditetapkan tersangka kemudian diduga ikut menerima suap dan gratifikasi hingga senilai total Rp18,9 miliar disangka Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 KUHP Jo Pasal 65 KUHP.

Kronologis suap di halaman selanjutnya:

Kronologis Suap

Kedua terdakwa, sesuai dakwaan mengadakan pertemuan khusus dengan Maliki. Mereka dijanjikan akan memperoleh proyek. Namun, di tengah jalan keduanya diminta fee 15 persen dari nilai proyek oleh Bupati HSU non-aktif, Abdul Wahid.

Proyek yang akan dikerjakan itu ada di tahun 2021, di antaranya pengerjaan rehabilitasi jaringan irigasi daerah irigasi rawa (DIR) Kayakah, Amuntai Selatan dengan nilai pagu Rp2 miliar.

Untuk memuluskan proyek, atas persetujuan Bupati HSU non-aktif, Abdul Wahid akhirnya perusahaan terdakwa CV Kalpataru ditunjuk sebagai pemenang lelang pengerjaan sebesar Rp1.555.503.400.

Dan berdasarkan kesepakatan, setelah pencairan uang muka sebesar Rp346.453.030, terdakwa melalui Mujib Rianto menyerahkan fee pertama sebesar Rp70 juta kepada Abdul Wahid melalui Maliki.

Demikian juga setelah pencairan termin I sebesar Rp1.006.017.752 terdakwa melalui M Mujib Rianto kembali menyerahkan uang fee sebesar Rp170.000.000 kepada Abdul Wahid melalui Maliki.

Sementara Marhaini selaku Direktur CV Hanamas juga memberikan fee secara bertahap dengan nilai keseluruhan Rp300 juta kepada Abdul Wahid.

Atas persetujuan Abdul Wahid, perusahaan terdakwa yakni CV Hanamas ditunjuk sebagai pemenang dengan nilai pekerjaan sebesar Rp1.971.579.000.

Penyerahan uang Rp300 juta tersebut dilakukan terdakwa secara bertahap. sesuai kesepakatan setelah uang pencairan uang muka sebesar Rp526.949.297, terdakwa melalui M Mujib Rianto menyerahkan uang fee sebesar Rp125 juta kepada Abdul Wahid melalui Maliki.

Demikian juga setelah pencairan termin I sebesar Rp676.071.352, terdakwa melalui M Mujib Risnto telah menyerahkan uang fee sebesar Rp175 juta kepada Abdul Wahid