Kasus Gizi Buruk

Gegara Marak Pernikahan Dini, Jember Jawara Kasus Stunting di Jatim

Pemerintah Kabupaten Jember mengungkap sejumlah kendala dalam penanganan stunting. Tingginya angka pernikahan dini hingga budaya memberi asupan makan pada bayi

Kasus Stunting di Kabupaten Jember Tertinggi di Jawa Timur, Capai 34,9 Persen. (Foto: Dok. Pemkab Jember)

apahabar.com, JEMBER - Pemerintah Kabupaten Jember mengungkap sejumlah kendala dalam penanganan stunting. Tingginya angka pernikahan dini hingga budaya memberi asupan makan pada bayi jadi salah satu faktor penyebab kasus stunting.

Data terbaru dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dari Kementerian Kesehatan menyebut kasus stunting balita di Kabupaten Jember tertinggi dari 38 Kabupaten dan Kota di Jawa Timur, yakni 34,9 persen di tahun 2022.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember Koeshar Yudyarto mengungkapkan faktor pertama yang menjadi sorotan yakni masih tingginya angka pernikahan dini.

Baca Juga: Menelusuri Jejak Dugaan Penggelapan Pajak Tanah Rp238 Miliar di Jember

Ibu yang hamil di usia dini, kata Koeshar, berisiko tinggi melahirkan anak kurang gizi. Sebab, secara fisik sang ibu belum siap untuk hamil.

"Apabila ibu menikah belum waktunya. Belum siap fisiknya untuk hamil. Sehingga saat hamil ibunya kurang gizi, akhirnya melahirkan anak kurang gizi," kata Koeshar Yudyarto saat dihubungi apahabar.com, Senin (30/01).

Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tahun 2022 lalu, mencatat Jember menduduki angka dispensasi kawin (diska) mencapai 1.388 permohonan, dengan rasio 0,25 persen dari seluruh jumlah penduduk di Jember.

Persoalan lain, kata Koeshar, masih rendahnya pengetahuan ibu tentang makanan yang baik dikonsumsi untuk anak.

Baca Juga: 3 Kuasa Hukum Kiai Tersangka Pencabulan Santri di Jember Mengundurkan Diri

Terbaru, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan agar setiap daerah melarang pemberian makanan instan seperti biskuit dan bubur kepada anak.

Pemkab Jember sendiri sudah menginstruksikan kepada OPD, puskesmas dan rumah sakit agar memberi tambahan nutrisi yang tinggi protein.

"Untuk menjalankan instruksi dari presiden. Agar memberi makanan tambahan yang tinggi protein, kemarin itu jangan pakai biskuit lagi," jelasnya.

Budaya Makanan Tambahan ke Balita

Koeshar menambahkann selain tingginya pernikahan dini, faktor penyebab tingginya angka stunting adalah karena kendala penanganan stunting yakni adanya budaya orangtua yang langsung memberi makanan tambahan pada balita di bawah usia 6 bulan.

Padahal, tumbuh kembang anak harus diperhatikan lewat pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.

"ASI eksklusif harus penuh, sementara di Jember ada pendapat orangtua memberi makanan tambahan selain ASI sampai anak umur 6 bulan, dikasih bubur, air kelapa, mie instan," katanya.

Baca Juga: Usai Kades, Giliran Ketua RT-RW di Jember Persoalkan Masa Jabatan

Sementara itu, salah satu kader Posyandu di Desa Sruni, Kecamatan Jenggawah, Masruroh menyebut sejumlah kendala edukasi terkait penanganan stunting. Salah satunya, para ibu-ibu terkadang tidak terima bila anaknya disebut stunting.

"Masalahnya ada beberapa yang tidak terima kalau anaknya disebut kategori stunting. Sampai ada yang gak mau datang ke Posyandu lagi," kata Ruroh.

Selain itu edukasi agar memberi ASI eksklusif pada anak juga sulit dilakukan karena masih melanggengnya budaya langsung memberi pisang pada bayi yang baru lahir.

"Jadi bayi baru lahir itu langsung diberi makan pisang. Katanya kalau hanya asi tidak kenyang," ujarnya.