Tak Berkategori

Gapki Tepis Isu Perusahaan Sawit Rusak Ekosistem

apahabar.com, BANJARBARU – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berusaha menepis isu miring yang selama ini…

Ketua Umum Gapki Kalsel, Eddy Sapta Binti (kiri) dan Perwakilan Gapki Pusat, Agam (kanan). Foto-apahabar.com/Musnita Sari

apahabar.com, BANJARBARU – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berusaha menepis isu miring yang selama ini menerpa industri produksi minyak di Indonesia.

Tak hanya oleh masyarakat, tetapi masalah kampanye hitam (black campaign) minyak sawit (crude palm oil) Indonesia oleh negara-negara Eropa beberapa waktu lalu.

“Dengan cara begini, kami mengadakan diskusi. Mensinergikan antara Pemda dan Gapki, bahwa isu-isu negatif terhadap sawit tidak benar semuanya,” ungkap Ketua Umum Gapki Kalsel, Eddy Sapta Binti saat ditemui di sela acara Focus Group Discussion (FGD) Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Membangun Hutan Lestari di ruang rapat H. Aberani Sulaiman Kantor Setda Kalsel di Banjarbaru, Jumat (6/12) siang.

Namun, tak hanya Uni Eropa. Permasalahan juga tak lepas dari dalam negeri sendiri, seperti tumpang tindih kawasan hutan dengan perkebunan kelapa sawit.

Memenuhi intruksi presiden (Inpres) mengenai kelapa sawit berkelanjutan. Gapki juga berharap, sawit dapat menjadi andalan ekspor Indonesia selain tambang.

Sebelumnya, Presiden telah membentuk tim Omnibus Law yang diketuai oleh Rosan Perkasa Roeslani (Ketua Kadin). Program one revolusi yang dibentuk pemerintah, akan diupayakan untuk mensejahterakan rakyat, meningkatkan investasi dan ekspor, serta penyerapan tenaga kerja.

Didampingi Wakil Sekjen Gapki Pusat, Agam Fatchurohman. Gapki kata mereka menggelar FGD yang menghadirkan sejumlah SKPD terkait, diantaranya Dinas Perkebunan dan Peternakan serta Dinas Kehutanan Kalsel untuk saling berdiskusi.

“Misalnya petani-petani yang menanam di kawasan hutan. Bagaimana penyelesaiannya, apakah dapat tetap dilakukan misalnya menjadi agroforestry atau hutan campuran,” ungkap Agam.

Hasil diskusi nantinya kata Agam, diharapkan dapat dinikmati oleh banyak pihak. Meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar kebun, baik anggota plasma maupun petani swadaya dan non sawit.

Disinggung mengenai keterlibatan perusahaan yang membuka lahan dengan cara pembakaran. Agam pun menampik hal tersebut.

“Kalau kita lihat sekarang, apakah ada perusahaan yang membakar untuk membuka lahan, kan sebenarnya tidak ada. Yang ada, dari luar masuk ke dalam,” ujarnya.

Sedangkan berbicara tentang deforestasi, kebun sawit ujarnya dikembangkan oleh mayoritas di lahan-lahan bekas HPH (Hak perusahaan hutan), yang sebagian besar adalah lahan semak belukar. Kemudian direforestasi, perusahaan sawit di Indonesia telah diwajibkan memiliki area high conservation value.

“Jadi area untuk perlindungan seperti konservasi,” sebutnya.

Kemudian pada perusahaan-perusahaan besar, juga telah melakukan assessment HCS (High Carbon Stock).

“Jadi area yang mempunyai stok karbon tinggi yang masih polutan itu biasanya dibuka,” bebernya

Selanjutnya, Agam juga memaparkan perihal Monatorium. Pemerintah katanya, telah memberikan instruksi kepada perusahaan untuk melakukan intensifikasi. Dalam hal ini tidak melakukan peluasan, tetapi menambah produktivitas dengan berbagai cara.

“Untuk yang masyarakat, pemerintah masih memperbolehkan. Tapi sebenarnya pemerintah mengharapkan untuk produktivitasnya tinggi,” ujarnya

Hingga saat ini, pemerintah terus berupaya mendorong peningkatan produktivitas sehingga kebutuhan untuk perluasan lahan akan berkurang.

“Sekarang itu perusahaan rata-rata sudah 25 ton per hektar, masyarakat hanya sekitar 10 ton per hektar. Jadi ketinggalannya sekitar 40-60 persen,” sebutnya mengakhiri.

Baca Juga:Gapki dan Disbunnak Kalsel Soroti Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Baca Juga:Gapki: Ekspor Minyak Sawit Indonesia Naik 13 Persen pada September

Reporter: Musnita Sari
Editor: Syarif