Megaproyek Food Estate

Food is Dead Bukan Food Estate Kalteng

Megaproyek food estate di Kalimantan Tengah gagal. Begitulah pendapat pemerhati sosial Anang Rosyadi.

Masyarakat saat menanam bibit singkong di lahan food estate di Kabupaten Gunung Mas (Foto MNC Kalteng)

apahabar.com, JAKARTA - Megaproyek food estate di Kalimantan Tengah dicap gagal. Begitulah pendapat pemerhati sosial Anang Rosyadi dan sejumlah aktivis lainnya. 

Kata dia, megaproyek itu tak layak disebut food estate. "Tapi food is dead," sindirnya kepada apahabar.com, Minggu (27/8).  

Anang punya alasan menyebutnya begitu. Bagi dia, program pemerintah pusat ini justru membawa dampak buruk. 

Baca Juga: Megaproyek Food Estate Kalteng Tak Punya Kajian Layak

Baca Juga: Senayan Tak Skeptis, Food Estate Kalteng Jadi Sarang Penyamun

Ia lantas memberi contoh. Ada ribuan hektare hutan dibabat. Yang awalnya habitat flora dan fauna, kini menjadi lahan singkong. Gersang. "Tak membawa manfaat banyak untuk lingkungan," imbuhnya.

Masalahnya, singkong yang ditanam pun gagal. Tak produktif. Kata Anang, tidak ada yang bisa dibanggakan dari proyek ini.

"Proyek ini hanya mengusir binatang dari habitatnya. Menghancurkan hutan yang memberi oksigen. Dan mengusir manusia atas hak adatnya," nyinyirnya.

Baca Juga: Food Estate di Kalteng Masih Berlangsung, Walhi Konsisten Menolak

Food estate ini terletak di Desa Tewai Baru, Gunung Mas. Awalnya merupakan kawasan tutupan hutan. Sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air.

Namun, fungsi itu jelas hilang. Karena sudah dibuat gersang untuk lahan penanaman singkong.

Megaproyek food estate juga disebut memperburuk krisis iklim. Karena memicu deforestasi.

Untuk food estate ini, pemerintah setidaknya menggelontorkan budget Rp1,5 triliun. Megaproyek ini dikomandoi oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dan menjadi Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.

Anang menyebut cara pikir pemerintah tak sinkron. Tidak bisa menilai mana yang relevan untuk masyarakat.

Baca Juga: Food Estate Gunung Mas, Walhi: Proyek Gagal, Negara Harus Tanggungjawab

"Di kepemimpinan Jokowi ini, mereka menggunakan anggaran tanpa adab, apalagi akhlak. Kemenhan kok ikut ngurusin pertanian," ucapnya.

Bagi Anang, food estate ini hanya dijadikan alasan. Agar uang negara yang besar itu bisa dikucurkan. Ending-nya, untuk kenikmatan pribadi.

"Siapapun yang memimpin dan berkuasa, baik pejabat publik ataupun swasta memiliki potensi untuk menjadi maling. Dengan siasat anggaran ataupun kebijakan," tutupnya.

Senada, Dwi Putra Kurniawan menyebut Serikat Petani Indonesia (SPI) telah mencap food estate sebagai megaproyek gagal.

"Dari awal sudah kami tolak, ini proyek ugal-ugalan," jelas ketua SPI Kalsel ini dihubungi terpisah.

Infrastrukturnya juga ugal-ugalan, yang menurut Dwi sesat, sebab dirancang oleh kaum-kaum serakah oligarki republik. 

Baca Juga: Food Estate di Kalteng Masih Berlangsung, Walhi Konsisten Menolak

Analogi Dwi, food estate sama halnya dengan proyek korupsi berjemaah dan terstruktur. Singkong dan beras yang digadang menjadi produk andalannya tak sama sekali terlihat di pasaran.

Menggunakan dalil ketahanan pangan, yang ada malah pembukaan lahan secara masif. Bagi Dwi, megaproyek satu ini tak ubahnya proses pencurian kayu hutan secara massal.

"Entah ke mana kayu-kayunya sekarang, mungkin sudah menjadi mebel," sindir Dwi.

"Kalau kasus pidana ada pembunuhan berencana, nah sama dengan food estate Jokowi merupakan korupsi yang dirancang dan pasti direncanakan juga," pungkasnya.

Kondisi lokasi lahan food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng. (Foto: Walhi Kalteng)

Sikap kontra juga datang dari Walhi. Food estate merupakan solusi palsu. Sebab, total lahan intensifikasi dan ekstensifikasi hanya mencapai 165 ribu hektare.

Perubahan pola tanam dari dua kali menjadi tiga kali dalam setahun berujung gagal panen di periode tanam pertama. Berimbas pada tak maksimalnya produksi periode tanam periode berikutnya.

Hal ini yang terkesan sangat dipaksakan bahkan melawan alam. Walhi mencatat food estate telah membuka kawan hutan seluas 600 hektare dari luas area of interest seluas 35 ribu hektare.

Baca Juga: Keras Bro! Sekjen PDIP Sebut Prabowo Menyimpang Soal Food Estate

Pembangunan food estate di Gunung Mas justru memperparah kerusakan lingkungan. Kawasan hutan dan tutupan hutan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air justru dirusak dengan pembukaan lahan singkong.

Sekarang ini proyek food estate singkong di lapangan mangkrak, karena singkong yang ditanam gagal tumbuh.

"Tidak bisa dipanen dan tidak ada aktivitas sama sekali di lapangan," terang Direktur Walhi Kalteng Bayu Herinata.

Baca Juga: Proyek Food Estate, Jurnalis Lingkungan: Ciptakan Gastro Kolonialisme

Ia menyimpulkan proyek food estate yang digarap Probowo Subianto itu gagal total. Pemerintah harus bertanggungjawab dengan menghentikan proyek ini, kemudian melakukan evaluasi.

Termasuk audit menyeluruh pelaksanaan proyek food estate. Sebab indikasi korupsi yang mengakibatkan kerugian negara pada proyek yang bersumber pada APBN tersebut.

"Pemerintah harus memulihkan lingkungan di lokasi food estate yang telah dirusak, baik di hutan atau ekosistem gambut. Itu penting sebagai upaya mitigasi bencana alam di masa depan," jelasnya.