Food Estate Kurang Memihak Rakyat, Justru Ancaman Kerusakan Lingkungan

Digadang-gadang sebagai solusi pangan nasional, program food estate justru dinilai kurang berpihak kepada rakyat.

Presiden Joko Widodo ketika mengunjungi Kapuas di Kalimantan Tengah yang masuk dalam proyek lumbung pangan nasional atau food estate. Foto: Kementan

apahabar.com, JAKARTA - Digadang-gadang sebagai solusi pangan nasional, program food estate justru dinilai kurang berpihak kepada rakyat.

Penilaian itu dicetuskan Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, Sabtu (4/3) dalam diskusi daring bertema 'Food Estate: Untuk Membangun Kedaulatan Pangan?'.

"Selain kurang berpihak kepada kesejahteraan rakyat, kebijakan negara terkait proyek food estate juga membawa ancaman perubahan iklim yang lebih parah," ungkap Uli.

"Mengacu kepada temuan di lapangan, kedaulatan pangan lokal berisiko punah akibat ekspansi monokultur dan penyeragaman pangan yang dipaksakan untuk dikonsumsi dan menjadi komoditas bisnis," imbuhnya.

Uli Arta juga menyebut produksi secara besar-besaran lebih diutamakan, dibandingkan upaya pemenuhan pangan sendiri.

"Sesuai konsep Walhi, solusi situasi ini adalah kembali kepada konsep tata kuasa petani dan masyarakat. Tata kelola praktik lokal, tata produksi hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan tata konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan setempat,” tegas Uli.

Sementara aktivis dan pengamat politik Ray Rangkuti, juga menyesalkan proyek food estate yang selalu menjadi agenda pemerintah dalam setiap periode kepemimpinan presiden terpilih.

Padahal proyek itu tidak pernah memecahkan masalah fundamental pangan nasional, karena lebih menitikberatkan bobot kepentingan ekonomi dibandingkan penyelesaian masalah pangan.

Justru seharusnya pemerintah belajar dari kesalahan masa lalu, sehingga membuat kebijakan yang lebih berhati-hati terkait pangan.

“Berbagai narasi terus bergulir seperti Ibukota Negara (IKN), Omnibus Law, UU KPK, dan reformasi institusi kepolisian. Namun masalah food estate menempati posisi paling akhir dari rangkaian isu ini," papar Ray.

Semestinya pangan harus didorong sebagai agenda publik, termasuk sebagai agenda kampanye 2024. Dengan demikian, masyarakat tidak selalu disajikan berita tentang isu global, tapi juga mulai peduli kepada isu-isu spesifik dan penting.

"Penyebabnya hal itu berkaitan dengan ancaman kesejahteraan masyarakat dan kerusakan alam, mengingat kerugian proyek food estate jauh lebih banyak daripada keuntungan," cecar Ray.

Di sisi lain, proyek food estate juga terbukti belum mampu mengakselerasi hasil panen. Padahal alokasi anggaran yang digunakan dalam periode 2021 hingga 2022 sebanyak Rp1,5 triliun.

"Hal itu terjadi akibat sebagian besar lahan yang ditanami merupakan gambut. Selain selalu basah, juga memiliki tingkat keasaman cukup tinggi yang tidak cocok dengan komoditas pertanian skala besar," sahut Wahyu Perdana, juru kampanye Pantau Gambut.

Dari riset yang dilakukan Pantau Gambut, empat wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah juga terindikasi masuk tingkat kerentanan tinggi (high risk) kebakaran hutan dan lahan.

Diantaranya 190.395 hektare KHG Sungai Kahayan-Sungai Sebangau, "Perlu dicatat bahwa hutan gambut yang dibuka untuk lumbung pangan, dapat melepaskan emisi sekitar 427 ton karbon ke udara," ungkap Wahyu.

Pun ekosistem gambut yang rusak, sangat sulit dan mahal direstorasi. Dibutuhkan waktu 10.000 tahun untuk pembentukan ulang, "Pantau Gambut merekomendasikan agar pemerintah meninjau kembali regulasi food estate," tegas Wahyu.

"Rekomendasi peninjauan itu dilakukan dengan mempertimbangkan dampak kerusakan ekologi dan penurunan kesejahteraan petani lokal sebagai efek negatif,” pungkasnya.