Mati Kesepian

Fenomena Lonely Death, Warga Korea Selatan yang Mati Kesepian

Lonely death atau godoksa berarti meninggal tanpa ada kerabat atau keluarga di sisinya. Fenomena ini adalah hal lumrah di Korea Selatan.

Fenomena Lonely Death atau mati kesepian di Korea Selatan (Foto: Twitter)

apahabar.com, JAKARTA - Bisakah Anda membayangkan, bagaimana jadinya bila tak ada seorang pun yang mendampingi Anda di penghujung usia?

Meski terdengar menyedihkan, fenomena mati kesepian adalah hal lumrah di Korea Selatan.

Fenomena tersebut dikenal sebagai lonely death atau godoksa, di mana berarti meninggal tanpa ada kerabat atau keluarga di sisinya.

Melansir laman hani.kr, kejadian ini umumnya menimpa lelaki usia pensiunan: antara 40 sampai 60 tahun.

Sejalan dengan itu, Yayasan Kesejahteraan Seoul pada 2016 menunjukkan orang yang berusia 50 hingga 59 tahun menyumbang sekitar 524 dari 2.181 kasus dugaan lonely death. Ironisnya, jasad mereka seringkali baru ditemukan berbulan-bulan kemudian.

Hal ini mungkin akan membuat Anda bertanya-tanya, bagaimana bisa penduduk Korea Selatan tinggal sendirian? Mengapa mereka bisa sampai tak punya satu keluarga pun? Merangkum berbagai sumber, berikut ulasan seputar lonely death.

Putus Hubungan Keluarga

Konsep keluarga di Negeri Ginseng, boleh dibilang, sangat berbeda dengan di Indonesia: meski anak sudah dewasa, mereka umumnya tetap mengunjungi orang tua. Namun, di Korea Selatan tidak demikian.

Di sana, orang yang sudah dewasa memutuskan hubungan dengan keluarganya, atau bahkan diputuskan. Alasannya beragam: entah karena kehidupan individualis, kesenjangan sosial dan ketimpangan gender, hingga tekanan akan persaingan hidup yang ketat.

The Postech Times melaporkan putus hubungan yang demikian membuat orang tua terisolasi secara sosial. Lebih lanjut, menurut Korea Herald, isolasi sosial itu dikarenakan kasus pensiun dini, perceraian, kesehatan memburuk, dan pengangguran kaum muda yang kian tinggi.

“Orang dapat mengalami frustasi psikologis, serta kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat karena perubahan sosial-ekonomi,” kata pemimpin Pusat Konseling Lansia Korea, Lee Ho-sun. Hal ini lantas dapat merusak kesehatan fisik, sampai berujung pada kasus lonely death.

‘Mendulang Rezeki’ dari Lonely Death

Meski fenomena lonely death mampu membuat hati trenyuh, segelintir pihak memanfaatkan momen ini untuk mendulang rezeki.

Caranya, dengan membuka penyedia jasa yang khusus membersihkan rumah dan barang-barang milik orang yang mati kesepian.

Salah satu perusahaan tersebut, Harworks KR, mengatakan bahwa ada cukup banyak kasus kematian sendirian yang mereka tangani.

Biasanya, jasa ini dipanggil ketika jasad sudah ditemukan dalam kondisi dekomposisi parah.

Hal tersebut berarti, jenazah sudah membusuk sampai membuat pemilik rumah, tetangga, atau anggota keluarga lain tak mampu menanganinya.

Ironisnya lagi, petugas pembersih seringkali menemukan obat anti-depresan, tumpukan botol alkohol, serta sampah yang berserakan.

Salah seorang petugas bernama Kim Wan, sebagaimana dikutip dari CNN, tak jarang merasa sakit hati saat membersihkan rumah mendiang.

“Terkadang ada tumpukan sampah yang lebih tinggi dari orang yang saya temukan di sebuah rumah. Obat depresi juga kadang saya temukan,” ujarnya.

Melahirkan ‘Menteri Kesepian’

Selain di Negeri Ginseng, lonely death juga banyak terjadi di Jepang. Kondisi ini pun utamanya menimpa lansia yang berusia di atas 60 tahun. Fenomena tersebut dikenal sebagai kodokushi.

Maraknya kasus lonely death di Negeri Sakura ini akhirnya membuat pemerintah membentuk Kementerian Kesepian dan Isolasi pada 12 Februari 2020. Instansi itu bertugas mengatasi persoalan kesepian dan isolasi.